Sungguh aneh tapi nyata
Takkan terlupa
Kisah kasih di sekolah
Dengan si dia
Tiada masa paling indah
Masa-masa di sekolah
Tiada kisah paling indah
Kisah kasih di sekolah
Tidak bisa dipungkiri masa sekolah adalah masa yang paling indah dalam perjalanan hidup kita. Masa-masa indah di sekolah pula yang menginspirasi seorang Obie Mesakh menulis lagu yang berjudul "Kisah Kasih di Sekolah" yang lirik salah satu baitnya saya kutipkan di atas. Lagu itu dirilis tahun 1987 dan dinyanyikan sendiri oleh Obie Mesakh dan sampai sekarang  masih banyak diperdengarkan oleh para penikmat musik. Tahun 2002 Chrisye, menyanyikan ulang  dengan aransemen baru yang membuat lagu tersebut semakin populer di blantika musik Indonesia.
Sebagai orang yang pernah sekolah tentu saja saya ikut merasakan indahnya masa sekolah. Indahnya kebersamaan bersama kawan-kawan satu sekolah. Menulis masa-masa di sekolah adalah membuka kembali kenangan lawas, kenangan sekitar 40 tahun yang lalu.
Saya harus ceritakan terlebih dahulu, tahun 1976 saya lulus SD dan tahun 1980 lulus SMP. Kenapa barus lulus SMP tahun 1980 ? Ini bukan karena saya pernah tidak naik kelas. Tapi saat SMP itu kami mendapat ekstra satu semester, karena Pemerintah merubah tahun ajaran dari semula Januari - Desember menjadi Juli - Juni.
GENG SEMUT
Nah saat SMP itu saya ikut ekskul Pramuka. Pada masa itu, di SMP kami yaitu SMPN Ciparay, Pramuka menjadi satu-satunya ekskul yang tersedia. Oh ya SMP kami terletak di Ciparay, salah satu kota kecamatan di Kabupaten Bandung yang berjarak 24 km dari pusat Kota Bandung.
Meski Pramuka menjadi satu-satunya ekskul, tidak banyak murid yang masuk menjadi anggota. Saat kami kelas 1 dari 6 kelas yang ada atau total sekitar 300 siswa, hanya sekitar 70 orang yang menjadi anggota Pramuka, terdiri dari sekitar 40 putra dan 30 putri Pada masa itu, Pramuka memang tidak wajib diikuti oleh siswa. Namum karena tidak wajib itulah, kami tidak sekadar menjadi anggota aktif tetapi lebih dari itu betul-betul menjadi anggota yang "militan" dalam kepramukaan. Dengan jumlah itu kami bisa membentuk 4 regu putra dan 3 regu putri masing-masing dengan 9 - 10 anggota.
7 regu (4 putra dan 3 putri) yang terbentuk saat kelas 1 bertahan sampai akhir kelas 2. Namun saat di kelas 3 sebagai besar tidak aktif lagi karena ingin fokus persiapan Ebtanas. Tinggalah tersisa  8 orang semuanya putra, sedangkan putri tidak tersisa satu orang pun. Kami yang tersisa harus bergabung membentuk regu baru. Untuk melengkapi jumlah menjadi 10 orang  terpaksa kami mengambil tambahan 2 orang dari adik kelas (kelas 2).
Masalah timbul saat menentukan nama regu. Semula kami mau pakai nama Gajah, mengingat badan kami rata-rata paling besar di antara regu yang lain sehingga cocok untuk memakai nana Gajah. Maklum kami sebagian besar sudah kelas 3. Kami ingin nama yang unik yang mewakili eksistensi kami sebagai yang paling senior. Dari berbagai alternatif, munculan Semut yang disepakati sebagai nama regu kami. Masalah lain muncul, ketika ternyata tidak ada satupun Kedai Pramuka yang menjual logo semut untuk identitas di seragam. Kami baru menyadari bahwa selama ini belum pernah ada yang menggunakan semut sebagai nama regu. Terpaksa kami membuat sendiri, meskipun hasilnya tidak mirip-mirip amat dengan semut.
Inilah awal dari kebersamaan kami sebagai sebuah "geng". Â Kebersamaan kami melebihi normalnya sebuah regu penggalang, kami terus bersama-sama aktif di Pramuka di gudep yang sama meski sudah tidak lagi bersekolah di SMP. Kami bersepakat untuk naik menjadi penegak dan membangkitkan Ambalan Jalak Harupat yang sudah vakum hampir 10 tahun. Kami ajak lagi kawan-kawan yang pernah sama-sama di penggalang termasuk mereka yang kakak kelas waktu di SMP. Militansi yang terbangun sejak penggalang membuat kami "geng semut" tetap aktif berpangkalan di SMP kami sampai kami menyelesaikan masa kuliah kami.Â
Selepas SMP diantara anggota Geng Semut hanya satu orang yang satu SMA dengan saya. Selebihnya menyebar di berbagai SMA lain di Kota Bandung. Semuanya termasuk yang satu SMA dengan saya , tinggal di Kota Bandung. Beberapa punya rumah keluarga di Kota Bandung, yang lainnya ngekost di sekitar sekolahnya. Saya satu-satunya yang tetap tinggal di desa. Kami hanya berkumpul setiap akhir pekan di Sanggar  Pramuka, tempat kami berkarya.Â
Pada tahun kedua kiprah kami di tingkat penegak (kelas 2 SMA), kami berhasil merekrut penegak putri dan membidani kelahiran ambalan putri yang baru yaitu Wiru Mananggay. Â Jerih payah "geng semut" tidaklah sia-sia. SMPN Ciparay (kini SMPN 1 Ciparay) menjadi salah satu dari sedikit pangkalan yang memiliki jenjang hampir lengkap yaitu Pasukan Penggalang, Ambalan Penegak dan Racana Pandega, putra dan putri. Hanya jenjang siaga yang tidak ada.
Pangkalan kami satu-satunya yang mampu menyelenggarakan event besar penggalang dengan memperebutkan Piala Gubernur Jawa Barat. Kejuaran bertajuk "Wade Game" itu menjadi agenda tahunan yang menarik banyak peserta dari berbahai daerah. Geng Regu Semut tidak hanya giat berlatih SKU dan SKK, tapi kami menjalankan usaha produktif, antara lain memproduksi tenda. Hasil dari usaha produktif itu kami bisa membeli satu buah tenda peleton standar ABRI. Selain dipakai untuk kegiatan pangkalan kami sendiri, tenda peleton itu kadang dipinjamkan dimana si pemakai seringkali memberikan "uang terima kasih" meski kami tidak pernah memintanya.Â
Dari usaha-usaha itulah dalam waktu tidak terlalu lama kami bisa membeli sebuah Mobil Jeep Gaz tua yang kami rubah catnya menjadi coklat (warna khas Pramuka) sehingga di Ciparay mobil itu dikenal dengan julukan "si Coklat". Geng Regu Semut juga menginisiasi pembentukan Band Ichimilikiti dengan alat musik andalan sebuah Bass Besar, yang selalu menggetarkan arena api unggun di setiap perkemahan yang diikuti pangkalan kami. Dan si Coklat-lah yang bertugas mengangkut peralatan Band Ichimilikiti. Tenda peleton, Band Ichimilikiti dan Si Coklat  kemudian menjadi paket lengkap yang menyertai kebersamaan Geng Semut. Masa-masa itulah beberapa anggota geng mengalami kisah kasih di sekolah dengan beberapa penegak putri, dan salah satunya berujung di pelaminan.
Kiprah Geng Semut akhirnya dikalahkan oleh waktu. Â Ketika para anggota Geng Semut satu persatu menyelesaikan kuliahnya di akhir-akhir 90-an. Tidak ada lagi terdengar lirik :
"Malu aku malu
Pada semut merah
Yang berbaris di dinding
Menatapku curiga
Seakan penuh tanya
"Sedang apa disini?"
"Menanti pacar", jawabku"Â yang disenandungkan Ichimilikiti di Sanggar Pramuka. Lagu yang sering dinyanyikan menjelang akhir kiprah Geng Semut.
Pangkalan kami perlahan meredup seiring dengan penerapan "wajib Pramuka" bagi siswa baru di SMP dan SMA. Tampaknya sulit menemukan anggota yang militan dari program "Wajib Pramuka" itu.
GENG MELATI
Jika di SMP saya punya Geng Semut, di SMA saya punya Geng Melati. Saya satu-satunya anggota Geng Regu Semut yang juga menjadi anggota Geng Melati.
Berbeda dengan Geng Regu Semut yang semuanya laki-laki, anggota Geng Melati terdiri dari 5 laki-laki dan 3 perempuan.
Geng melati  bermula dari ledekan kawan-kawan SMA kepada kami saat bubaran sekolah, terutama saat menunggu angkutan yang biasa dipakai untuk pulang ke rumah masing-masing. Kami biasa saling ledek khususnya dengan kawan-kawan yang sama seperti kami ngadugdag (pergi pulang) dari desa. Kepada yang biasa menggunakan angkot, kami ledek mereka sebagai si jalan miring, karena selama duduk di angkot tidak menghadap ke depan. Ini terkait dengan posisi jok di angkot yang saling berhadapan. Kepada yang biasa naik Colt kami menyebutnya si Jalan Mundur, karena selalu kebagian jok yang membelakangi supir.
Kami menerima ledekan Geng Melati itu dengan senang hati, tidak ada kata tersinggung. Karena memang kami pergi pulang dengan Bis Melati.
Saya dan kawan-kawan yang bersekolah di SMA Negeri 11 Bandung, umumnya menumpang Bis Melati. Pertimbangan utamanya adalah jadwal keberangkatan Bis itu dari desa kami sesuai dengan kebutuhan kami untuk bisa sampai ke sekolah sebelum lonceng berbunyi. Demikian pula waktu pulang, Bis Melati akan melewati jalan di depan sekolah kami sekitar jam pulang sekolah.
Alasan lain kenapa kami memilih Bis Melati adalah keramahan kru bis (supir, kondektur dan kenek) kepada penumpang khususnya kami para pelajar. Karenanya kami kenal mereka dengan baik, seperti mereka mengenal nama kami satu persatu.
Saya masih ingat dua orang supir pavorit kami dari Bis Melati yaitu Mang Aa dan Mang Adis. Mang Aa badannya gemuk, tidak terlalu tinggi, rambut botak dengan kumis baplang (kumis tebal). Sedangkan Mang Adis, orangnya tinggi atletis, ganteng dengan rambut disisir rapi dan kumis dipilin.
Untuk ongkos kami mendapatkan tarif khusus. Kalau penumpang umum dikenakan tarif Rp. 100,- (seratus rupiah) untuk jarak terjauh, kami hanya dikenakan tarif Rp. 75,- (tujuh puluh lima rupiah) bahkan kadang-kadang gratis kalau kami benar-benar tidak punya uang. Anda yang Kaum Millenial apalagi Generasi Z, pasti bingung, jarak 20 km tarifnya hanya Rp. 75,- dengan waktu tempuh bisa mencapai 90 menit. Jadi jika jam pelajaran dimulai jam 07.15 kami harus sudah siap di terminal jam 05.00 atau paling lambat jam 05.30. Jangan keliru, kami tidak duduk nyaman selama di bis. Kami berdiri sepanjang perjalanan. Kalaupun sesekali dapat tempat duduk, itu menjelang kami turun.
Dengan tuntutan keharusan berangkat sangat pagi itu, sebagian besar dari kami tidak sempat sarapan di rumah bahkan ketika sampai di sekolah. Bagi yang lebih beruntung, karena mendapat jatah uang jajan dari orang tua, bisa sarapan ketika jam istirahat.
Saya yang hanya mendapat uang saku Rp. 200,- per hari (Rp. 150 untuk ongkos bis pp) punya sisa Rp. 50 cukup untuk beli 2 buah Gehu (tahu isi) di warung Mang Darmin. Itupun tidak sering dilakukan karena sisa uang saku itu harus disimpan untuk beli kebutuhan sekolah yang lain atau untuk berjaga-jaga kalau sekali waktu harus pergi atau pulang menggunakan colt yang ongkosnya lebih mahal, yakni Rp. 125,-untuk tarif pelajar. Dengan demikian rata-rata setiap hari ketemu makan paling cepat jam 2 siang, ketika sudah sampai di rumah. Jadi menahan lapar bagi kami sudah menjadi hal yang biasa.
Dengan kondisi seperti itu kami anggota Geng Melati tidak pernah bersentuhan dengan yang namanya Bimbel. Baki kami Bimbel itu merupakan barang mewah.
Kondisi kami yang berasal dari latar belakang ekonomi bawah, membuat kami sadar diri untuk tidak bersentuhan dengan kenakalan remaja seperti geng-geng yang lain yang banyak bermunculan di sekolah waktu itu. Mungkin karena itu pula, kami bisa mulus menapaki setiap jenjang pendidikan kami meski dengan segala keterbatasan yang ada pada kami.
Saat Proyek Perintis (semacam Sipenmaru atau SNMPTN sekarang), kami Geng Melati  yang berjumlah 8 orang semuanya berhasil menembus PTN yang ada di Kota Bandung. Paling banyak masuk IKIP Bandung yakni 6 orang, masing-masing 1 orang masuk ITB dan Unpad.
Itulah kisah indah masa sekolah dengan geng sekolah yang pernah kami ikuti.
Beberapa orang, baik dari Geng Regu Semut maupun Geng Melati, kini berdomisili di luar Bandung. Ada yang di Subang, Kuningan, Tangerang, Sleman bahkan ada yang di Medan. Beberapa orang, termasuk saya sudah pulang kampung, kembali tinggal di Ciparay. Beberapa sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Kami yang tersisa, masih terus menjaga dan merawat silaturahmi meski tidak lagi dekat secara pisik. Kebersamaan masa-masa indah di sekolah di tengah-tengah aneka rintangan dan tantangan, membuat hati kami terpaut erat untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H