Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Loyalitas Politik dari Seorang Dadang Naser

14 September 2020   00:05 Diperbarui: 14 September 2020   07:31 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara itu PDIP bisa dikatakan tidak banyak terpengaruh dengan fenomena loncat pagar dan terbentuknya partai-partai sempalan mereka. Kini fenomena partai sempalan kembali mencuat dengan berdirinya Partai Gelora Yang diinisiasi pentolan PKS yaitu Anis Matta dan Fahri Hamzah. Sementara itu Amien Rais dan para loyalisnya tengah bersiap mendeklarasikan partai baru sempalan dari PAN.

Menarik untuk ditunggu bagaimana kiprah kedua partai baru ini dan pengaruhnya kepada PKS dan PAN. Akankah nasib PKS dan PAN seperti Golkar yang harus terseok-seok ataukan seperti PDIP yang tetap tegak berdiri sebagal salah satu partai besar.

Menyebut Dadang Nasser adalah menyebut seorang sahabat bernama lengkap Dadang Mohamad Naser yang usianya 3 tahun lebih tua dari penulis. Kenal sejak usia remaja (kami satu sekolah di SD dan SMA)  membuat kami cukup saling mengenal secara pribadi. Dari dia dua kali saya menerima warisan jabatan organisasi. Pertama, sebagai Ketua Umum Remaja Masjid Agung Ciparay (Risma). Kedua, sebagai Ketua Dewan Kerja Satuan Karya Pramuka (Saka) Wanabakti Kabupaten Bandung.

Setamat SD, sebagai anak yang berdarah kiai dari kedua kakeknya, orang tuanya memasukannya ke sebuah Pondok Pesantren di Tegallega Kota Bandung. Namun karena alasan “ririwit” (sakit-sakitan) dia pulang dan masuk SMP Tunas Baru Ciparay, sebuah sekolah swasta yang baru saja didirikan. Lulus dari SMAN 11 Bandung, melanjutkan kuliah dan meraih gelar Sarjana Hukum Jurusan Tata Negara.

Banyak berinteraksi dengan ahli-ahli hukum tata negara selama masa kuliah, barangkali menjadi salah faktor yang mendorongnya terjun ke dunia politik. Dunia yang tidak diwarisinya dari kedua orang tuanya yang hanya petani kecil. 

Dia masuk Golongan Karya (Golkar) dan menjadi generasi pertama yang mengikuti Program Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa). Dalam semester-semester awal masa kuliahnya, ia lulus Penataran P4 Pola Pendukung 100 Jam tingkat nasional yang diselenggarakan Badan Pembina Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) Pusat.

Pasca reformasi 1998 yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, Golkar menjadi kekuatan politik yang sangat merasakan dampaknya. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi, Golkar mengalami kekalahan. Kekalahan pertamanya selama keikutsertaannya dalam pemilu, yang menandai keruntuhan Golkar sebagai kekuatan politik yang menguasai Indonesia lebih dari 30 tahun. Pada saat PDIP dengan segala kesulitannya berupaya merekrut kader dari kaun terpelajar dan kelas menengah lainnya, Golkar justru ditinggalkan oleh banyak kader terbaiknya dan dijauhi oleh massa mengambang yang selama itu menjadi sumber rekrutmen kadernya.

Kejatuhan Golkar merata dari tingkat nasional sampai ke kabupaten/kota. Alergi Golkar menjadi sentimen negatif rakyat Indonesia khususnya para pelaku politik praktis dan generasi muda. Dalam suasana limbung yang dialami Golkar saat itu, kepada Dadang Naser saya menyampaikan pertanyaan sekaligus dorongan kepadanya untuk meninggalkan Golkar.

“Ser, naha teu leuwih alus mun tinggalkeun Golkar terus pindah ka partai sejen ?” itu pertanyaan saya kepadanya, yang kalau dalam Bahasa Indonesia “Ser, apakah tidak lebih baik tinggalkan Golkar dan masuk ke partai lain ?”.

Sebagai sahabatnya saya tidak ingin melihat dia terpuruk di tengah-tengah kehancuran Golkar. Saya masih ingat dia menjawab : “ Win, saya rek nungguan jeung ngajaga Golkar sok sanajan nepi ka Golkar jadi bubuk” (Win, saya akan tunggui dan menjaga Golkar meski sampai Golkar menjadi bubuk).

Dadang Naser bukan siapa-siapa waktu itu. Tapi saya melihat ada loyalitas dalam dirinya. Dia tidak peduli Golkar dicemooh lebih dari orang mencemooh PDI di era Orba. Dia tetap berdiri menjaga puing-puing partai. Dia ibarat Adipati Karna yang tetap berada di pihak Kurawa dalam perang Baratayudha meski dia sadar Kurawa di ambang kehancuran, karena dia sadar Kurawa-lah yang menjadi sebab dirinya tetap ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun