Suatu pagi, saat berbicara dengan rekan pendidik dari luar negeri, saya melihat sebuah gambar yang cukup menarik perhatian. Gambar tersebut memperlihatkan siswa satu sekolah yang sedang duduk di lapangan upacara, membaca buku berjejer dengan rapi selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai.
Rekan saya, setelah melihat gambar tersebut, bertanya, "Apa yang sedang dilakukan itu? Membaca ya?" Saya pun menjawab, "Iya, itu adalah bagian dari gerakan literasi sekolah di Indonesia, di mana siswa diwajibkan membaca sebelum kelas dimulai." Namun, pertanyaan selanjutnya dari rekan saya justru menggugah pemikiran saya lebih dalam. "Kenapa sampai seperti itu? Apa mereka tidak punya kebiasaan membaca?"
Jawaban saya, "Skor literasi Indonesia sangat rendah, terutama dalam survei internasional seperti PISA, yang mencatatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 64 negara. Mungkin inilah salah satu cara pemerintah atau sekolah berusaha meningkatkan budaya membaca di kalangan siswa." Rekan saya menambahkan, "Tetapi apakah yakin siswa bisa tergugah minat membacanya dengan cara seperti itu?Â
Saya melihatnya lebih mirip kamp konsentrasi, di mana siswa dipaksa membaca dengan diawasi ketat oleh guru. Bukankah ini malah membuat membaca terasa seperti hukuman?"
Yang disampaikan teman saya membuat saya tersadar. Memang, jika kita telusuri lebih dalam, kita akan menemukan bahwa gerakan membaca selama 15 menit sebelum kelas dimulai di lapangan terbuka tidak selalu efektif, bahkan bisa kontraproduktif.Â
Ini bukan hanya soal memaksakan siswa untuk membaca, tetapi bagaimana menciptakan motivasi intrinsik yang kuat untuk membaca, tanpa merasa terpaksa. Di sinilah kita perlu berpikir ulang tentang kebijakan ini.
1. Motivasi Intrinsik yang Terabaikan
Bukan hal yang baru lagi bahwa budaya literasi di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data PISA, Indonesia masih berada di peringkat bawah dalam hal kemampuan literasi. Namun, solusi yang diterapkan---membaca di lapangan selama 15 menit---mungkin bukan langkah yang tepat. Alih-alih memotivasi siswa untuk mencintai buku, gerakan ini justru lebih mengarah pada pemaksaan yang berpotensi menciptakan rasa tidak suka terhadap membaca.
Sebagai pendidik, kita seharusnya tidak hanya mengandalkan motivasi eksternal seperti kebijakan pemerintah atau aturan sekolah. Siswa perlu dibimbing untuk menemukan motivasi dalam diri mereka sendiri.Â
Jika siswa dipaksa untuk membaca hanya karena ada pengawasan dari guru, bagaimana jika kebijakan tersebut berubah? Apa yang akan terjadi pada minat baca siswa ketika kebijakan tersebut dicabut? Ini justru bisa berbalik menjadi kebijakan yang kontraproduktif, di mana siswa tidak memiliki keinginan membaca karena sudah terbiasa dengan motivasi yang bersifat eksternal dan tidak berkelanjutan.
2. Lingkungan Membaca yang Tidak Ideal
Salah satu masalah yang sering muncul dari gerakan membaca di lapangan adalah masalah cuaca. Bagaimana jika hujan? Atau jika suhu terlalu panas?Â
Membaca di luar ruangan memang tampak seperti sebuah ide yang baik, tetapi mengabaikan kenyamanan dan kondisi cuaca bisa membuat aktivitas tersebut menjadi kurang menyenangkan. Siswa mungkin lebih memilih membaca dengan nyaman di dalam kelas, yang tentu akan lebih kondusif bagi konsentrasi mereka.
Selain itu, kegiatan membaca di lapangan bisa jadi hanya sebuah bentuk "pamer" untuk menunjukkan bahwa sekolah atau guru terlibat dalam gerakan literasi. Apakah kita benar-benar peduli pada kualitas bacaan dan pengalaman siswa, atau hanya sekadar ingin memperlihatkan sesuatu yang tampak baik di mata publik?
3. Sekolah Bukan Penjara
Membaca rapi berbaris, diawasi guru dari belakang dan samping, bisa dibilang mirip dengan suasana di penjara. Siswa bukan hanya dibatasi dalam ruang kelas, tetapi juga di luar ruang kelas, mereka dipaksa untuk membaca dengan cara yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk menikmati kegiatan tersebut.Â
Dalam perspektif saya, pendidikan seharusnya memberi siswa kebebasan, baik dalam mencari minat, mengeksplorasi ide-ide, maupun dalam memilih waktu dan tempat untuk membaca. Jika membaca justru diubah menjadi semacam kewajiban yang dibatasi oleh aturan dan pengawasan, bukan tidak mungkin hal ini akan membuat siswa merasa bahwa membaca adalah hal yang membosankan dan bahkan menyiksa.
Untuk meningkatkan kualitas literasi di Indonesia, kita perlu pendekatan yang lebih mendalam dan menyeluruh. Daripada hanya fokus pada kebijakan membaca di lapangan, lebih baik kita memperkuat kebiasaan membaca di dalam kelas dengan cara yang lebih fleksibel.
 Menyediakan ruang yang nyaman untuk membaca, memilih buku yang sesuai dengan minat siswa, dan yang lebih penting, memberikan waktu bagi mereka untuk mengembangkan kecintaan terhadap buku secara alami tanpa ada paksaan.
Pendidikan literasi seharusnya bukan tentang seberapa banyak siswa bisa membaca dalam waktu tertentu, tetapi bagaimana mereka bisa menemukan kebiasaan membaca yang menyenangkan dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, yang terpenting adalah menciptakan budaya membaca yang berkelanjutan, bukan sekadar mengejar angka atau peringkat dalam survei internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H