“Putri, indah nan menawan parasmu. Maaf aku memanggilmu Putri. Maaf juga aku tak memanggilmu Mina.” Sebentar, perlu adanya pendahuluan untuk menjaga agar sebuah obrolan bisa nyaman. “Selamat malam, Putri. Maukah kau sebentar saja mampir di gubuk tuaku.” Atau “Hai, Mina. Kenalkah dirimu padaku? Aku adalah penguasa di daerah sekitar rumahku dan akulah satu-satunya orang yang memanggilmu Putri.” Kelihatannya terlalu berlebihan. Seharusnya semua itu tak perlu.
Malam telah memberi kabar bahwa larut telah datang. Bulan diatas sana, sedang damai-damainya bertengger dalam diam. Sinarnya kelam bersama kelabunya mendung. Mengapa malam ini harus mendung. Mengapa pula arlojiku terlalu cepat berputar. Apa jalan sebelum rumahku ini ada cabangnya, hingga tak nampak Putri diujung sana.
Bayangannya pun tak menyapaku yang sudah berdiri lama diteras ini. Lalu kutendang tiang teras rumahku. Sekali lagi kutendang tiangnya. Kutengok ke jalan, jalan pun menengok padaku. Mengabarkan bahwa Putri telah tertelan sepi. Lenyap bersama nama indahnya dariku.
Dimalam-malam selanjutnya, ternyata kabar itu benar. Dan dari senja ke senja, kini tinggal kopi yang menggantikan Putri. Namanya akan kuselipkan dalam setiap adukan kopi panas buatanku.
Meski tak bergula, maka manis akan terselip dalam setiap cecap yang ku rasa. Kuhirup aromanya, dan persis seperti aroma jejak-jejak indah kaki mungilnya. Sejak hari itu, aku berhenti menunggu. Berhenti mengagumi. Berhenti menikmati debar dan nikmat sebuah kecantikan. Mulai saat itu pula, aku mengenal diriku. Memahami semua yang berada disekitarku. Menghargainya dan tak lagi mengabaikannya.
*Cerita lama yang terpotong dan baru bisa dilanjutkan setelah ada kemauan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H