Mohon tunggu...
kangsalim79
kangsalim79 Mohon Tunggu... Diplomat RI -

lahir di pati jawa tengah, sarjana s1 universitas al-azhar 2004, s2 iain walisongo semarang 2009. Tinggal di Grand Depok City-Depok-Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarung dan Diplomasi

10 Januari 2017   14:22 Diperbarui: 10 Januari 2017   14:28 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kita berpisah di sini, nanti paman saya yang akan mengantar kalian ke tempat tujuan. Setelah paman saya selesai shalat ashar, kalian bisa melanjutkan perjalanan bersama dia,” kata sopir kami tanpa basa-basi.

Awalnya Tim menyangka bahwa dialah yang akan mengantar hingga sampai ke Tarim. Ternyata yang bersangkutan hanyalah seorang makelar. Ada sopir lain lagi yang akan mengantar ke tempat tujuan.

Sekitar setengah jam menunggu sopir kedua dengan penuh tanda tanya. Benarkah sopir yang mengantar ini dapat dipercaya? Bagaimana kalau Tim dibegal di tengah jalan, sedangkan di tas mereka tak kurang dari 10.000 dollar AS yang akan digunakan untuk keperluan mengatur evakuasi. Seribu tanda tanya bergelayut di dalam benak mereka.

Di tengah perjalanan, sopir taksi kedua ini meminta Ketua Tim yang duduk di bangku depan untuk membuka dashboard. Syahdan, yang ditemukan adalah sebuah pistol tua. Ternyata, di Yaman ini senjata beredar tanpa kontrol. Ini menambah kepanikan. “Jangan-jangan kami diberhentikan ditengah jalan, dirampok, dan tamatlah riwayat kami,” ujar salah satu anggota Tim.

Tidak dinyana, ternyata sopir taksi kedua ini cukup ramah. Taksi terus melaju. Setelah kurang lebih satu setengah hingga dua jam perjalanan kami berhenti di suatu tempat dan diminta pindah mobil lagi.

“Hah, pindah mobil lagi?” Di situ, lagi-lagi, Tim dikenalkan dengan dengan anak muda berumur dua puluhan, berambut ikal agak gondrong. Namanya Said. Dialah yang akan mengantar semua personil dari Jakarta ini sampai Tarim.

“Sepanjang jalan, setiap pindah mobil dan di saat ada sinyal handphone, Tim 2 berkomunikasi dengan Ketua PPI Hadramaut. Kami meminjam HP sopir untuk menelpon Ketua PPI. Ini adalah cara kami untuk meninggalkan jejak. Jika kami mendapatkan masalah di tengah jalan, setidaknya ada petunjuk untuk melacak keberadaan kami,” ujar anggota dari Kepolisian RI yang ikut serta.

Sore menjelang magrib, kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah kegelapan malam, mobil tua itu menyusuri pinggiran padang pasir. Kadang, gunung-gunung batu terlihat samar-samar karena tersorot lampu mobil. Sesekali anggota Tim memejamkan mata karena lelah setelah seharian menguras tenaga dan pikiran.

Beberapa kali anggota Tim dikagetkan oleh sopir yang mengerem secara mendadak. Ternyata beberapa ekor unta melintas di jalan. Kalau tidak waspada, mobil bisa menabrak binatang padang pasir yang melintas itu. Menejalang tengah malam, Tim beristirahat untuk makan malam dan shalat. Tak banyak pilihan rest area. Untuk memesan makanan, sang sopir harus menelpon ke warung makan beberapa jam sebelumnya.

“Kalau kita tidak dapat makan di warung makan itu, maka malam ini kita tidak makan,” Said yang sudah bepengalaman dengan kondisi perjalanan yang kami tempuh.

Malam semakin gelap, semakin jauh pula jarak perjalanan yang ditempuh. Tak ada sinyal HP. Hingga akhirnya menjelang subuh, di bawah remang cahaya bulan tampak sebuah gerbang dengan tulisan “WELOME TO TARIM”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun