Saya dan kawan-kawan yang bersekolah di SMA Negeri 11 Bandung, umumnya menumpang Bis Melati. Pertimbangan utamanya adalah jadwal keberangkatan Bis itu dari desa kami sesuai dengan kebutuhan kami untuk bisa sampai ke sekolah sebelum lonceng berbunyi. Demikian pula waktu pulang, Bis Melati akan melewati jalan di depan sekolah kami sekitar jam pulang sekolah.
Alasan lain kenapa kami memilih Bis Melati adalah keramahan kru bis (supir, kondektur dan kenek) kepada penumpang khususnya kami para pelajar. Karenanya kami kenal mereka dengan baik, seperti mereka mengenal nama kami satu persatu.
Saya masih ingat dua orang supir pavorit kami dari Bis Melati yaitu Mang Aa dan Mang Adis. Mang Aa badannya gemuk, tidak terlalu tinggi, rambut botak dengan kumis baplang (kumis tebal). Sedangkan Mang Adis, orangnya tinggi atletis, ganteng dengan rambut disisir rapi dan kumis dipilin.
Untuk ongkos kami mendapatkan tarif khusus. Kalau penumpang umum dikenakan tarif Rp. 100,- (seratus rupiah) untuk jarak terjauh, kami hanya dikenakan tarif Rp. 75,- (tujuh puluh lima rupiah) bahkan kadang-kadang gratis kalau kami benar-benar tidak punya uang. Anda yang Kaum Millenial apalagi Generasi Z, pasti bingung, jarak 20 km tarifnya hanya Rp. 75,- dengan waktu tempuh bisa mencapai 90 menit. Jadi jika jam pelajaran dimulai jam 07.15 kami harus sudah siap di terminal jam 05.00 atau paling lambat jam 05.30. Jangan keliru, kami tidak duduk nyaman selama di bis. Kami berdiri sepanjang perjalanan. Kalaupun sesekali dapat tempat duduk, itu menjelang kami turun.
Dengan tuntutan keharusan berangkat sangat pagi itu, sebagian besar dari kami tidak sempat sarapan di rumah bahkan ketika sampai di sekolah. Bagi yang lebih beruntung, karena mendapat jatah uang jajan dari orang tua, bisa sarapan ketika jam istirahat.
Saya yang hanya mendapat uang saku Rp. 200,- per hari (Rp. 150 untuk ongkos bis pp) punya sisa Rp. 50 cukup untuk beli 2 buah Gehu (tahu isi) di warung Mang Darmin. Itupun tidak sering dilakukan karena sisa uang saku itu harus disimpan untuk beli kebutuhan sekolah yang lain atau untuk berjaga-jaga kalau sekali waktu harus pergi atau pulang menggunakan colt yang ongkosnya lebih mahal, yakni Rp. 125,-untuk tarif pelajar. Dengan demikian rata-rata setiap hari ketemu makan paling cepat jam 2 siang, ketika sudah sampai di rumah. Jadi menahan lapar bagi kami sudah menjadi hal yang biasa.
Dengan kondisi seperti itu kami anggota Geng Melati tidak pernah bersentuhan dengan yang namanya Bimbel. Baki kami Bimbel itu merupakan barang mewah.
Kondisi kami yang berasal dari latar belakang ekonomi bawah, membuat kami sadar diri untuk tidak bersentuhan dengan kenakalan remaja seperti geng-geng yang lain yang banyak bermunculan di sekolah waktu itu. Mungkin karena itu pula, kami bisa mulus menapaki setiap jenjang pendidikan kami meski dengan segala keterbatasan yang ada pada kami.
Saat Proyek Perintis (semacam Sipenmaru atau SNMPTN sekarang), kami Geng Melati  yang berjumlah 8 orang semuanya berhasil menembus PTN yang ada di Kota Bandung. Paling banyak masuk IKIP Bandung yakni 6 orang, masing-masing 1 orang masuk ITB dan Unpad.
Itulah kisah indah masa sekolah dengan geng sekolah yang pernah kami ikuti.
Beberapa orang, baik dari Geng Regu Semut maupun Geng Melati, kini berdomisili di luar Bandung. Ada yang di Subang, Kuningan, Tangerang, Sleman bahkan ada yang di Medan. Beberapa orang, termasuk saya sudah pulang kampung, kembali tinggal di Ciparay. Beberapa sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Kami yang tersisa, masih terus menjaga dan merawat silaturahmi meski tidak lagi dekat secara pisik. Kebersamaan masa-masa indah di sekolah di tengah-tengah aneka rintangan dan tantangan, membuat hati kami terpaut erat untuk selamanya.