Mohon tunggu...
MUSHOFA
MUSHOFA Mohon Tunggu... Guru - KHODIM PP. DAARUL ISHLAH AS-SYAFI'IYAH TANAH BUMBU KALSEL

Hobby Baca Buku-Buku Islami Klasik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia

24 Desember 2022   15:00 Diperbarui: 24 Desember 2022   15:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUNIA

 

Mari sejenak membaca Kalam Ilahi dan merenungkannya!

Allah berfiman dalam Q.S. Al-Hadid/57:20

Artinya:

"Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya."

Nabi Muhammad Saw. bersabda:

: : .

Artinya:

Dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah pernah memegang pundakku dan bersabda: "Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan kamu adalah orang asing atau seorang pengembara." (HR. Bukhari, hadis nomor 6416).

Dua nas di atas menjadi landasan kuat tentang bagaimana seharusnya kita memandang dunia dan memperlakukannya. Dalam ayat tersebut secara jelas, Allah Swt. mengatakan bahwa dunia itu tidak lebih dari sebuah permainan, kelengahan dan perhiasan yang pada akhirnya hancur juga. Syeik Jamal mengatakan: "Namanya saja sebuah permaian, seperti permainan anak-anak hanya dapat capek namun tidak ada manfaatnya."[1] Allah Swt. mengibaratkan seperti air hujan yang menyirami tanaman petani sehingga petani bangga melihat tanamannya subur dan berbuah banyak, kemudian menguning, mengering pada akhirnya lenyap juga. Dan itu berlangsung diulang-ulang karena memang sebuah permainan. 

 

Sedangkan pesan Nabi Saw. kepada Abdullah bin Umar menggambarkan bahwa dunia ini sementara dan waktunya sangat singkat jika dibandingkan dengan akhirat, dunia bukan apa-apanya. Maka Nabi Saw. mengibaratkan seperti orang yang sedang mengembara atau seorang yang menyeberangi jalan. Artinya dunia ini bukan hunian abadi. Seorang pengembara akan pulang ke tempat asalnya, yakni akhirat. Seorang yang menyeberangi jalan, hanya sekedar lewat saja, ia tidak akan berhenti di tengah jalan. Maka kesenangan yang dirasakan di dunia sebenarnya kesenangan semu yang hilang dalam sekejap.

  

Orang bilang jika berbicara dunia maka yang terbayang adalah harta, tahta dan wanita. Tiga hal inilah yang kiranya sudah mewakili untuk menggambarkan kenikmatan isi dunia. Namun, menurut Mujiburrahman menyebut "wanita" tanpa pria tidak adil, oleh karenanya beliau senang menyebut "manusia".[2] Tidak berlebihan memang semua aktivitas manusia kalau dirunut pasti muaranya kepada tiga hal tersebut. Kerja keras, banting tulang, siang malam, kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala, menyita waktu istirahat dan tidur hanya untuk mencari harta. Ketika harta sudah di kuasai, nafsu terus bergejolak ingin mendapatkan pengaruh, pengikut dan pendukung maka ia mulai terjun ke ranah kekuasaan, dengan berbagai upaya politik ia lakukan untuk mendapatkan suara terbanyak yang bisa mengantarkannya menjadi penguasa. Biasanya ketika harta dan tahta sudah di tangan, maka godaan yang datang adalah wanita ini bagi pria, atau pria bagi wanita. Sebenarnya untuk yang ketiga ini adalah simbol nafsu sek, dan nafsu ini bisa terjadi pada siapa saja baik pria ataupun wanita.

  

Bagagaimana pandangan ulama sufi ahli hikmah ketika menyikapi dunia? Berikut kalam hikmah yang bisa kita petik untuk dijadikan penyejuk kalbu, agar kita tidak terlena terhadap gemerlapnya dunia yang menjadi penghalang penghambaan kita kepada Allah Swt.

 Abdurrahman Ad-Darani (w. 215 H) Jika dunia telah menempati hatinya, maka akhirat akan pergi darinya."[3]

 Ahmad bin Abdul Khiwari (w. 230 H)

 "Barang siapa yang memandang dunia dengan hati senang dan penuh keinginan, maka Allah akan mengeluarkan cahaya keyakinan dan zuhud dalam hatinya."[4]

 Ab Nashr Abdullah bin Ali al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H), beliau berpandangan bahwa "kefakiran seorang fakir (sufi) belum bisa dibenarkan sehingga ia keluar dari kemilikannya. Ketika ia sudah bisa keluar dari kemilikannya maka akan muncul suatu kedudukannya. Kedudukan pun harus ditanggalkan sehingga tidak tersisa apapun, yang tersisa hanya kekuatan nafsu. Kekuatan nafsu juga harus dikorbankan. Baru pada saat itulah kefakiran seorang fakir (sufi) bisa dibenarkan."[5]

 

Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim al-Kalabadzi (w. 380 H), dengan mengutip perkataan Abu Muhammad Al-Jurairy bahwa "faqr adalah anda tidak mencari yang tidak ada, sampai anda kehilangan yang ada." Artinya tidak mencari rizqi (bekerja) kecuali dikhawatirkan lemah dari melaksanakan ibadah wajib.[6]

 

Ab Hmid Muhammad al-Ghazali (450-505 H), belau dengan tegas mengatakan bahwa "dunia disebut musuh Allah, musuh para wali Allah, dan musuh bagi para musuh Allah." Kenapa dunia sebagai musuh Allah, karena dunia menghalangi dan memotong jalan para hamba Allah yang hendak beribadah kepada Allah. Dunia juga sebagai musuh para wali Allah karena dunia memperlihatkan kecantikannya seperti wanita buruk yang rupa yang menghiasi dirinya dengan perhiasan yang indah. Dan dunia juga menjadi musuh bagi musuh Allah karena menjebak mereka dalam perangkap cintanya setelah mereka ditipu dan diperdaya oleh dunia.[7]

 

Ibn Atha'illah Assakandari (650 H -- 709 H) beliau berkata: "Sesungguhnya bangunan wujud (dunia) ini, akan rusak binasa sendi-sendinya, dan akan musnah semua kemuliaan (kebesarannya)."

 

Abdul Wahhab al-Sya'rani (w. 973 H) berkata diantara akhlak para ulama' salafussalih adalah memandang dunia dengan pandangan i'tibar (untuk bahan mengambil pelajaran hidup) bukan dengan pandangan mahabbah (cinta dunia) dan syahwat (kesenangan).[8]

 

Dari sekian pandangan ulama di atas, dapat diambil intisarinya bahwa dunia ini dipegang di tangan saja, artinya dicari untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka menopang kekuatan ibadah dan digunakan sesuai fungsinya serta di salurkan kepada yang berhak sesuai aturan syariat tanpa ada rasa khawatir akan habis. Jangan sampai dunia ini ditaruh di dalam hati, dicintai sampai mati, seakan ia akan mati kalau tidak mempunyai dunia, jangan sampai dunia menjadi sandaran hidup. Pada titik inilah seseorang dibuat terlena sehingga ia enggan mengeluarkan untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Sampai-sampai ia pun lupa jika kelak juga akan meninggalkan dunia.

 

Alhasil, bersikap biasa saja terhadap dunia, karena tanpa kau sadaripun  kita akan meninggal dunia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun