4. Pemimpin mencoba merusak citra para opoisisi yang notabene adalah sama-sama anak bangsa dengan menuduhnya sebgai pengkhianat, agen asing dan membahayakan bangsa.
Ketika citra oposisi yang notabene adalah sama-sama pejuang bangsa dirusak sedemikian rupa dengan cap 'teroris' antek asing' dan semisalnya, maka besar kemungkinan masyarakat yang awam tapi memiliki cinta yang begitu tinggi terhadap tanah air tergiring opini. Lebih-lebih hal ini juga didukung oleh media yang menjadi corong si diktator yang pada akhirnya dia memiliki alasan dan justifikasi untuk memberangus para opisisi hingga akar-akarnya.
Selain hal itu, diktator juga bisa mencoba merombak institusi atau membuat undang-undang yang membuat daya opisisi menjadi lemah dan kerdil. Entah dengan cara merombak elektoral ataupun mengamputasi undang-undang yang memberikan kebebasan pada suara oposisi.
Tapi sepertinya ---lagi-lagi ini kemelahan demokrasi---tidak ada 'keakuran dan toleransi' antara oposisi dan petahana. Jangan jauh-jauh ke negara lain, sejak zaman Soekarno hingga zaman reformasi, seringkali opisisi 'difitnah' sedemikian rupa dan dipukul secara membabi buta. Oposisi dianggap racun yang membahayakan sehingga harus dimusnahkan. Padahal, oposisi diperlukan untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintah. Pun oposisi sama-sama anak bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H