Pada suatu hari di warung kopi, saya bersama seorang teman sedang berdiskusi bagaimana pemerintah meningkatkan kesejahteraan petani. Teman saya berargumen bahwa jika pemerintah melalui Bulog dapat menentukan harga beli gabah diatas harga pasar, akan dapat menaikkan kesejahteraan petani dari sisi pendapatan mereka. tentu saja pernyataan ini menjadi sebuah lelucon, artinya Bulog akan menjadi monopsoni dan seluruh gaba produksi petani berapapun jumlahnya akan dibeli oleh Bulog.Â
Hukum penawaran salah satu isinya adalah produsen akan menjual barangnya dengan harga setinggi-tingginya dengan jumlah barang yang sedikit relatif. Namun disisi lain, hukum permintaan juga salah satu isinya adalah konsumen rasional akan mengkonsumsi sebanyak-banyaknya barang dengan harga relatif murah jika bisa gratis. Tentu saja penawaran dan permintaan tidak akan pernah jatuh cinta jika begitu ceritanya. Namun ada lembaga lain yang mampu mempertemukan mereka yaitu pasar, dimana produsen dan konsumen menegosiasikan harga dan jumlah barang yang akan ditransaksikan.
Kembali kepada diskusi tadi artinya jika Bulog menjadi pembeli dengan harga diatas harga pasar, pertanyaannya kemudian berapa besar anggaran pemerintah yang harus disediakan? Tentu saja hal ini menjadi tidak masuk akal. Bagi sebuah pemerintahan yang mengelola negara, pencapaian terbesar adalah bagaimana mereka menciptakan kesejahteraan bagi seluruh penduduknya dan sifatnya berkesinambungan.Â
Berdasarkan hukum utilitas, setiap individu akan mencoba untuk meningkatkan utilitasnya setinggi-tingginya, namun disisi lain, terdapat anggaran yang kemudian menghambat individu tersbut untuk mencapai untilitas yang tinggi. Sala satu cara bagi individu adalah memaksimalkan utilitas dengan budget yang terbatas tersebut.
Sebenarnya saya tidak menyalahkan pernyataan kawan saya tersebut, namun memang ada pembicaraan yang sangat esensi dari diskusi kami, yaitu apakah harga, penentuan harga, ataupun perubahan harga suatu produk itu dapat meningkatkan kesejahteraan dalam sebuah perekonomian? Seperti saat ini, dimana kita selalu meributkan prubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan ketakutan dari perubahan harga akibat inflasi impor tersbut kepada produk dalam negeri.Â
Lalu saya teringat kembali pelajaran dasar ekonomi, dimana kesejahteraan suatu ekonomi dicapai dengan seberapa besar jumlah barang dan jasa yang tersedia ataupun diproduksi dan dikonsumsi. Yang menarik lagi ilmu ekonomi itu mempelajari perubahan, jadi baik harga maupun jumlah produk akan selalu berubah secara relatif. Seperti teori relativitas umum terhadapa benda-benda, dimana pergerakan benda akan sangat bergantung kepada perubahan posisi pengamatnya.Â
Mungkin bagi sebagian orang, misalnya sebagian penduduk kaya, perubahan ekonomi, seperti resesi tidak membuat perubahan berarti kepada pola konsumsi mereka, ataupun sebagian penduduk miskin yang selalu merasa kekurangan walaupun terjadi booming ekonomi. Namun sebagian penduduk yang berada ditengah-tengah mungkin merasakan hal yang berbeda, ketika masa booming, mungkin mereka mendapatkan tambahan kesejahteraan, namun ketika resesi, tiba-tiba keadaan ekonomi keluarga mereka memburuk.Â
Jadi ilmu ekonomi tidak mempelajari sebuah titik namun lebih pada perubahan. Namun kebijakan yang dihasilkan dari ilmu ekonomi (tergantung mazhab) bagaimana mendorong kesejahteraan sebagian  besar masyarakat (atau mungkin seluruhnya seperti Marx) lebih berkelanjutan.
Kebijakan Harga dan Kesejahteraan
Lalu apakah harga menjadi titik tumpu terhadap kesejahteraan?
Beberapa pembahasan mengenai ini dapat kita lihat dari perdebatan antara kelompok Moneteris dan Keynesian. Kelompok Moneteris percaya bahwa pasar memiliki mekanismenya sendiri, uang hanyalah instrumen untuk menstabilkan harga-harga di pasar. Jika kita lihat saat ini, peran Bank Sentral memiliki tujuan untuk menstabilkan harga-harga yaitu inflasi.