Mohon tunggu...
kangsalim79
kangsalim79 Mohon Tunggu... Diplomat RI -

lahir di pati jawa tengah, sarjana s1 universitas al-azhar 2004, s2 iain walisongo semarang 2009. Tinggal di Grand Depok City-Depok-Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarung dan Diplomasi

10 Januari 2017   14:22 Diperbarui: 10 Januari 2017   14:28 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Adakah hubungan antara sarung dengan diplomasi?

Biasanya, kosa kata diplomasi ditempatkan pada menara gading, ekslusif, dan hanya orang-orang tertentu yang menyandangnya. sedangkan sarung identik dengan wong cilik dan rakyat pinggiran. Sarung juga bisa dilekatkan dengan para santri yang sehari-hari memakai sarung.

Sarung adalah identitas santri, karena sarung digunakan para santri untuk mengerjakan sholat lima waktu.

Apa jadinya jika anak-anak "sarung-an" menjadi diplomat? Bagaimana sepak terjangnya?

Awalnya kami mendapatkan tugas untuk membantu percepatan evakuasi WNI di Yaman yang saat itu sedang bergejolak karena terjadi perang saudara antara Pemerintah yang berkuasa dan pemberontak al-houty.

KBRI di Sanaa telah mencurahkan upayanya mengimbau WNI untuk difasilitasi kepulangannya ke Indonesia, namun jumlah yang mau secara sukarela mengikuti ajakan KBRI tidak signifikan. Sementara itu, gejolak akibat perang semakin hari semakin memburuk. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas, maka dikirimlah 2 Tim untuk melakukan percepatan evakuasi. Tim pertama menuju Sana'a melalui Arab Saudi dan Tim kedua meunuju Hadramaut melalui Salalah, Oman. Kedua Tim menggunakan jalur darat, karena jalur penerbangan tidak ada. Jangankan penerbangan komersial, bandara di Sanaa pun laksana puing-puing yang berantakan akibat kena sasaran tembak bom.

Berikut cerita Tim kami yang sempat saya tulis.

One Way Ticket to Yemen

Dagdig dug. Detak jantung hari itu sungguh berdegub tak seperti biasanya. Tim 2 Percepatan Evakuasi dari Yaman telah berada di Oman (3/4/2015). Tiba-tiba saja keraguan menyeruak. Antara masuk ke Yaman atau tidak. Jika Tim tidak masuk, siapa lagi yang diharapkan untuk membantu percepatan evakuasi WNI di bagian Timur Yaman. Namun, jika masuk, siapa yang menjamin bahwa Tim akan kembali lagi dengan selamat.

Yang ada di benak mereka, Yaman semakin bergolak, perang, chaos, dan pemerintahan di ibukota (Sana’a) telah diambil alih oleh kelompok pemberontak al-Houthi. Oman, yang bersebelahan dengan Yaman pun, berdasarkan berita yang tersiar, telah mengeluarkan travel warning bagi warganya agar tidak melakukan perjalanan ke Yaman.

Pada malam sebelum hari keberangkatan, Tim ini sempat mencari alat transportasi untuk masuk ke Yaman. Hasilnya nihil. Nol besar. Mobil sewaan yang bersedia mengantar meminta harga yang tidak masuk akal. Ribuan dollar. Hal itu sedikit dapat dimengerti, masuk ke negara yang sedang bergejolak sama artinya dengan bertaruh nyawa.

Dalam kebuntuan itu, atas prakarsa Duta Besar RI di Muskat, personel dari Medco Indonesia yang berkedudukan di Oman diminta untuk untuk menyediakan alat transportasi dari kota Salalah di Oman menuju perbatasan Yaman yang jaraknya sekitar 200 km.

Uh, jalan yang dilalui menuju perbatasan sungguh berliku-liku. Sepanjang jalan, yang terlihat hanyalah padang pasir dan gunung-gunung batu yang tinggi menjulang. Beberapa kali jalan menanjak dan di kanan kiri jurang yang curam dan menganga. Dua kali mobil mereka diberhentikan di pos pemeriksaan militer. Akhirnya, setelah empat jam menyusuri perjalanan yang cukup menantang itu, alhamdulillah, Tim 2 sampai juga di perbatasan Oman-Yaman.

Di tapal batas dua negara itu, tiba-tiba anggota Tim seolah puasa bicara. Diam seribu bahasa. Dada terasa lebih sesak dari biasanya. Menghirup nafas dalam-dalam dan mengamati keadaan di sekeliling. Terlihat personel militer Oman berjaga-jaga di kawasan yang tertulis “dilarang mengambil gambar”.

Yaman ada di depan mata, masuk atau tidak, masih tanda tanya. Minimnya informasi mengenai situasi di Yaman, membuat para personel evakuasi ragu untuk memutuskan. Selang kurang lebih satu jam berlalu, akhirnya bulatlah suara Tim yang terdiri dari dua orang diplomat dan dua orang anggota Polri untuk masuk ke Yaman dengan segala resikonya. Bismillah saja.

Bagaimana tidak lanjut, Tim merasa telah diberikan amanah oleh Pemerintah RI untuk menjalankan tugas mulia. Jika khawatir atas nyawa, toh nyawa milik Tuhan. Jika sewaktu-waktu si empunya menarik balik nyawa yang dipinjamkam sesaat itu, sudah lumrah. Tak ada alasan kuat bagi mereka untuk tidak masuk Yaman.

“Bagaimana kawan-kawan, apakah kita siap masuk Yaman”, tantang Yusron, Ketua Tim. Ketiga anggota Tim pun dengan serempak tanpa berpikir lagi langsung bilang “siap”!!!

Dengan bekal bismillah sekitar pukul 14.00, di tengah terik matahari yang cukup membakar, Tim “nekad” bertolak dari perbatasan Oman menuju perbatasan Yaman. Di batas medan tempur itu pula, atas bantuan dari personel Medco, Tim mendapatkan “taksi” yang akan mengantar Tim menuju Yaman dengan tujuan Tarim, sebuah kota di Hadramaut, dimana 1500 pelajar Indonesia sedang menimba ilmu.

Jangan bayangkan taksi yang ditumpangi adalah mobil sedan ber-AC. Ini Yaman Bung! Negara termiskin di kawasan Timur Tengah. Taksi yang ada hanyalah mobil butut dengan dua kabin, tanpa nomor polisi. Mobil ini biasanya digunakan untuk mengangkut barang, termasuk kambing.

O ya, awalnya, Tim akan menjadikan ibu kota Hadramaut, Mukalla, sebagai pusat evakuasi WNI untuk wilayah Timur Yaman. Namun, menyusul insiden penyerangan bersenjata yang dilakukan oleh al-Qaeda, situasi keamanan Mukalla tiba-tiba memanas karena kabilah-kabilah di kota tua itu melakukan patroli bersenjata untuk menghalau kelompok al-Qaeda.

Media massa memberitakan, Bandar Udara Mukalla masih dikuasai oleh Kabilah sedangkan pelabuhan dikuasai oleh al-Qaedah. Juga terdengar kabar terjadi kontak senjata antara al-Qaedah dan aparat keamanan yang mencoba merebut pelabuhan dari kelompok al-Qaedah. Tim pun berputar haluan dan menjadikan Tarim sebagai pusat evakuasi. Apa boleh buat.

Sekitar satu jam taksi melaju, tiba-tiba sopir menepikan mobilnya ke sudut jalan yang mirip dengan bengkel. Di situ tampak seorang lelaki setengah baya sedang mengusap mukanya yang masih basah oleh air wudhu. Rupanya dia akan menjalankan shalat ashar.

“Kita berpisah di sini, nanti paman saya yang akan mengantar kalian ke tempat tujuan. Setelah paman saya selesai shalat ashar, kalian bisa melanjutkan perjalanan bersama dia,” kata sopir kami tanpa basa-basi.

Awalnya Tim menyangka bahwa dialah yang akan mengantar hingga sampai ke Tarim. Ternyata yang bersangkutan hanyalah seorang makelar. Ada sopir lain lagi yang akan mengantar ke tempat tujuan.

Sekitar setengah jam menunggu sopir kedua dengan penuh tanda tanya. Benarkah sopir yang mengantar ini dapat dipercaya? Bagaimana kalau Tim dibegal di tengah jalan, sedangkan di tas mereka tak kurang dari 10.000 dollar AS yang akan digunakan untuk keperluan mengatur evakuasi. Seribu tanda tanya bergelayut di dalam benak mereka.

Di tengah perjalanan, sopir taksi kedua ini meminta Ketua Tim yang duduk di bangku depan untuk membuka dashboard. Syahdan, yang ditemukan adalah sebuah pistol tua. Ternyata, di Yaman ini senjata beredar tanpa kontrol. Ini menambah kepanikan. “Jangan-jangan kami diberhentikan ditengah jalan, dirampok, dan tamatlah riwayat kami,” ujar salah satu anggota Tim.

Tidak dinyana, ternyata sopir taksi kedua ini cukup ramah. Taksi terus melaju. Setelah kurang lebih satu setengah hingga dua jam perjalanan kami berhenti di suatu tempat dan diminta pindah mobil lagi.

“Hah, pindah mobil lagi?” Di situ, lagi-lagi, Tim dikenalkan dengan dengan anak muda berumur dua puluhan, berambut ikal agak gondrong. Namanya Said. Dialah yang akan mengantar semua personil dari Jakarta ini sampai Tarim.

“Sepanjang jalan, setiap pindah mobil dan di saat ada sinyal handphone, Tim 2 berkomunikasi dengan Ketua PPI Hadramaut. Kami meminjam HP sopir untuk menelpon Ketua PPI. Ini adalah cara kami untuk meninggalkan jejak. Jika kami mendapatkan masalah di tengah jalan, setidaknya ada petunjuk untuk melacak keberadaan kami,” ujar anggota dari Kepolisian RI yang ikut serta.

Sore menjelang magrib, kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah kegelapan malam, mobil tua itu menyusuri pinggiran padang pasir. Kadang, gunung-gunung batu terlihat samar-samar karena tersorot lampu mobil. Sesekali anggota Tim memejamkan mata karena lelah setelah seharian menguras tenaga dan pikiran.

Beberapa kali anggota Tim dikagetkan oleh sopir yang mengerem secara mendadak. Ternyata beberapa ekor unta melintas di jalan. Kalau tidak waspada, mobil bisa menabrak binatang padang pasir yang melintas itu. Menejalang tengah malam, Tim beristirahat untuk makan malam dan shalat. Tak banyak pilihan rest area. Untuk memesan makanan, sang sopir harus menelpon ke warung makan beberapa jam sebelumnya.

“Kalau kita tidak dapat makan di warung makan itu, maka malam ini kita tidak makan,” Said yang sudah bepengalaman dengan kondisi perjalanan yang kami tempuh.

Malam semakin gelap, semakin jauh pula jarak perjalanan yang ditempuh. Tak ada sinyal HP. Hingga akhirnya menjelang subuh, di bawah remang cahaya bulan tampak sebuah gerbang dengan tulisan “WELOME TO TARIM”.

Lega rasanya, setelah menempuh jalan terjal dan berliku, menyusuri malam dengan ketidakpastian, dan pos pemeriksaan tak kurang dari 5 titik, akhirnya sampai ke negeri asal para Walisongo itu. Kata “alhamdulillah” tak henti-hentinya terucap dari mulut. Pada pukul 07.00 (4/42015), Tim disambut oleh pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hadramaut yang nantinya menjadi partner dalam mengatur evakuasi WNI. “Kami sudah panik, jangan-jangan Tim percepatan evakuasi mendapat musibah di tengah jalan dan malah perlu dievakuasi duluan,” kelakar Rofik Anwari, Ketua PPI.

Semua anggota Tim berpacu dengan waktu. Rasa lelah seolah enyah karena harus berupaya dan mencari cara agar 2000 WNI di Tarim dan Mukalla dapat dievakuasi. Dipulangkan ke tanah air. Maklumlah, data awal yang diterima, dari 2000 WNI itu hanya 60 orang yang mendaftar evakuasi. Sungguh ini tantangan berat.

Singkat cerita, pagi itu semua anggota Tim langsung melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh karismatik, universitas, dan lembaga pendidikan di Tarim, serta berdialog langsung dengan WNI. Buah manis bisa dipetik segera. Pada hari kedua keberadaan di Tarim jumlah pendaftar evakuasi semakin bertambah.

Pada hari keempat gelombang I evakuasi telah dimulai dengan memberangkatkan 47 orang (7/4/2015). Di hari ke-12 keberdaan Tim di Tarim, sudah sekitar 1000 orang WNI telah dievakuasi dari Tarim menuju Salalah, Oman melalui jalur darat dan selanjutnya diterbangkan ke tanah air. Setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan (Quran).

MANA CERITA SARUNGNYA?

Tunggu di seri II....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun