“Ibu tanya siapa yang kemarin bolos masuk kelas?!”
Tak ada jawaban.
“Acungkan tangan atau Ibu akan menyuruh kalian semua keluar!”
Tetap saja hening.
Surtini menghembuskan nafas, ia berusaha tidak membakar seluruh amarahnya. Anak-anak perempuan tampak tertunduk semua, mereka tak merasa bersalah atas kejadian ini. Anak-anak laki yang kemarin merasa bolos, saling melepas pandang satu sama lain.
Surtini keluar dari kelas. Tampaknya ia telah bosan meluapkan amarahnya terus menerus. Benar apa kata bapaknya dulu, anak desa cenderung bandel dan bermental kuat. Sudah puluhan kali ucapan ayahnya itu terbukti benar. Dengan perasaan campur aduk ia berjalan menuju kantor.
Sesampainya kembali di kelas, Surtini sudah menenteng dua tas sekolah. Rupanya tas-tas itu merupakan tas kepunyaan anak-anak yang kemarin membolos.
“Ada banyak tas di kantor Kepala Sekolah. Kalian yang kemarin bolos tidak akan bisa lolos,” matanya menatap tajam dan berkeliling ke seluruh penjuru kelas. Tangannya masih menenteng tas, “yang merasa namanya dipanggil Kepala Sekolah, segera keluar. Tak ada kompromi.”
Anak-anak yang merasa bersalah langsung terperangah. Beberapa ada yang merogoh kolong bangkunya, diraba-raba memang betul adanya. Tas mereka ternyata telah berpindah tempat ke kantor Kepala Sekolah. Entah siapa yang memindahkan tas sewaktu mereka membolos.
Pintu kelas terbuka pelan. Tardin, Kepala Sekolah berusia lima puluhan itu kini memasuki ruang kelas. Sesekali berdeham memberikan isyarat kepada Bu Surti. Matanya mengerling ke arah anak-anak. Selanjutnya sudah bisa ditebak, anak-anak yang sebelumnya bolos kini harus bersiap untuk menerima hukuman. Kepala Sekolah sepertinya telah memiliki catatan tersendiri, siapa saja anak-anak yang sebelumnya bermasalah. Dan tentu saja, suasana menjadi semakin mencekam. Laskar Badung satu persatu memasuki kantor. Siap-siap untuk menerima hukuman, dan lebih dari itu, Tardin memerintahkan Bu Surti agar orang tua dari masing-masing anak dipanggil menghadap. Bagi anak-anak tersebut, inilah yang namanya kiamat.
***
Kenaikan kelas tinggal menghitung minggu. SD masih saja tampak kumuh dan mencemaskan. Pemerintah seolah asyik berpesta ria menggunakan anggaran pendidikan. Denting gelas minuman sepertinya lebih penting ketimbang urusan pendidikan.
Ada perubahan di raut wajah Surtini, ketika ia menyadari kalau kenaikan kelas semakin mendekat. Kini kesan galak ketika ia mengajar mulai sirna. Pernah suatu hari ia berkata kepada murid-muridnya:
“Nak, selama Ibu mengajar mungkin di antara kalian ada yang merasa marah atau sakit hati,” ujarnya tulus, “kita sadari, kenaikan kelas juga semakin dekat. Ibu mohon maaf bila selama ini cara Ibu mengajar telah mengguratkan rasa benci di hati kalian. Ketahuilah, amarah Ibu dalam mendidik kalian bukan semata karena Ibu benci terhadap diri kalian. Tidak, tidak sama sekali. Adapun kalau kalian nanti sudah dewasa, tirulah padi. Semakin ia berisi, semakin ia menunduk. Ibu hanya titip satu hal pada kalian, sebadung-badungnya kalian sekarang, jangan kalian bawa kenakalan tersebut menjelang kalian dewasa nanti.”
Murid-murid nampak terdiam meresapi setiap kata yang diucapkan oleh gurunya. Kelas benar-benar hening. Anak laki-laki, mereka menatap Bu Surti dengan tatapan takjub dan tak menyangka, ternyata Bu Surti yang selama ini dikenal galak mampu melontarkan petuah yang begitu tulus. Anak perempuan, mereka tertunduk lemah menatap bangku. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan air matanya.
***
“Buka, buka pintunya!” teriak satpol PP, mereka tengah merazia warung miras oplosan.
“Pak, warung sudah dibongkar,” lapor salah satu dari satpol PP, “apa yang selanjutnya harus kita lakukan?”
“Bawa barang bukti ke kantor,” jawab Didin singkat.
Sudah puluhan tahun ketika Didin meninggalkan bangku SD. Kini ia menjabat sebagai Pimpinan Satpol PP.
Warung miras oplosan kini memang sedang gencar dirazia, terutama di Garut. Namun seperti ada hal yang mengganjal di pikiran Didin, ia berdiri mematung dengan pandangan kosong.
“Barang bukti siap dibawa ke kantor, Pak,” anak buahnya kembali melapor, “bagaimana dengan tersangkanya?”
“Bawa ia ke kantor,” jawab Didin singkat, pandangannya tetap kosong.
Dari dalam warung, tampak beberapa orang tengah diborgol. Semua tersangka tertunduk lesu. Salah satu dari mereka nampaknya mengenal Didin. Sadar dengan hal itu, Didin mendekat ke arah orang yang sedari tadi terus memandangnya dengan pandangan hampa.
“Ingat tentang SD dulu kita teman?” tanya Didin terhadap orang yang ia kenal.
Yang ditanya mengangguk lemah. Tangannya benar-benar telah terborgol.
“Sadarlah, Dang. Bu Surti pernah mengatakan kalau kebadungan tidak sepatutnya kita bawa sampai masa tua, adakalanya kita sadar,” Didin menghembuskan nafas sejenak, “sebenarnya sudah sejak lama aku ditugaskan untuk menutup warungmu. Hanya saja dari dulu aku juga sudah tahu, kau yang memiliki tempat ini. Karena itu dulu aku belum berani merazia tempat ini. Terakhir, mengingat banyaknya pemberitaan miras oplosan di TV membuatku tersadar dan memutuskan untuk bertindak tegas. Sekalipun itu terhadap dirimu. Ingatlah, Dang. Garut milik semua, banyak pesantren di kota Garut yang tidak seharusnya kau kotori dengan miras oplosan.”
Odang tertunduk lemas. Untuk beberapa detik matanya masih saja menatap tanah. Kemudian setelah itu dagunya mulai terlihat mengangkat. Bibirnya bergetar, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan.
“Terimakasih telah mengingatkanku mengenai SD kita dulu, Din,” matanya berkaca-kaca, “sungguh, aku benar-benar menyesalinya.”
Didin tersenyum hampa. Kemudian ia memberi isyarat kepada anak buahnya, agar semua barang bukti dan para tersangka, termasuk Odang dibawa ke kantor kepolisian. Setelahnya, semua mendadak hening. Hanya puing-puing bangunan warung yang tersisa di depan pandangannya. Tak ketinggalan, angin sejuk kota Garut ikut menerpa wajahnya. Seolah angin pun mengerti, apa yang sedang dirasakannya sekarang.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H