Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Loyalitas Politik dari Seorang Dadang Naser

14 September 2020   00:05 Diperbarui: 14 September 2020   07:31 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik untuk membuat tulisan yang bernuansa politik. Sesuatu yang selama ini saya hindari dengan satu alasan, yaitu status keawaman saya dalam hal perpolitikan. Fenemona loncat pagar dan pembentukan partai baru karena ketidaksepahaman, menjadi pendorong saya menulis artikel ini.

Dalam tulusan ini saya tidak berada dalam kapasitas untuk memberikan penilaian atas baik atau buruk kedua fenomena di atas.

Memilih untuk menjadi kader salah satu partai politik (parpol) atau tidak menjadi aktifis politik adalah hak setiap orang. Demikian pula, menjadi hak setiap orang untuk keluar dari sebuah parpol dan kemudian masuk ke parpol lainnya. Hal yang sama, menjadi hak setiap orang untuk mendirikan parpol baru karena kecewa dengan partai sebelumnya. Plus minus dari kedua fenomena di atas tentu menjadi pertimbangan sekaligus konsekuensi dari pribadi-pribadi yang terkait dengan itu.

Tjahjo Kumolo adalah satu contoh dari success story politikus loncat pagar. Mantan Ketua Umum DPP KNPI ini semula adalah kader dan aktifis Golongan Karya (sebelum mengaku sebagai parpol). Seperti kita ketahui di zaman orde baru hanya ada 2 parpol yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Lucunya Golongan Karya yang mengaku dirinya bukan partai politik menjadi peserta pemilu dan mendominasi perolehan suara dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

Setelah reformasi Tjahjo Kumolo keluar dari Golkar dan masuk menjadi kader PDIP. Di partai ini karirnya sangat moncer. Menjadi salah satu kepercayaan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan beberapa tahun menjadi Sekertaris Jenderal. Ketika PDIP berhasil memenangkan Pilpres 2014, Presiden Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri. Karir menterinya berlanjut pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, menjadi Menteri ATR/BPN.

Success story juga dicatatkan oleh Surya Paloh. Boss Media Grup ini mengawali kiprahnya keluar dari bayang-bayang Golkar yang membesarkannya dengan membentuk Ormas Nasional Demokrat bersama Ferry Mursidan Baldan yang juga aktifis Golkar serta Hary Tanoesoedibjo. Ormas Nasdem kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Nasdem dan menjadi salah satu partai besar di Indonesia saat ini.

Pola yang digunakan oleh Surya Paloh dengan Ormas Nasional Demokrat kemudian ditiru oleh beberapa politisi, antara lain Hary Tanoesoedibjo dengan Persatuan Indonesia (Perindo) dan Prabowo Subiyakto dengan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Beberapa alumni Golkar lainnya harus menelan pil pahit pasca keluar dari Golkar dan mendirikan partai baru. Jenderal Edi Sudrajat gagal membawa Partai Keadilan dan Persatuan Indonesis (PKPI) menjadi partai besar, bahkan kini menjadi partai gurem.

Ferry Mursidan Baldan yang mantan Ketua Umum PB HMI, setelah membidani kelahiran Partai Nasdem kini namanya seolah tenggelam tak terdengar lagi meski sempat dapat hadiah kursi menteri di Kabinet Kerja Presiden Jokowi.

Yang menarik adalah yang terkait dengan PDIP. Hampir tidak tercatat success story dari kadernya yang loncat pagar atau mendirikan partai sempalan. Eros Djarot yang konon sangat dipercaya menjadi penulis naskah-naskah pidato Megawati, gagal membesarkan Partai Nasional Bung Karno (PNBK) yang didirikannya bersama kawan-kawannya yang merasa kecewa  atas kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Sampai di sini kita bisa melihat, bahwa Golkar, meski tidak ambruk menjadi partai gurem, posisinya sebagai partai terbesar dan terkuat sangat merasakan kemerosotan akibat tersedotnya kader-kader andalan mereka ke partai-partai baru yang dibentuk alumninya yang berujung kepada terdiferensiasinya pemilih tradisionalnya pada pemilu.

Sementara itu PDIP bisa dikatakan tidak banyak terpengaruh dengan fenomena loncat pagar dan terbentuknya partai-partai sempalan mereka. Kini fenomena partai sempalan kembali mencuat dengan berdirinya Partai Gelora Yang diinisiasi pentolan PKS yaitu Anis Matta dan Fahri Hamzah. Sementara itu Amien Rais dan para loyalisnya tengah bersiap mendeklarasikan partai baru sempalan dari PAN.

Menarik untuk ditunggu bagaimana kiprah kedua partai baru ini dan pengaruhnya kepada PKS dan PAN. Akankah nasib PKS dan PAN seperti Golkar yang harus terseok-seok ataukan seperti PDIP yang tetap tegak berdiri sebagal salah satu partai besar.

Menyebut Dadang Nasser adalah menyebut seorang sahabat bernama lengkap Dadang Mohamad Naser yang usianya 3 tahun lebih tua dari penulis. Kenal sejak usia remaja (kami satu sekolah di SD dan SMA)  membuat kami cukup saling mengenal secara pribadi. Dari dia dua kali saya menerima warisan jabatan organisasi. Pertama, sebagai Ketua Umum Remaja Masjid Agung Ciparay (Risma). Kedua, sebagai Ketua Dewan Kerja Satuan Karya Pramuka (Saka) Wanabakti Kabupaten Bandung.

Setamat SD, sebagai anak yang berdarah kiai dari kedua kakeknya, orang tuanya memasukannya ke sebuah Pondok Pesantren di Tegallega Kota Bandung. Namun karena alasan “ririwit” (sakit-sakitan) dia pulang dan masuk SMP Tunas Baru Ciparay, sebuah sekolah swasta yang baru saja didirikan. Lulus dari SMAN 11 Bandung, melanjutkan kuliah dan meraih gelar Sarjana Hukum Jurusan Tata Negara.

Banyak berinteraksi dengan ahli-ahli hukum tata negara selama masa kuliah, barangkali menjadi salah faktor yang mendorongnya terjun ke dunia politik. Dunia yang tidak diwarisinya dari kedua orang tuanya yang hanya petani kecil. 

Dia masuk Golongan Karya (Golkar) dan menjadi generasi pertama yang mengikuti Program Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa). Dalam semester-semester awal masa kuliahnya, ia lulus Penataran P4 Pola Pendukung 100 Jam tingkat nasional yang diselenggarakan Badan Pembina Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) Pusat.

Pasca reformasi 1998 yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, Golkar menjadi kekuatan politik yang sangat merasakan dampaknya. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi, Golkar mengalami kekalahan. Kekalahan pertamanya selama keikutsertaannya dalam pemilu, yang menandai keruntuhan Golkar sebagai kekuatan politik yang menguasai Indonesia lebih dari 30 tahun. Pada saat PDIP dengan segala kesulitannya berupaya merekrut kader dari kaun terpelajar dan kelas menengah lainnya, Golkar justru ditinggalkan oleh banyak kader terbaiknya dan dijauhi oleh massa mengambang yang selama itu menjadi sumber rekrutmen kadernya.

Kejatuhan Golkar merata dari tingkat nasional sampai ke kabupaten/kota. Alergi Golkar menjadi sentimen negatif rakyat Indonesia khususnya para pelaku politik praktis dan generasi muda. Dalam suasana limbung yang dialami Golkar saat itu, kepada Dadang Naser saya menyampaikan pertanyaan sekaligus dorongan kepadanya untuk meninggalkan Golkar.

“Ser, naha teu leuwih alus mun tinggalkeun Golkar terus pindah ka partai sejen ?” itu pertanyaan saya kepadanya, yang kalau dalam Bahasa Indonesia “Ser, apakah tidak lebih baik tinggalkan Golkar dan masuk ke partai lain ?”.

Sebagai sahabatnya saya tidak ingin melihat dia terpuruk di tengah-tengah kehancuran Golkar. Saya masih ingat dia menjawab : “ Win, saya rek nungguan jeung ngajaga Golkar sok sanajan nepi ka Golkar jadi bubuk” (Win, saya akan tunggui dan menjaga Golkar meski sampai Golkar menjadi bubuk).

Dadang Naser bukan siapa-siapa waktu itu. Tapi saya melihat ada loyalitas dalam dirinya. Dia tidak peduli Golkar dicemooh lebih dari orang mencemooh PDI di era Orba. Dia tetap berdiri menjaga puing-puing partai. Dia ibarat Adipati Karna yang tetap berada di pihak Kurawa dalam perang Baratayudha meski dia sadar Kurawa di ambang kehancuran, karena dia sadar Kurawa-lah yang menjadi sebab dirinya tetap ada.

Dadang Naser adalah loyalis sejati. Saya menjadi saksi ketika Musda KNPI Kabupaten Bandung memenangkan dirinya untuk menjadi Ketua Umum DPD KNPI. Dia gagal menduduki posisi itu karena munculnya intervensi militer yang mendudukkan seorang anak Dandim di posisi itu.

Dia terima itu dengan lapang dada, tidak ada sikap mutung dari dirinya, dan menerima posisi Sekretaris Umum yang diberikan kepadanya. Baginya jabatan adalah amanah, dan loyalitas harus tetap dijaga meski pahit sekalipun.

Di Golkar, tanpa jabatan strategis dia tetap menunjukkan loyalitasnya. Pekerjaannya sebagai staf personalia di sebuah pabrik tekstil memberinya kesempatan untuk bisnis sampingan kain dan kulit sisa produksi (scrap) dan sekali-sekali menjadi perantara jual beli tanah kecil-kecilan. Dengan itu, mantan pedagang asongan ini membiayai kegiatan politiknya sampai kemudian membawanya ke kursi dewan di DPRD Kabupaten Bandung dan DPRD Provinsi Jawa Barat.

Kesadaran yang kuat atas politik sebagai alat untuk menebar kebaikan kepada rakyat banyak, membuatya bisa ajeg sebagai politikus yang matang. Pemahaman yang kuat (sejak sebelum aktif di politik) terhadap paradigma pangreh praja - pamong praja serta birokrasi yang melayani, membuatnya tidak kikuk menjalani jabatannya sebagai bupati. Jerih payahnya menjaga Golkar di Kabupaten Bandung tidaklah sia-sia. Dia tidak sempat menyaksikan Golkar menjadi bubuk. Golkar  tetap menjadi partai terbesar di Kabupaten Bandung. Jabatan Ketua DPD Golkar Kabupaten Bandung baru dia duduki setelah dia terpilih menjadi Bupati pada periode pertama. Jabatan Bupati selama 2 periode adalah buah dari loyalitasnya kepada partai yang membesarkannya dan loyalitas kepada rakyat yang jadi inspirasinya.

Loyalitas adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi apapun termasuk organisasi politik. Visi misi partai mestinya dibangun dengan dasar loyalitas kepada Rakyat.

Tanpa loyalitas kepada rakyat, partai politik adalah kesia-siaan. Pada saat yang sama ketika loyalitas seorang kader kepada partainya sendiri tidak ada, sulit diharapkan loyalitasnya kepada rakyat.

Membangun loyalitas mestinya menjadi prioritas pembinaan kader partai politik sehingga partai politik bisa terhindar dari ketergantungan kepada kader-kader karbitan yang direkrut untuk kepentingan sesaat. Fenomena yang terjadi pada Pilkada Serentak Tahun 2020 menunjukkan hal itu. Di Solo PDIP lebih memilih mengusung Gibran daripada Purnomo, demukian pula di Medan PDIP mengusung Bobby Nasution dengan menyisihkan Akhyar Nasution.

Dari sudut pandang lain kita bisa melihat bagaimana loyalitas seorang kader kepada partainya. Di Solo, Purnomo tetap loyal kepada PDIP meski keputusan pahit terpaksa harus diterima dari partainya.

Tidak seperti Purnomo, di Medan Akhyar Nasution menanggalkan loyalitasnya kepada PDIP dengan menyebrang ke partai lain demi ambisinya meraih kursi walikota. Hal yang sama ditunjukan oleh Dadang Supriatna di Kabupaten Bandung. Sebagai kader Golkar ia kecewa tidak diusung menjadi calon bupati sehingga memutuskan menyebrang ke PKB.

Dari sisi hasil, keputusan untuk mengusung figur di luar kader partai tidaklah selalu buruk. Fenonena Ridwan Kamil bisa menjadi rujukan. Ia berangkat dari profesional murni ketika diusung Gerindra dan koalisinya baik di Pilkada Kota Bandung, maupun di Pilgub Jawa Barat sesudahnya.

Ridwan Kamil mampu nenunjukkan kinerja maksimal baik sebagai Walikota Bandung maupun Gubernur Jawa Barat tanpa diganggu oleh parpol pengusungnya maupun parpol-parpol yang bukan pengusungnya. Fenomena Ridwan Kamil tidak boleh menjadi budaya partai. Partai politik tetap harus menjalankan fungsinya sebagai pencetak kader bangsa.

Ketika partai politik memiliki kader-kader unggul yang dihasilkan dari proses pengkaderan yang baik yang mendorong tumbuhnya loyalitas terhadap visi misi partai yang dibangun atas dasar loyalitas kepada rakyat, maka rakyat boleh berharap partai politik bisa bermanfaat untuk bangsa.

Salam

< Kang Win, September 13, 2020 >

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun