Mohon tunggu...
Husni Magz
Husni Magz Mohon Tunggu... Guru - Guru, pembelajar dan seorang ayah

Seorang bibliofilia yang menemukan gairah lewat dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Buku Anak Rasa Buku Dewasa

14 Juni 2024   16:36 Diperbarui: 14 Juni 2024   16:59 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun belakangan ini saya keranjingan membaca buku cerita anak. Pertama kalinya saya menekuni buku-buku anak karena tuntutan profesi. Waktu itu, di medio tahun 2020, radio tempat saya bekerja membutuhkan naskah kisah-kisah anak islam untuk kebutuhan script rekaman rubrik kisah anak. Saya pun mengajukan pembelian buku-buku kisah anak islami kepada bos saya. Sementara belakangan ini saya masih tetap konsisten membaca buku-buku anak karena ingin mengikuti lomba menulis cerita anak yang diadakan oleh Kemdikbud dalam program GLN (Gerakan Literasi Nasional). Apa daya, saya belum sempat menamatkan naskah novel anak saya ketika tengat waktu sudah habis. Saya berharap bisa mengikuti lomba tersebut tahun depan. Lebih dari pada itu, industri penerbitan buku anak masih tetap eksis sampai sekarang. Bahkan banyak penerbit yang masih konsisten menerbitkan buku-buku anak di setiap tahunnya. Berbanding terbalik dengan penerbitan buku-buku fiksi dewasa yang saya lihat mulai melesu di era digitalisasi ini.

Dalam proses membaca beragam buku anak-anak dengan beragam tema ini, saya menemukan beberapa buku anak yang membuat saya kecewa. Pasalnya, label 'buku cerita anak' hanya sekedar label di cover. Sementara isi ceritanya sama sekali tidak cocok untuk anak-anak. Buku-buku tersebut memang dikemas dalam bentuk buku anak yang identik dengan halaman full collor dengan ilustrasi menarik di setiap halamannya. Dan yang jelas buku itu memang secara langsung disebutkan sebagai buku bacaan anak-anak di covernya atau di lini penerbit khusus buku anak. Biasanya sebagian penerbit memiliki imprint untuk genre buku anak.

Lalu seperti apa buku anak-anak yang justru tidak layak untuk anak-anak?

Pertama, Kisah-kisah yang tidak relevan dengan dunia dan perkembangan anak. Contohnya, kisah bidadari di surga. Coba kalian bayangkan, apa yang ada di benak anak-anak ketika diceritakan tentang kenikmatan yang diberikan oleh bidadari di surga? Ah,  bagi para lelaki dewasa, mungkin itu sebuah kisah yang sangat menggembirakan sekaligus menggairahkan. Bagi lelaki dewasa, tanpa berpikir panjang pun mereka akan paham kenikmatan macam apa yang akan mereka peroleh dari bidadari-bidadari surga yang bermata jeli itu. Tahu kan maksud saya. Tapi bagi anak-anak? Ya bisa saja sih mereka berpikir bahwa bidadari-bidadari itu akan melayani segala kebutuhan dan keinginan mereka di surga. Tapi... sepertinya menggambarkan kenikmatan surga dengan disediakannya bidadari untuk mereka sangat tidak relevan untuk diceritakan kepada anak-anak. Mungkin bisa saja diganti dengan mendeskripsikan kenikmatan-kenikmatan jenis lain semisal nikmatnya kebun-kebun buah beraneka macam dan warna, sungai madu, sungai susu dan sungai minuman segar lainnya beserta istana megah. Itu masuk akal buat anak-anak.
 
Selain kisah-kisah islami, ada beberapa buku cerita anak umum yang justru cerita-cerita yang dihadirkan berdampak negatif bagi anak. Terutama cerita-cerita rakyat semisal Jaka Tarub. Bagaimana mungkin anak-anak dihadirkan kisah seorang pemuda yang suka mengintip para bidadari mandi yang dengan usilnya menyembunyikan baju salah satu diantara mereka. Kemudian kisah dalam fable si Kancil yang licik. Itu sebenarnya tidak cocok untuk diceritakan kepada anak-anak yang sedang berusaha menemukan nilai dan karakter yang ingin mereka contoh dari cerita yang mereka baca atau yang mereka dengarkan. Untuk alasan itulah, hendaknya para penulis buku anak harus hati-hati.

Kedua, Kisah kepahlawanan yang ekstrim. Kisah-kisah heroik yang berdarah-darah sebenarnya kurang cocok untuk anak. Lebih baik dipilih kisah epik dan heroisme dari cerita-cerita yang aman. Misal, yang harus dihindari adalah kisah Hamzah yang dirobek dadanya dan dimakan jantungnya oleh Hindun. Ini seperti kisah thriller dan gore yang tidak cocok untuk perkembangan jiwa anak yang masih polos.

Ketiga,  Gaya bahasa yang tidak cocok untuk anak. Ada buku-buku anak yang gaya penulisannya nggak jauh beda dengan gaya bahasa buku orang dewasa. Kalimatnya panjang-panjang. Banyak kosa kata yang saya sangat yakin tidak akan dipahami oleh anak-anak dengan pola pikir yang sederhana. Percuma aja kita bikin buku full collor, warna warni, font yang besar, ilustrasi menarik, tapi bahasanya njlimet dan bikin kening berkerut.  Sebaiknya, gunakan kalimat yang pendek-pendek. Pilih kosa kata yang sederhana karena anak-anak belum memiliki perbendaharaan bahasa yang kaya. Misal, alih-alih menggunakan kata 'bersimbah darah' ganti dengan 'bercucuran darah.'

Saya pun baru menyadari hal ini ketika menjadi penanggungjawab script rubrik anak Hasan dan Husein di Radio Fajri. Jadi, waktu itu korektor saya, Ustadz Hamdan mempermasalahkan naskah saya karena ada beberapa kosakata yang dirasa cukup sulit dipahami anak-anak sehingga meminta saya untuk mencari padanan kata yang lebih mudah dipahami oleh pola pikir anak-anak yang masih amat sederhana.

Keempat, membahas tema yang tidak relevan untuk anak-anak. Sebagai contoh, saya pernah membaca buku dengan tema kumpulan doa untuk anak-anak. Di dalam buku tersebut saya menemukan judul 'Doa ketika bertemu musuh. Maksud saya, kenapa harus ada doa ketika bertemu musuh yang notabene--biasanya--dilafalkan ketika dalam kondisi peperangan. Apa anak-anak sudah diajarkan untuk bermusuhan? Ada juga buku anak yang menceritakan ketertarikan pada lawan jenis. Serius! Saya pernah menemukan buku yang tokohnya adalah seorang anak SD yang suka sama teman perempuannya.

Bacaan Anak dengan Level Berjenjang

Sebenarnya bacaan anak-anak juga tidak sesederhana label 'buku anak' yang tertera di cover. Karena selama ini ada anggapan bahwa yang penting buku itu memiliki cover ilustrasi anak-anak sudah dianggap cocok untuk semua usia anak-anak. Padahal jelas buku bacaan anak-anak juga diklasifikasikan ke dalam beberapa jenjang. Sudah barang tentu buku bacaan anak di usia TK berbeda jauh dengan buku bacaan anak SD.

Sebenarnya jenjang bacaan anak ini sudah diperkenalkan oleh Kemendikbud. Setidaknya ada 7 jenjang yang diperkenalkan oleh Kemendikbud sebagaimana yang ditulis dalam 'Pedoman Perjenjangan Buku' yang diterbitkan oleh Kemdikbud. Jenis-jenis jenjang buku anak itu yakni jenjang A, B1, B2, B3, C, D dan E. Jenjang A adalah buku untuk anak usia dini yang secara bahasa hanya berisi klausa dan kalimat tunggal. Jadi belum ada paragraf di dalam buku tersebut. Buku jenjang A cocok untuk anak usia 0-7 tahun. Sementara jenjang B1 sudah memperkenalkan kalimat dan paragraf. Isinya berupa cerita keseharian yang amat sederhana. Begitu seterusnya. Untuk penjelasan perjenjangan ini kita bisa mengetahuinya secara lebih detail di laman Kemdikbud.

Buku yang Menceritakan Kisah Anak Tidak Selalu Disebut Buku untuk Anak

Tidak semua buku yang menceritakan dunia anak atau menceritakan tokoh utama seorang anak bisa dikategorikan sebagai buku anak. Terkadang buku-buku yang bercerita tentang dunia anak-anak juga ada yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Sebagai contoh novel 'Laskar Pelangi' dan 'Negeri 5 Menara.' Paling tidak, buku tersebut cocok untuk menjadi bahan bacaan remaja yang sudah mahir.

Saya sendiri memang belum pernah menerbitkan buku untuk anak-anak kecuali menerbitkan beberapa cerpen anak di majalah Bobo. Saya di sini menulis hanya sebatas mencurahkan opini pribadi. Boleh sependapat boleh juga tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun