Â
Sedangkan pesan Nabi Saw. kepada Abdullah bin Umar menggambarkan bahwa dunia ini sementara dan waktunya sangat singkat jika dibandingkan dengan akhirat, dunia bukan apa-apanya. Maka Nabi Saw. mengibaratkan seperti orang yang sedang mengembara atau seorang yang menyeberangi jalan. Artinya dunia ini bukan hunian abadi. Seorang pengembara akan pulang ke tempat asalnya, yakni akhirat. Seorang yang menyeberangi jalan, hanya sekedar lewat saja, ia tidak akan berhenti di tengah jalan. Maka kesenangan yang dirasakan di dunia sebenarnya kesenangan semu yang hilang dalam sekejap.
 Â
Orang bilang jika berbicara dunia maka yang terbayang adalah harta, tahta dan wanita. Tiga hal inilah yang kiranya sudah mewakili untuk menggambarkan kenikmatan isi dunia. Namun, menurut Mujiburrahman menyebut "wanita" tanpa pria tidak adil, oleh karenanya beliau senang menyebut "manusia".[2] Tidak berlebihan memang semua aktivitas manusia kalau dirunut pasti muaranya kepada tiga hal tersebut. Kerja keras, banting tulang, siang malam, kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala, menyita waktu istirahat dan tidur hanya untuk mencari harta. Ketika harta sudah di kuasai, nafsu terus bergejolak ingin mendapatkan pengaruh, pengikut dan pendukung maka ia mulai terjun ke ranah kekuasaan, dengan berbagai upaya politik ia lakukan untuk mendapatkan suara terbanyak yang bisa mengantarkannya menjadi penguasa. Biasanya ketika harta dan tahta sudah di tangan, maka godaan yang datang adalah wanita ini bagi pria, atau pria bagi wanita. Sebenarnya untuk yang ketiga ini adalah simbol nafsu sek, dan nafsu ini bisa terjadi pada siapa saja baik pria ataupun wanita.
 Â
Bagagaimana pandangan ulama sufi ahli hikmah ketika menyikapi dunia? Berikut kalam hikmah yang bisa kita petik untuk dijadikan penyejuk kalbu, agar kita tidak terlena terhadap gemerlapnya dunia yang menjadi penghalang penghambaan kita kepada Allah Swt.
 Abdurrahman Ad-Darani (w. 215 H) Jika dunia telah menempati hatinya, maka akhirat akan pergi darinya."[3]
 Ahmad bin Abdul Khiwari (w. 230 H)
 "Barang siapa yang memandang dunia dengan hati senang dan penuh keinginan, maka Allah akan mengeluarkan cahaya keyakinan dan zuhud dalam hatinya."[4]
 Ab Nashr Abdullah bin Ali al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H), beliau berpandangan bahwa "kefakiran seorang fakir (sufi) belum bisa dibenarkan sehingga ia keluar dari kemilikannya. Ketika ia sudah bisa keluar dari kemilikannya maka akan muncul suatu kedudukannya. Kedudukan pun harus ditanggalkan sehingga tidak tersisa apapun, yang tersisa hanya kekuatan nafsu. Kekuatan nafsu juga harus dikorbankan. Baru pada saat itulah kefakiran seorang fakir (sufi) bisa dibenarkan."[5]
Â