Saya bertanya pada diri sendiri. Memang ada penulis malas dan sembrono ?Ahh pertanyaan macam apa pula ini. Pertanyaan iseng barangkali. Ya betul sekali. Ini memang pertanyaan iseng.
Kalau dikatakan penulis malas, bisa jadi seseorang itu dianggap (bisa juga mengaku) sebagai penulis, tapi malas menulis. Menulis hanya sesekali. Banyak alibi yang dicuatkan atas ketidakproduktifannya dalam menulis. Misalnya, hanya menulis kalau mood lagi bagus. Atau hanya menulis kalau muncul ide.
Lah, kalau mood jelek terus atau ide tak kunjung muncul, kapan menulisnya. Masih mendingan saya, bisa nulis satu tulisan per hari, meskipun harus bersusah payah berdarah-darah dan hasilnya begitu belepotan.
Bukan yang seperti itu, Penulis malas yang saya maksudkan dalam tulisan ini.
Penulis malas dalam definisi saya adalah penulis yang relatif produktif secara kuantitatif (jumlah tulisan) tetapi malas mencari referensi yang valid. Referensi itu bisa berupa buku, kamus, pendapat ahli, data statistik atau sumber berita. Masih banyak referensi lain selain hal-hal tersebut.
Akibat dari malas mencari referensi ini seringkali tulisan yang dihasilkan menjadi terasa “kering”. Tidak menarik kalau jujur dinilai. Memang ada (banyak) tulisan yang tidak membutuhkan referensi yang bersifat fisik (berbentuk buku, catatan, dokumen). Tapi ketika sebuah tulisan itu, membutuhkan pengayaan berupa rujukan, maka pencarian referensi mutlak harus dilakukan. Jadi referensi itu kebutuhan, bukan gaya-gayaan.
Sampai disini, sungguh saya angkat topi kepada beberapa penulis cerpen atau puisi, yang sejatinya tidak membutuhkan referensi, masih membuat footnote yang menyebutkan apa yang menjadi sumber inspirasi cerpen atau puisinya.
Lalu penulis sembrono. Apa pula itu. Dalam definisi saya penulis sembrono adalah penulis yang berani menulis sesuatu yang tidak dikuasainya atau dipahaminya dengan baik. Menulis adalah aktifitas transfer kebaikan. Kebaikan itu bisa berupa pengetahuan baru, bisa juga bersifat pencerahan.
Jadi kalau saya menulis sesuatu yang tidak saya kuasai atau pahami dengan baik, apa yang mau ditransfer ? Yang ada akan berdampak buruk bagi pembacanya atau setidaknya tidak memberikan apa-apa.
Kalau saya menulis yang seperti itu, maka seperti saya memberikan nasi yang belum matang. Nasi yang terlanjur tidak matang tidak bisa dibuat menjadi matang. Pilihannya hanya dua. Dimakan akan menyebabkan gangguan pencernaan, bisa juga gatal-gatal di (maaf) lubang dubur (keremieun, kata orang sunda). Atau pilihan kedua, dibiarkan tidak di makan. Tidak membuat kenyang tidak juga jadi penyakit.
Nah para pembaca, kalau ada yang paham tentang tipe-tipe penulis, mohon ditambahkan 3 tipe ini. Tipe malas, tipe sembrono, serta tipe malas dan sembrono. (Ahh ini usulan ngaco, yang tidak perlu diterima).
Jujur saya harus mengatakan saya termasuk tipe penulis malas. Tapi ampun, saya tidak ingin masuk tipe sembrono. Apalagi tipe malas dan sembrono.
Karena itulah saya melakukan setidaknya 2 hal.
Yang pertama, menghindari tulisan yang membutuhkan rujukan sumber (referensi). Kalaupun ada nyerempet-nyerempet kebutuhan referensi, maka saya mengakali (baca : memanipulasikan) konteks tulisannya dengan berbagai cara. (Maaf, bukan memanipulasi referensi).
Yang kedua, menghindari tulisan yang konteksnya tidak saya kuasai dan pahami dengan baik. Sebagai contoh, saya menghindari tulisan semacam “ketidakloyalan Neymar Jr kepada Barcelona”. Lah bagaimana saya bisa menulis itu, wong saya hanya nonton Liga Indonesia.
Kalau sekiranya sahabat pembaca, merasa tulusan ini “kering”, tidak menarik. Itu bisa jadi karena saya masuk tipe penulis malas.
Tapi bisa juga terasa lucu, ngaco. Nah kalo ini artinya saya termasuk tipe sembrono. Kalau begitu semoga pembaca sedikit terhibur.
Salam hangat
<Kang Win, Juni 17, 2020>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H