Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Energi Kita Dihabiskan untuk Covid-19?

9 Juni 2020   18:20 Diperbarui: 9 Juni 2020   18:16 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini hanya uneg-uneg dari seorang anak bangsa. Karena itu mohon maaf kalau tulisan ini tidak merefers kepada sumber data atau sumber berita, baik sumber yang valid maupun yang abal-abal.

Eh kenapa pula harus minta maaf ya. Toh sekarang ini jamannya dimana sumber data dan sumber berita menjadi sesuatu yang tidak penting lagi untuk jadi dasar kita mau ngomong apa.

Toh sekarang jamannya orang bisa ngomong asal jeplak aje. Tanpa harus mempertimbangkan ini itu, tanpa harus mereferensi dari apapun. Yang penting happy, eh heboh bin viral.

Lihatlah para pakar itu, para terkemuka itu, bisa mengkritik habis-habisan sembari lupa mereka itu sebagian besar akademisi yang mestinya tahu sebuah kritik senantiasa harus didasarkan kepada kondisi objektif. Mereka lupa bahwa tujuan kritik adalah membuat sesuatu menjadi lebih baik, bukan untuk membuat kegaduhan.

Namun setelah dipikir-pikir, saya memang tetap harus minta maaf seperti di awal tulisan ini. Karena saya tidak mau disamakan dengan para terkemuka itu.

Waduh, baru urusan minta maaf aja sudah panjang begini. Semoga pembaca tidak cape bacanya ya.

Hari-hari ini kita menjadi saksi betapa covid-19 menjadi pusat perhatian kita semua. Sesuatu yang wajar mengingat covid-19 telah berpengaruh secara signifikan dalam kehidupan kita.

Saya tidak ingin lagi membahas bagaimana covid-19 ini mempengaruhi kehidupan keseharian kita sebagai masyarakat warga. Berbagai pemberitaan, berbagai essay, bahkan karya sastra semacam puisi dan cerpen, telah lebih dari cukup menggambarkan itu semua.

Saya ingin mengajak pembaca untuk melihat hal-hal aktual dari sisi lain.

Setidaknya ada 3 hal aktual untuk kita jadikan titik pandang. Pertama terkait dengan kenaikan iuran BPJS. Kedua terkait dengan dikeluarkannya PP mengenai Tapera, dan ketiga terkait pembahasan RUU Pemilu 2024.

Kritik terhadap kenaikan iuran BPJS terutama berkaitan dengan momen pemberlakuannya di tengah-tengah pandemi covid-19, apalagi jika mengingat bahwa kenaikan iuran yang diberlakukan tahun lalu telah dibatalkan oleh MA. Hal lain yang menjadi bahan kritik adalah terkait dengan pandangan bahwa perbaikan kualitas pelayananlah yang harus diprioritaskan bukan kenaikan iuran.

Terkait dengan Tapera, kritik yang muncul terutama mengenai akan bertambahnya beban pekerja juga pengusaha dengan adanya kewajiban pembayaran iuran, apalagi dalam pandemi seperti sekarang ini dimana dunia usaha dipaksa tiarap. Kritik lainnya terkait dengan pandangan bahwa tidak semua pekerja belum memiliki rumah. Kalau sudah memiliki rumah kenapa harus repot-repot ikut dalam kepersertaan Tapera.

Berbeda dengan RUU Pemilu 2024, kritik yang muncul justru mengenai kinerja dewan secara keseluruhan dalam pandemi covid-19. Kritik ini terutama mempertanyakan kontribusi nyata dari anggota dewan dalam penanganan pandemi covid-19. Kritik terhadap substansi RUU meskipun ada bisa dibilang tidak terlalu mengemuka. Para pengkritik berpandangan kok bisa-bisanya dewan ngurus RUU Pemilu toh Pemilu 2024 masih 4 tahun lagi.

Saya ingin menggarisbawahi bahwa hal-hal aktual di atas, baik-baik saja selama kritik-kritik yang muncul masih dalam koridor konteks permasalahan, tidak melebar untuk kepentingan-kepentingan subjektif si pengkritik.

Toh selama kritik itu objektif, akan bernilai positif bagi objek kritiknya. Semuanya akan bertemu dengan jawaban yang bisa diterima.

Soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai akan memberatkan masyarakat, misalnya. Bukankah kenaikan riil itu hanya terjadi untuk kelas pelayanan I dan II. Sedangkan untuk kelas III besaran kenaikan seluruhnya ditanggung APBN. Bagi peserta Kela I dan II yang merasa berat dengan adanya kenaikan, dipersilahkan untuk menurunkan kelas kepesertaaannya.

Kemudian soal Tapera. Melihat kemiripannya dengan BPJS Ketenagakerjaan, rasanya kita boleh optimis dengan penyelenggaraannya. Lalu bagaimana dengan pandangan bahwa iuran Tapera menambah beban pekerja dan pengusaha.

Dari sisi nominal ya bahwa menambah beban. Seorang pekerja dengan upah Rp.3jt misalnya, upah riil yang akan diterimanya berkurang sebesar Rp. 75 rb (2,5%). Jumlah yang relatif besar untuk ukuran pekerja dengan skema upah UMR. Beban pengusaha (majikan) pun bertambah dengan kewajiban membayar 0,5% dari upah.

Tapi uang sebesar itu tidak kemana-mana, tersimpan sebagai tabungan. Selain itu dia dapat tambahan di tabungannya sebesar Rp. 15rb (0.5%) yang dibayarkan oleh Majikan. 

Berkurangnya take home pay sebesar Rp.75rb menjadi tantangan bagi pekerja untuk melakukan realokasi budget rumah tangganya. Toh selama pandemi covid-19 sudah terbiasa dengan berkurangnya penghasilan karena hilangnya uang lembur misalnya. Apalagi bagi para "ahli hisap" (kaum perokok) ini bisa jadi kesempatan emas untuk jauh dari tembakau.

Soal majikan akan semakin sulit karena tambahan beban upah 0,5%. Ah ini basi menurut saya. Mohon maaf sangat tidak signifikan. Perusahaan kelas menengah misalnya yang membayar upah sebesar Rp. 1M per bulan, bebannya hanya akan bertambah Rp. 5jt per bulan. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan biaya entertain yang biasa dikeluarkan tiap bulan.

Yang unik adalah kritikan kepada dewan yang tidak terlihat kontribusi nyata dalam penanganan pandemi covid-19. Ini aneh kontribusi apalagi yang bisa dilakukan oleh dewan secara kelembagaan selain kewajiban dia dalam hal budget dan pengawasan. Kalau proporsional, dalam sebatas itulah yang bisa kita tuntut dari kelembagaan dewan.

Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah. Kenapa segala kritik harus dikaitkan dengan pandemi covid-19. Bahkan survey elektabilitaspun dikaitkan dengannya.

Kalau demikian halnya, sepertinya kita memposisikan diri akan selamanya berperang melawan virus covid-19 ini. Secara aktual memang harus diakui masih terdapat ketidakpastian apakah pandemi ini bisa berakhir. Hal ini karena sampai saat ini, belum berhasil ditemukan vaksin untuk mencegahnya.

Namun apakah kita bisa bertahan terus dengan kondisi seperti saat ini. Andaikan PSBB seperti awal diberlakukan (sebelum pelonggaraan), berapa tahun kita bisa bertahan. Sulit untuk bisa bertahan. Keuangan negara tidak akan cukup mampu membiayai pandemi ini jika harus PSBB bertahun-tahun.

Hidup harus berlanjut. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh hanyut dengan pandemi covid-19 ini.

Haruskah energi kita dihabiskan untuk covid-19 ?

Tidakkah lebih baik menjadikan covid-19 sebagai energi besar untuk melakukan perubahan besar dalam tatanan kehidupan kita. Tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dipenuhi dengan kearifan masyarakatnya.

Mohon maaf lagi kalau ada kata dan kalimat yang tidak pada tempatnya.


Salam hangat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun