Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Merampas Kemerdekaan Berpikir

11 Agustus 2020   14:27 Diperbarui: 11 Agustus 2020   15:21 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seniman dan budayawan dikekang dengan sangat kuat. Rhoma Irama "dihukum" tak boleh tampil di TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun TV di tanah air. 

Sebaiknya Eddy Sud berjaya dengan Aneka Ria Safari dan Kamera Ria. Arswendo ditidurkan di Hotel Prodeo. Tidak ada kebebasan berekspresi, kecuali untuk penyokong kekuasaan.

Orde Baru adalah era dimana kebebasan bagi rakyat adalah barang yang sangat mahal harganya. Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi barang langka. 

Tapi bagi masyarakat kebanyakan, itu semua tidak penting. Tercukupinya kebutuhan hidup sudah cukup untuk mengeliminasi keburukan Orde Baru. 

Harus diakui, dalam lebih dari dua pertiga masa kepemimpinannya, sebagian besar rakyat merasakan manfaat besar kepemimpinan Soeharto. Tidak salah kalau belakangan populer meme "Piye kabare? Enak zamanku tho?" menyertai Gambar Soeharto tersenyum.

Jujur saya harus mengakui hal itu. Zaman Orba saya bisa membeli rumah bagus, membeli mobil bagus, menyekolahkan anak di sekolah yang bagus. 

Sebaliknya di zaman reformasi saya harus menjual rumah dan mobil yang saya miliki, memindahkan anak ke sekolah yang biasa-biasa. Dan yang paling terasa, di era Orba gigi saya masih kuat dan lengkap, tapi di zaman reformasi ini gigi saya sudah rompal di sana sini (maaf guyon ya).

Soeharto dengan segala kekurangan dan keburukannya adalah salah seorang putra terbaik Indonesia. Karenanya saya menaruh hormat untuknya. 

Meski begitu saya bukanlah pengagum berat Soeharto, tidak seperti saya mengagumi Bung Karno dan Kiai Hasyim Ashari. Mungkin subjektif,  saya menjadi pengagum berat Bung Karno bisa jadi karena darah PNI yang mengalir di tubuh saya. Seperti juga saya menjadi pengagum berat Kiai Hasyim Ashari karena nafas nadliyin saya.

Saya juga bukan pengagum berat Amin Rais yang disebut-sebut sebagai Bapak Reformasi. Saya lebih mengagumi Cak Nur dan Cak Nun yang konon katanya menjadi bagian dari tokoh-tokoh yang berhasil meluluhkan hati Soeharto untuk mendengar aspirasi rakyat yang menginginkan perubahan. 

Aspirasi yang selam 30 tahun terendam dalam lumpur oligarki kekuasaan. Aspirasi yang kemudian digaungkan dengan sangat masif oleh mahasiswa, buruh, akademisi dan elemen-elemen masyarakat lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun