Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Loyalitas Politik dari Seorang Dadang Naser

14 September 2020   00:05 Diperbarui: 14 September 2020   07:31 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dadang Naser adalah loyalis sejati. Saya menjadi saksi ketika Musda KNPI Kabupaten Bandung memenangkan dirinya untuk menjadi Ketua Umum DPD KNPI. Dia gagal menduduki posisi itu karena munculnya intervensi militer yang mendudukkan seorang anak Dandim di posisi itu.

Dia terima itu dengan lapang dada, tidak ada sikap mutung dari dirinya, dan menerima posisi Sekretaris Umum yang diberikan kepadanya. Baginya jabatan adalah amanah, dan loyalitas harus tetap dijaga meski pahit sekalipun.

Di Golkar, tanpa jabatan strategis dia tetap menunjukkan loyalitasnya. Pekerjaannya sebagai staf personalia di sebuah pabrik tekstil memberinya kesempatan untuk bisnis sampingan kain dan kulit sisa produksi (scrap) dan sekali-sekali menjadi perantara jual beli tanah kecil-kecilan. Dengan itu, mantan pedagang asongan ini membiayai kegiatan politiknya sampai kemudian membawanya ke kursi dewan di DPRD Kabupaten Bandung dan DPRD Provinsi Jawa Barat.

Kesadaran yang kuat atas politik sebagai alat untuk menebar kebaikan kepada rakyat banyak, membuatya bisa ajeg sebagai politikus yang matang. Pemahaman yang kuat (sejak sebelum aktif di politik) terhadap paradigma pangreh praja - pamong praja serta birokrasi yang melayani, membuatnya tidak kikuk menjalani jabatannya sebagai bupati. Jerih payahnya menjaga Golkar di Kabupaten Bandung tidaklah sia-sia. Dia tidak sempat menyaksikan Golkar menjadi bubuk. Golkar  tetap menjadi partai terbesar di Kabupaten Bandung. Jabatan Ketua DPD Golkar Kabupaten Bandung baru dia duduki setelah dia terpilih menjadi Bupati pada periode pertama. Jabatan Bupati selama 2 periode adalah buah dari loyalitasnya kepada partai yang membesarkannya dan loyalitas kepada rakyat yang jadi inspirasinya.

Loyalitas adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi apapun termasuk organisasi politik. Visi misi partai mestinya dibangun dengan dasar loyalitas kepada Rakyat.

Tanpa loyalitas kepada rakyat, partai politik adalah kesia-siaan. Pada saat yang sama ketika loyalitas seorang kader kepada partainya sendiri tidak ada, sulit diharapkan loyalitasnya kepada rakyat.

Membangun loyalitas mestinya menjadi prioritas pembinaan kader partai politik sehingga partai politik bisa terhindar dari ketergantungan kepada kader-kader karbitan yang direkrut untuk kepentingan sesaat. Fenomena yang terjadi pada Pilkada Serentak Tahun 2020 menunjukkan hal itu. Di Solo PDIP lebih memilih mengusung Gibran daripada Purnomo, demukian pula di Medan PDIP mengusung Bobby Nasution dengan menyisihkan Akhyar Nasution.

Dari sudut pandang lain kita bisa melihat bagaimana loyalitas seorang kader kepada partainya. Di Solo, Purnomo tetap loyal kepada PDIP meski keputusan pahit terpaksa harus diterima dari partainya.

Tidak seperti Purnomo, di Medan Akhyar Nasution menanggalkan loyalitasnya kepada PDIP dengan menyebrang ke partai lain demi ambisinya meraih kursi walikota. Hal yang sama ditunjukan oleh Dadang Supriatna di Kabupaten Bandung. Sebagai kader Golkar ia kecewa tidak diusung menjadi calon bupati sehingga memutuskan menyebrang ke PKB.

Dari sisi hasil, keputusan untuk mengusung figur di luar kader partai tidaklah selalu buruk. Fenonena Ridwan Kamil bisa menjadi rujukan. Ia berangkat dari profesional murni ketika diusung Gerindra dan koalisinya baik di Pilkada Kota Bandung, maupun di Pilgub Jawa Barat sesudahnya.

Ridwan Kamil mampu nenunjukkan kinerja maksimal baik sebagai Walikota Bandung maupun Gubernur Jawa Barat tanpa diganggu oleh parpol pengusungnya maupun parpol-parpol yang bukan pengusungnya. Fenomena Ridwan Kamil tidak boleh menjadi budaya partai. Partai politik tetap harus menjalankan fungsinya sebagai pencetak kader bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun