Mohon tunggu...
Kang Rik-rik
Kang Rik-rik Mohon Tunggu... -

kangrikrik.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laskar Badung

4 Maret 2015   05:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_371330" align="aligncenter" width="456" caption="Ilustrasi: googling."][/caption]

Bangunan SD tampak kumuh dan tidak menggairahkan. Terletak sekitar satu kilometer dari pusat kota Garut. Meskipun begitu, pandangan orang mengenai Garut tetaplah sebagai desa. Masih kental dengan budaya dan kearifan lokal. Pun dengan SD ini, suasana pedesaan masih sangat kentara di lingkungan sekitarnya. Di sebelah timur SD, rumah penduduk masih dapat dihitung dengan jari. Luas rumah penduduk masih kalah bersaing dengan luasnya perkebunan dan sawah. Di sebelah barat SD, tumbuh sangat subur bambu-bambu hijau yang menjulang, senantiasa bergoyang apabila bambu-bambu ini tertiup oleh angin. Tepat di depan SD, jalan kecil penghubung kelurahan dan jalan raya melintang dengan elok. Sesekali ojek dan delman lewat di depannya.

“Apa yang akan kau lakukan, Dang. Dari tadi kuperhatikan kau asik sendiri memegang perutmu.”

“Pura-pura tak tahu saja kau ini. Biasa, ke kebun bambu.”

“Sakit perut?”

Ditanya seperti itu, Odang menganggukan kepalanya. Di belakang, Didin yang sebelumnya bertanya, tampak mengikuti. Sadar dengan hal itu, Odang menoleh ke arah Didin.

“Kau mau buang air juga?” tanya Odang.

“Hanya mencari udara segar. Kebun bambu lebih enak dan sejuk di banding ruang kelas.” Ujar Didin seraya menyeringai.

Sudah jadi kebiasaan, anak-anak SD seringkali buang air di kebun bambu. Bukannya tak ada kamar kecil, hanya saja itulah kebiasaan mereka, entah kenapa. Selokan air itu selalu saja mengalir di setiap musim. Di pinggirnya, sawah-sawah tak luput dari pengairan yang dialirkan oleh selokan tersebut. Bila istirahat sekolah dan terik menjelang, anak-anak juga sering mencelupkan kaki mereka di selokan tersebut. Tak ada yang merasa jijik, karena selokan tersebut tampak begitu alami dan bersih. Setiap kotoran dan rumput akan dengan cepat dialirkan ke selokan yang lebih besar. Sehingga selokan di bawah kebun bambu itu tetap saja jernih dan segar.

“Pukul berapa sekarang?” tanya Odang setelah ia buang hajat dan keluar dari selokan. Kepalanya mendongak ke arah Didin yang tengah asik dengan lamunan.

“Paling baru pukul setengah sepuluh,” pandangan Didin datar, menghadap hamparan sawah. “Jangan dulu masuk kelas lah,” lanjutnya.

“Siapa yang mau kembali ke sekolah. Aku sendiri mau cari buah jambu. Mau ikut?” tanya Odang.

Dengan seketika mimik wajah Didin berubah menjadi penuh gairah. Matanya menatap ke arah Odang. Seperti biasa, senyumnya kembali menyeringai.

“Kalau itu sih jangan ditanya lagi,” Didin beranjak dari duduknya, “ya sudah, tunggu apalagi. Ayuk!” lanjutnya dengan nada setengah tak sabar.

“Tunggu anak-anak datang dulu, Din,” ujar Odang, “biar kita bolos rame-rame.” Tangannya sesekali memainkan daun bambu.

Beginilah jadinya jika anak-anak ini sudah sepakat dengan keasyikan mereka. Sekolah pun mereka korbankan. Urusan tas? Biarkan itu di bangku mereka. Karena mereka pikir, itu bukan masalah yang serius. Pun ketika guru marah-marah, mereka akan tetap tenang dan mengunci kupingnya masing-masing. Ya, sudah jadi watak anak desa, rata-rata mereka memang bermental baja dan terkenal bengal.

Sementara itu, dari kejauhan rombongan anak-anak yang lain tampak mendekat ke arah kebun bambu, mendekat ke arah Odang dan Didin. Rupa-rupanya jam istirahat sekolah masih berlangsung, atau mungkin, mereka memang sengaja bolos. Jika kau ingin memanggil gerombolan anak-anak desa ini, sebut saja mereka “Laskar Badung”.

“Oiii,” teriak Odang.

“Oiii,” balas salah satu rombongan.

Selanjutnya entah apa yang terjadi, yang jelas bambu semakin gemulai saja ditiup angin. Diikuti oleh gelombang padi di sawah. Sementara selokan kecil tetap mengalir bersama airnya yang jernih. Anak-anak itu kini berembug di bawah pohon-pohon bambu. Satu sama lain saling menyeringai, seolah sudah saling mengerti apa yang harus mereka lakukan. Kiranya pohon jambu yang tak jauh dari kebun tersebut memang sudah jadi incaran mereka.

***

Jam menunjukan pukul 8 pagi. Suara penggaris kayu terdengar keras menggebrak meja. Jendela usang yang terbuat dari kawat seolah bergetar dibuatnya. Banyak burung pipit berterbangan mendengar suara gebrakan tersebut. Seharusnya sekarang waktu yang tepat untuk merasakan hangatnya pagi, bukan malah sebaliknya, mendengarkan gebrakan yang memekakan telinga.

Namanya Surtini, namun anak-anak biasa memanggil ia dengan sebutan Bu Surti. Elok wajahnya, namun bisa berubah menjadi sangat menakutkan ketika ia sedang marah. Jangan coba-coba main api dengannya, atau jika kau berani, kau bisa saja terbakar api amarahnya.

Guru setengah baya tersebut rupa-rupanya tengah marah besar terhadap anak didiknya. Suasana kelas benar-benar mencekam. Tak ada yang berani bersuara.

“Cepat acungkan tangan! Siapa saja yang membolos di hari kemarin?!” tangannya mengacungkan penggaris kayu, sesekali gerakannya melintang dari sudut ke sudut. Benar-benar seram.

“Ibu tanya siapa yang kemarin bolos masuk kelas?!”

Tak ada jawaban.

“Acungkan tangan atau Ibu akan menyuruh kalian semua keluar!”

Tetap saja hening.

Surtini menghembuskan nafas, ia berusaha tidak membakar seluruh amarahnya. Anak-anak perempuan tampak tertunduk semua, mereka tak merasa bersalah atas kejadian ini. Anak-anak laki yang kemarin merasa bolos, saling melepas pandang satu sama lain.

Surtini keluar dari kelas. Tampaknya ia telah bosan meluapkan amarahnya terus menerus. Benar apa kata bapaknya dulu, anak desa cenderung bandel dan bermental kuat. Sudah puluhan kali ucapan ayahnya itu terbukti benar. Dengan perasaan campur aduk ia berjalan menuju kantor.

Sesampainya kembali di kelas, Surtini sudah menenteng dua tas sekolah. Rupanya tas-tas itu merupakan tas kepunyaan anak-anak yang kemarin membolos.

“Ada banyak tas di kantor Kepala Sekolah. Kalian yang kemarin bolos tidak akan bisa lolos,” matanya menatap tajam dan berkeliling ke seluruh penjuru kelas. Tangannya masih menenteng tas, “yang merasa namanya dipanggil Kepala Sekolah, segera keluar. Tak ada kompromi.”

Anak-anak yang merasa bersalah langsung terperangah. Beberapa ada yang merogoh kolong bangkunya, diraba-raba memang betul adanya. Tas mereka ternyata telah berpindah tempat ke kantor Kepala Sekolah. Entah siapa yang memindahkan tas sewaktu mereka membolos.

Pintu kelas terbuka pelan. Tardin, Kepala Sekolah berusia lima puluhan itu kini memasuki ruang kelas. Sesekali berdeham memberikan isyarat kepada Bu Surti. Matanya mengerling ke arah anak-anak. Selanjutnya sudah bisa ditebak, anak-anak yang sebelumnya bolos kini harus bersiap untuk menerima hukuman. Kepala Sekolah sepertinya telah memiliki catatan tersendiri, siapa saja anak-anak yang sebelumnya bermasalah. Dan tentu saja, suasana menjadi semakin mencekam. Laskar Badung satu persatu memasuki kantor. Siap-siap untuk menerima hukuman, dan lebih dari itu, Tardin memerintahkan Bu Surti agar orang tua dari masing-masing anak dipanggil menghadap. Bagi anak-anak tersebut, inilah yang namanya kiamat.

***

Kenaikan kelas tinggal menghitung minggu. SD masih saja tampak kumuh dan mencemaskan. Pemerintah seolah asyik berpesta ria menggunakan anggaran pendidikan. Denting gelas minuman sepertinya lebih penting ketimbang urusan pendidikan.

Ada perubahan di raut wajah Surtini, ketika ia menyadari kalau kenaikan kelas semakin mendekat. Kini kesan galak ketika ia mengajar mulai sirna. Pernah suatu hari ia berkata kepada murid-muridnya:

“Nak, selama Ibu mengajar mungkin di antara kalian ada yang merasa marah atau sakit hati,” ujarnya tulus, “kita sadari, kenaikan kelas juga semakin dekat. Ibu mohon maaf bila selama ini cara Ibu mengajar telah mengguratkan rasa benci di hati kalian. Ketahuilah, amarah Ibu dalam mendidik kalian bukan semata karena Ibu benci terhadap diri kalian. Tidak, tidak sama sekali. Adapun kalau kalian nanti sudah dewasa, tirulah padi. Semakin ia berisi, semakin ia menunduk. Ibu hanya titip satu hal pada kalian, sebadung-badungnya kalian sekarang, jangan kalian bawa kenakalan tersebut menjelang kalian dewasa nanti.”

Murid-murid nampak terdiam meresapi setiap kata yang diucapkan oleh gurunya. Kelas benar-benar hening. Anak laki-laki, mereka menatap Bu Surti dengan tatapan takjub dan tak menyangka, ternyata Bu Surti yang selama ini dikenal galak mampu melontarkan petuah yang begitu tulus. Anak perempuan, mereka tertunduk lemah menatap bangku. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air matanya.

***

“Buka, buka pintunya!” teriak satpol PP, mereka tengah merazia warung miras oplosan.

“Pak, warung sudah dibongkar,” lapor salah satu dari satpol PP, “apa yang selanjutnya harus kita lakukan?”

“Bawa barang bukti ke kantor,” jawab Didin singkat.

Sudah puluhan tahun ketika Didin meninggalkan bangku SD. Kini ia menjabat sebagai Pimpinan Satpol PP.

Warung miras oplosan kini memang sedang gencar dirazia, terutama di Garut. Namun seperti ada hal yang mengganjal di pikiran Didin, ia berdiri mematung dengan pandangan kosong.

“Barang bukti siap dibawa ke kantor, Pak,” anak buahnya kembali melapor, “bagaimana dengan tersangkanya?”

“Bawa ia ke kantor,” jawab Didin singkat, pandangannya tetap kosong.

Dari dalam warung, tampak beberapa orang tengah diborgol. Semua tersangka tertunduk lesu. Salah satu dari mereka nampaknya mengenal Didin. Sadar dengan hal itu, Didin mendekat ke arah orang yang sedari tadi terus memandangnya dengan pandangan hampa.

“Ingat tentang SD dulu kita teman?” tanya Didin terhadap orang yang ia kenal.

Yang ditanya mengangguk lemah. Tangannya benar-benar telah terborgol.

“Sadarlah, Dang. Bu Surti pernah mengatakan kalau kebadungan tidak sepatutnya kita bawa sampai masa tua, adakalanya kita sadar,” Didin menghembuskan nafas sejenak, “sebenarnya sudah sejak lama aku ditugaskan untuk menutup warungmu. Hanya saja dari dulu aku juga sudah tahu, kau yang memiliki tempat ini. Karena itu dulu aku belum berani merazia tempat ini. Terakhir, mengingat banyaknya pemberitaan miras oplosan di TV membuatku tersadar dan memutuskan untuk bertindak tegas. Sekalipun itu terhadap dirimu. Ingatlah, Dang. Garut milik semua, banyak pesantren di kota Garut yang tidak seharusnya kau kotori dengan miras oplosan.”

Odang tertunduk lemas. Untuk beberapa detik matanya masih saja menatap tanah. Kemudian setelah itu dagunya mulai terlihat mengangkat. Bibirnya bergetar, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan.

“Terimakasih telah mengingatkanku mengenai SD kita dulu, Din,” matanya berkaca-kaca, “sungguh, aku benar-benar menyesalinya.”

Didin tersenyum hampa. Kemudian ia memberi isyarat kepada anak buahnya, agar semua barang bukti dan para tersangka, termasuk Odang dibawa ke kantor kepolisian. Setelahnya, semua mendadak hening. Hanya puing-puing bangunan warung yang tersisa di depan pandangannya. Tak ketinggalan, angin sejuk kota Garut ikut menerpa wajahnya. Seolah angin pun mengerti, apa yang sedang dirasakannya sekarang.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun