Kepemimpinan sebelumnya telah berhasil mengambil alih porsi terbesar dari dana bagi hasil Kawasan Panas Bumi Kamojang yang selama ini dikuasai Kabupaten Garut. Sebelumnya Kawasan Kamojang ini dianggap wilayah Garut, padahal secara geografis menjadi bagian dari Kabupaten Bandung. Akses jalanlah yang menjadi sebab.Â
Kini akses jalan menuju Kamojang sudah sangat memadai dengan dibangunnya jalan baru yang tidak melewati "Tanjakan Monteng" yang sangat curam. Â Klaim kepemilikan wilayah telah diimbangi dengan pembangunan akses jalan baru. Ini harus menjadi triger untuk memacu peningkatan eksploitasi panas bumi di Kawasan lainnya seperti Wayang - Windu dan Ciwidey. Kabupaten Bandung adalah Kabupaten dengan potensi tenaga panas bumi terbesar di Indonesia.
Kabupaten Bandung juga harus segera memikirkan cara untuk membangkitkan kejayaan Majalaya sebagai Kota Sandang, yang bisa sejajar dengan Kawasan Palasari. Majalaya kini dalam keadaan mati suri, padahal pada saat puncak kejayaannya, menjadi penghasil devisa terbesar bagi Indonesia dari sektor tekstil dan produk tekstil. Maka selain dijuluki Kota Sandang, Majalaya juga pernah disebut sebagai "kota dolar".
PBB, Destinasi wisata, dana bagi hasil panas bumi dan kawasan industri adalah sumber-sumber potensial yang bisa dioptimalkan guna meningkatkan PAD.
Ketimpangan antara PAD dengan DAU dan DAK memang menjadi gambaran umum semua daerah otonomi di Indonesia baik tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi. Namun mengurangi ketergantungan RAPBD kepada DAU dan DAK harus menjadi konsen semua daerah otonomi. Dalam konteks ini pula, DS-Syahrul harus mampu meredam terus bergulirnya wacana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Bandung Timur. Apabila wacana DOB tersebut menjadi kenyataaan, maka akan semakin menggerus PAD Kabupaten Bandung, karena bagian terbesar dari PAD saat ini berasal dari wilayah yang masuk dalam DOB Kabupaten Bandung Timur.
Kabupaten Bandung saat ini merupakan daerah yang memiliki infrastruktur yang relatif merata. Tidak menjadikan Soreang (kawasan ibukota kabupaten) sebagai fokus pembangunan merupakan pilihan cerdas dari kepemimpinan Dadang M. Naser dalam 2 periode kepemimpinannya. Dengan pilihan ini, perkembangan Soreang sebagai ibukota kabupaten memang bisa dikatakan lambat. Namun dengan pilihan itu, dana yang relatif terbatas bisa dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan perekonomian secara merata di seluruh pelosok kabupaten.
Kini seluruh Puskesmas tingkat kecamatan sudah tampil dengan bangunan dan fasilitas yang representatif. Puskesmas tingkat desa sudah tersedia di  desa-desa tertentu untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Sementara tambahan 1 RSUD di Soreang, melengkapi keberadaan 2 RSUD tipe C sebelumnya serta 1 RSUD tipe B milik Pemprov Jabar.
Di bidang pendidikan, hampir setiap kecamatan sudah memiliki SMA Negeri. Ada 2-3 SMP Negeri di setiap kecamatan. SMK Negeri bertambah cukup progresif untuk mengoptimalkan konsep pendidikan link and match. Â Sementara itu di bidang perekonomian, pasar-pasar yang sebagian besar merupakan pasar desa (milik satu atau dimiliki bersama oleh beberapa desa) sebagian besar telah difasilitasi untuk direvitalisasi guna meningkatkan skala perekonomian rakyat.
Infrastruktur jalan, baik jalan provinsi, jalan kabupaten maupun jalan desa, yang telah tersambung dengan sangat baik, berpengaruh kepada turunnya ongkos angkut dan harga bahan baku industri maupun sarana produksi pertanian. Ini mestinya menjadi modal besar bagi DS-Syahrul untuk menggenjot peningkatan skala ekonomi rakyat. Petugas PPL (penyuluh pertanian lapangan) harus digerakan kembali dan dioptimalkan perannya untuk mendorong para petani (termasuk peternak ikan) menjalankan usahanya secara inovatif dan efisien.
Tantangan lain bagi pasangan DS - Syahrul adalah menjaga keutuhan kepemimpinan pasangan bupati - wakil bupati sampai akhir periode. Keutuhan kepemimpinan bisa dimaknai terjadinya sinergi yang harmonis antara bupati dan wakil bupati dalam menjalankan amanah rakyat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan wakil kepala daerah di Indonesia hanyalah menjadi "ban serep" bagi kepala daerahnya. Wakil kepala daerah berkutat dalam aktifitas seremonial tanpa memiliki peran strategis dalam kebijakan pemerintah daerah.
Keutuhan kepemimpinan selama 5 tahun, juga bisa dimaknai sebagai utuhnya pasangan bupati - wakil bupati sampai akhir periode 5 tahun tanpa ada yang terpaksa berhenti di tengah jalan di luar sebab yang bersifat manusiawi seperti sakit permanen atau meninggal dunia.Â