Diantara kelemahan sistem demokrasi yang selalu menjadi celah untuk para diktator adalah terbukanya keran kesempatan memimpin yang luas untuk siapa pun yang memiliki pengaruh. Dalam sistem demokrasi, siapa pun bisa memimpin selama dia dipilih oleh mayoritas tanpa peduli; apakah dia mampu dan kompeten dalam kepemimpinan atau apakah dia memiliki komitmen untuk menegakan hukum dan keadilan. Maka, karena tidak ada batas-batas norma yang jelas, siapa pun melakukan berbagai macam cara untuk bisa menjadi pemenang, meski dengan jalan kecurangan. Siapa pun bisa memang meski harus mengakalinya dengan mengotak-atik hukum yang sudah berlaku. Hm, untuk hal ini dengan mata telanjang kita sudah pernah melihatnya di negara kita.Â
Kemudian, orang-orang jujur yang mencoba bertarung dengan niat memperbaiki bangsa, mau tidak mau harus mengalami kekalahan karena manuver licik lawannya yang lebih memiliki banyak dana dan sponsor. Candicates who lacked of support among their party's network of state and politicians had no chance to success.
Kurang lebih itulah salah satu yang menjadi topik bahasan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku mereka 'How Democracies Die'. Meski di buku tersebut mereka lebih sering menyoroti ketimpangan-ketimpangan demokrasi di negara Amerika masa kepemimpinan Donald Trump, saya pikir ada beberapa case yang memang relate untuk dipahami di semua negara yang menganut paham Demokrasi, termasuk Indonesia.
Di buku ini, penulis juga membahas laku para diktator yang bernaung di bawah demokrasi secara panjang lebar. Adalah yang tidak mustahil bagi para diktator untuk menjadikan institusi negara sebagai senjata politik. Entah dengan menafsir ulang insitutusi semau sendiri atau bahkan mencoba membungkam para penegak hukum yang berseberangan dan kemudian menggantinya dengan orang-orang 'penjilat.' Hal ini nyata kita lihat di zaman Orde lama dan orde baru.Â
Selain menjadikan institusi dan lembaga-lembaga negara yang netral menjadi 'berpihak' padanya, para diktator juga mencoba membungkam independensi media, entah dengan jalan membeli media itu sendiri atau membungkam/membubarkan media-media yang bersuara nyaring. Sehingga media yang bisa terbit hanyalah media corong pemerintah. Di halaman 7, Steven Levitsky menulis, "Newspapers still publish but are bought off or bullied into self-censorship.'
Mungkin hal ini tidak terjadi di zaman reformasi, tapi tidak menutup kemungkinan hal ini tidak terulang. Sebagaimana pepatah bilang, 'history doesn't repeat it self, but it rhymes.
Nah, lalu seperti apa ciri-ciri diktator dalam sistem demokrasi? di buku 'How Democracies die' saya menemukan beberapa hal yang mengindikasikan bahwa 'demokrasi' di negara tersebut sedang ditunggangi diktator.Â
1. Pemimpin terpilih mencoba mengganti atau mengubah konstitusi yang sudah disepakati untuk keuntungannya dan keuntungan kelompoknya. (Sound familiar?'
2. Pemimpin petahana mencoba membatalkan hasil pemilu atau mencoba melakukan polarisasi hingga kudeta.Â
3. Pemimpin mencoba membubarkan organisasi-organisasi yang dianggap membahayakan dirinya dan kelompoknya dengan dalih bahwa organisasi yang dibubarkan itu adalah agen asing, pemecah belah dan membahayakan demokrasi.Â
4. Pemimpin mencoba merusak citra para opoisisi yang notabene adalah sama-sama anak bangsa dengan menuduhnya sebgai pengkhianat, agen asing dan membahayakan bangsa.
Ketika citra oposisi yang notabene adalah sama-sama pejuang bangsa dirusak sedemikian rupa dengan cap 'teroris' antek asing' dan semisalnya, maka besar kemungkinan masyarakat yang awam tapi memiliki cinta yang begitu tinggi terhadap tanah air tergiring opini. Lebih-lebih hal ini juga didukung oleh media yang menjadi corong si diktator yang pada akhirnya dia memiliki alasan dan justifikasi untuk memberangus para opisisi hingga akar-akarnya.
Selain hal itu, diktator juga bisa mencoba merombak institusi atau membuat undang-undang yang membuat daya opisisi menjadi lemah dan kerdil. Entah dengan cara merombak elektoral ataupun mengamputasi undang-undang yang memberikan kebebasan pada suara oposisi.
Tapi sepertinya ---lagi-lagi ini kemelahan demokrasi---tidak ada 'keakuran dan toleransi' antara oposisi dan petahana. Jangan jauh-jauh ke negara lain, sejak zaman Soekarno hingga zaman reformasi, seringkali opisisi 'difitnah' sedemikian rupa dan dipukul secara membabi buta. Oposisi dianggap racun yang membahayakan sehingga harus dimusnahkan. Padahal, oposisi diperlukan untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintah. Pun oposisi sama-sama anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H