Mohon tunggu...
Husni Magz
Husni Magz Mohon Tunggu... Guru - Guru, pembelajar dan seorang ayah

Seorang bibliofilia yang menemukan gairah lewat dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Orang Tua Kaya, Orang Tua Miskin dan Nasib Pendidikan Anak

16 Juli 2024   12:35 Diperbarui: 16 Juli 2024   12:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Lebih baik hidup pas-pasan tapi memiliki banyak waktu untuk membersamai anak daripada sibuk sama karir tapi anak terlantar,' ujar seseorang.

'Lebih baik mengorbankan waktu sekarang daripada khawatir masa depan anak terlantar,' ujar yang lainnya.

Sebagian berpikir bahwa masa depan anak itu ditentukan oleh materi dan harta. Sebagian lagi berpikir materi itu tidak penting. 

Yang benar adalah-kalau mau jujur-materi juga penting.

Memilih sekolah yang bagus buat anak-anak membutuhkan materi yang tidak sedikit.

Membayar guru les supaya anak memiliki kemampuan di atas rata-rata juga membutuhkan biaya yang lumayan.

Menyediakan nutrisi dan pangan yang bergizi juga tentunya didapatkan dengan menyediakan uang berlebih.

Memberikan sarana edukatif mandiri juga butuh uang juga.

Tapi, bukan berarti hanya materi saja. Yang jauh lebih penting itu kesadaran orang tua terhadap parenting yang baik.

Memang, hidup kaya dan miskin itu tidak selalu soal pilihan dan kerja keras. Ada yang memang ditakdirkan kaya, ada pula yang ditakdirkan hidup seadanya. Bukan karena malas, tapi memang begitu guratannya.

Masa depan cerah anak tidak ditentukan oleh materi (meski dalam contoh kasus di atas saya menyebutkan pada beberapa kondisi ada benarnya.

Kuncinya ada di orangtua:

Orangtua kaya tapi anak terlantar secara pendidikan? Banyak!

Orangtua kaya tapi anaknya termonitor dengan baik juga tidak sedikit.

Orangtua miskin yang tetap punya effort untuk mengedepankan dan mengutamakan pendidikan anaknya? banyak!

Orangtua miskin yang menelantarkan anak, membiarkan anak bergaul di lingkungan yang salah juga tidak bisa dikatakan sedikit. 

Jadi kuncinya di KESADARAN ORANGTUA. Jangan jadikan materi, uang dan sejenisnya sebagai tolok ukur utama.

Lalu, jika orangtua sibuk meniti karir sehingga mengorbankan waktu untuk anak bisa ditolerir? 

Tergantung kondisinya. Mari saya kisahkan pertemuan saya dengan salah seorang wali murid ketika masa PPDB berlangsung kemarin. Di sekolah tempat saya mengajar, biasanya selain wawancara calon anak didik, kami juga memiliki sesi wawancara dengan orangtua untuk mengetahui dan menilai bagaimana komitmen mereka terhadap pendidikan anak di rumah dan komitmen mereka dengan yayasan.

Di salah satu point pertanyaan wawancara itu adalah soal bagaimana mereka memonitor anak di rumah.

'Kami berdua (suami-istri) bekerja purnawaktu,' terang sang Ayah sembari diiringi angguk istrinya yang terkadang menimpali sesi wawancara.

'Lalu bagaimana dengan pendidikan Ananda di rumah?' tanya saya.

'Di rumah ada neneknya. Kami senantiasa bertanya setiap hari kegiatan anak kepada orangtua. Kami juga membayar guru ngaji dan guru les untuk datang ke rumah.'

Sampai sini saya memahami bahwa tidak ada salahnya mendelegasikan tugas mendidik anak kepada yang lain. Intinya adalah 'Anak mendapatkan pendidikan'. Bukan soal 'siapa yang mendidik anak.'

Jika tidak mampu mendidik sendiri, maka carilah orang, lembaga atau sekolah yang bisa mendidik anaknya dengan bayaran jasa.'

Kita tidak bisa menghakimi orangtua yang sibuk berkarir dengan sebutan 'orangtua egois yang tidak mementingkan anaknya.'

Kita tidak tahu seperti apa kondisi mereka.

Barangkali jika mereka resign demi anak, justru masalah semakin runyam karena ternyata belum bisa mendapatkan pekerjaan pengganti yang sesuai.

Barangkali jika resign tidak lagi memiliki penghasilan yang bagus padahal masih memiliki kewajiban-kewajiban tunggakan yang harus segera dilunasi.

Barangkali sang orangtua adalah generasi sandwich yang menanggung hidup orangtuanya (kakek nenek si anak).

Dan ada barangkali-barangkali lainnya yang kita tidak pernah tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun