Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dinasti Giriharja dan Dunia Pedalangan

21 Maret 2021   05:10 Diperbarui: 21 Maret 2021   05:52 10795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Abeng Sunarya yang menjadi awal dari kiprah Dinasti Giriharja dalam dunia pedalangan khususnya seni wayang golek.

Abeng Sunarya, yang kemudian lebih populer dengan panggilan Abah Sunarya, lahir pada tanggal 02 Januari 1920 di Manggahang Kec. Ciparay Kab. Bandung . Ia mulai belajar memainkan wayang golek dari  ayahnya sendiri, kemudian melanjutkan belajar kepada salah seorang dalang terkenal di Kota Bandung.

Setelah tuntas belajar Abah Sunarya tinggal di Kampung Jelekong, tidak jauh dari Manggahang tempat kelahirannya. Di Jelekong inilah Abah Sunarya mulai mengembangkan kiprahnya sebagai dalang wayang golek dengan mendirikan Lingkung Seni (LS) Giriharja, kemudian menjadi Pusaka Giriharja.

Dalam perjalanan karirnya, Abah Sunarya berhasil mencapai puncak kejayaan sebagai dalang yang sangat populer. Swedia, adalah satu negara Eropa yang sempat dia singgahi untuk mempertontonkan seni wayang golek kepada masyarakat Eropa.

Dalam kegemilangan karirnya, Abah Sunarya tidak melupakan kampung halaman. Ciparay adalah kecamatan dimana Manggahang (tempat kelahirannya) dan Jelekong (tempat awal mengembangkan karirnya) menjadi wilayahnya. (Note : kini Manggahang dan Jelekong, menjadi bagian dari Kec. Baleendah). 

Ia ungkapkan rasa terima kasih kepada kampung halamannya dengan "ngadalang" semalam suntuk setahun sekali di Alun-alun Ciparay pada malam sekitar tanggal 17 Agustus. Ini menjadi panggung yang ditunggu-tunggu masyarakat Ciparay setiap tahunnya. 

Pada saatnya tiba, seluruh pelataran alun-alun dan jalan yang mengelilinginya penuh sesak oleh masyarakat yang menyaksikan pentasnya Abah Sunarya. Selain menjadi momentum kegembiraan warga masyarakat, panggung ini juga menjadi ajang peningkatan perekononian rakyat kecil. Puluhan pedagang asongan bersuka ria di malam itu. 

Di pagi sebelumnya pasar ramai oleh warga yang berbelanja untuk persiapan bekal nonton di malam harinya. Saya masih ingat tahun 70-an setiap akan ada panggung Abah Sunarya di 17 Agustus itu, nenek saya sibuk menyiapkan perbekalan dengan membuat uras dan gorengan teri (rempeyek). Setelah Abah Sunarya meninggal tahun 1988, agenda pentas tahunan itu masih terus berlangsung dilanjutkan oleh generasi yang sekarang.

Sebagai dalang kasepuhan, Abah Sunarya adalah tokoh yang sangat dihormati. Namun rendah hati menjadi hal yang dipegangnya. Dalam puncak kepopulernya ia tetap bisa berinteraksi dengan siapapun tanpa melihat status sosial. Rumahnya selalu terbuka untuk siapapun dengan berbagai keperluan.

Saya bertemu Abah Sunarya secara langsung terakhir kali sekitar medio 80-an, saat di rumahnya Abah diadakan "salametan" ulang tahun salah seorang cucunya. Dengan kerendahan hatinya, saat itu Abah meminta saya untuk memimpin acara doa. Dengan sangat kikuk saya melaksanakan permintaan beliau.

Sebelum meninggal dunia, Abah Sunarya telah memberikan estafet giriharja kepada anak-anaknya. Setidaknya ada 5 anaknya yang berhasil menjadi dalang terkenal. Kelimanya adalah Ade Kosasih Sunarya (Giriharja 2), Asep Sunandar Sunarya (Giriharja 3), Ugan Sunagar Sunarya (Giriharja 4), Iden Subasrana Sunarya (Giriharja 5) dan Agus Supangkat Sunarya (Giriharja 6).  Di luar kelima putranya itu, salah satu adiknya yaitu Lili Adi Sunarya memegang Giriharja 1. Dalam perkembangannya Lili (Giriharja 1) lebih fokus menjadi "dalang ruwatan" dan pengembangan kerajinan wayang golek.

Di antara para penerus Abah Sunarya, Ade Kosasih Sunarya dan Asep Sunandar Sunarya adalah yang bisa tingkat kepopuleran menyamai Abah Sunarya. Asep bahkan sempat mentas di beberapa negara Eropa.

Ada yang menarik dari 2 giriharja yaitu Ade (Giriharja 2) dan Asep (Giriharja 3). Konon menurut yang mpunya cerita, Abah meniup Ade pada bagian bibir dan lidahnya, sedangkan untuk Asep ditiup di bagian tangannya. 

Entah benar atau tidak cerita ini, tapi waktu membuktikan Ade Kosasih Sunarya kemudian terkenal menjadi dalang sohor karena keistimewaan suaranya saat memainkan wayang golek. Sedangkan Asep Sunandar Sunarya mencapai puncak kepopulerannya dengan kemampuan memainkan wayang golek dengan sangat atraktif. Aseplah yang mempelopori atraksi-atraksi wayang golek yang inovatif seperti tokoh "buta" (raksasa) yang muntah "mie". 

Asep juga sangat dikenal dengan "bobodoran" (lawakan) dimana cepot menjadi tokoh sentralnya. Penguasaan Asep terhadap ilmu agama Islam membawanya menjadi dalang yang "komplit". Dalam setiap pementasannya, ia menggabungkan gerakan wayang yang atraktif, bobodoran dan dakwah Islam. Di penghujung usianya Asep mendapatkan predikat ulama dengan sebutan KH Asep Sunandar Sunarya.

Giriharja berperan besar dalam upaya pelestarian seni pedalangan khususnya wayang golek. Di Jelekong tempat Abah Sunarya memulai kiprahnya sebagai dalang kondang, berdiri pusat pengembangan seni wayang golek yang bernama " Pesantren Budaya Giriharja". 

Sebuah padepokan dibangun dengan mendapat dukungan penuh dari Bupati Bandung Dadang M. Naser. Padepokan ini menjadi tempat pementasan wayang golek singkat (dengan durasi 1-2 jam saja) ketika ada kunjungan rombongan wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. 

Di pesantren  budaya ini dididik calon-calon dalang masa depan. Juga aspek-aspek lain dari seni wayang golek seperti sinden dan nayaga serta keterampilan membuat wayang golek. 

Pesantren Budaya Giriharja melengkapi Jelekong sebagai Kampung Seni dan Budaya yang menghadirkan sentra kerajinan wayang golek dan sentra seni lukis.

Kini Giriharja 1 sampai 3 sudah tiada, meninggalkan jejak pelestarian seni pedalangan khususnya seni wayang golek di tengah-tengah derasnya moderenisasi dan seni kontemporer. Di luar Lingkung Seni (LS) Pusaka Giriharja (Abah Sunarya), LS Giriharja 1, 2 dan 3, di Kampung Budaya Jelekong setidaknya ada 14 lingkung seni wayang golek Dinasti Giriharja yang dipimpin oleh dalangnya masing-masing. 

Giriharja tetap eksis di tangan generasi ketiga dari Abah Sunarya. Mereka tetap teguh dengan komitmen mempertahankan kelestarian seni wayang golek. Kampung Seni dan Budaya Jelekong dengan ikonnya Giriharja tetap menjadi kiblat dunia pedalangan dan seni wayang golek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun