Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Energi Kita Dihabiskan untuk Covid-19?

9 Juni 2020   18:20 Diperbarui: 9 Juni 2020   18:16 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkait dengan Tapera, kritik yang muncul terutama mengenai akan bertambahnya beban pekerja juga pengusaha dengan adanya kewajiban pembayaran iuran, apalagi dalam pandemi seperti sekarang ini dimana dunia usaha dipaksa tiarap. Kritik lainnya terkait dengan pandangan bahwa tidak semua pekerja belum memiliki rumah. Kalau sudah memiliki rumah kenapa harus repot-repot ikut dalam kepersertaan Tapera.

Berbeda dengan RUU Pemilu 2024, kritik yang muncul justru mengenai kinerja dewan secara keseluruhan dalam pandemi covid-19. Kritik ini terutama mempertanyakan kontribusi nyata dari anggota dewan dalam penanganan pandemi covid-19. Kritik terhadap substansi RUU meskipun ada bisa dibilang tidak terlalu mengemuka. Para pengkritik berpandangan kok bisa-bisanya dewan ngurus RUU Pemilu toh Pemilu 2024 masih 4 tahun lagi.

Saya ingin menggarisbawahi bahwa hal-hal aktual di atas, baik-baik saja selama kritik-kritik yang muncul masih dalam koridor konteks permasalahan, tidak melebar untuk kepentingan-kepentingan subjektif si pengkritik.

Toh selama kritik itu objektif, akan bernilai positif bagi objek kritiknya. Semuanya akan bertemu dengan jawaban yang bisa diterima.

Soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai akan memberatkan masyarakat, misalnya. Bukankah kenaikan riil itu hanya terjadi untuk kelas pelayanan I dan II. Sedangkan untuk kelas III besaran kenaikan seluruhnya ditanggung APBN. Bagi peserta Kela I dan II yang merasa berat dengan adanya kenaikan, dipersilahkan untuk menurunkan kelas kepesertaaannya.

Kemudian soal Tapera. Melihat kemiripannya dengan BPJS Ketenagakerjaan, rasanya kita boleh optimis dengan penyelenggaraannya. Lalu bagaimana dengan pandangan bahwa iuran Tapera menambah beban pekerja dan pengusaha.

Dari sisi nominal ya bahwa menambah beban. Seorang pekerja dengan upah Rp.3jt misalnya, upah riil yang akan diterimanya berkurang sebesar Rp. 75 rb (2,5%). Jumlah yang relatif besar untuk ukuran pekerja dengan skema upah UMR. Beban pengusaha (majikan) pun bertambah dengan kewajiban membayar 0,5% dari upah.

Tapi uang sebesar itu tidak kemana-mana, tersimpan sebagai tabungan. Selain itu dia dapat tambahan di tabungannya sebesar Rp. 15rb (0.5%) yang dibayarkan oleh Majikan. 

Berkurangnya take home pay sebesar Rp.75rb menjadi tantangan bagi pekerja untuk melakukan realokasi budget rumah tangganya. Toh selama pandemi covid-19 sudah terbiasa dengan berkurangnya penghasilan karena hilangnya uang lembur misalnya. Apalagi bagi para "ahli hisap" (kaum perokok) ini bisa jadi kesempatan emas untuk jauh dari tembakau.

Soal majikan akan semakin sulit karena tambahan beban upah 0,5%. Ah ini basi menurut saya. Mohon maaf sangat tidak signifikan. Perusahaan kelas menengah misalnya yang membayar upah sebesar Rp. 1M per bulan, bebannya hanya akan bertambah Rp. 5jt per bulan. Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan biaya entertain yang biasa dikeluarkan tiap bulan.

Yang unik adalah kritikan kepada dewan yang tidak terlihat kontribusi nyata dalam penanganan pandemi covid-19. Ini aneh kontribusi apalagi yang bisa dilakukan oleh dewan secara kelembagaan selain kewajiban dia dalam hal budget dan pengawasan. Kalau proporsional, dalam sebatas itulah yang bisa kita tuntut dari kelembagaan dewan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun