MALAM (3 Desember 2015 lalu), mencet chanel TransTV. Ada Judika menyanyi di acaranya sendiri A Night with Judika. Sekadar tahu, tapi saya gak pernah menuntaskan acara ini. Tapi malam itu, temanya Tribute to Chrisye. Lama juga rasanya tak mendengar lagu-lagu Chrisye. Saya tidak tahu momen apa yang menghubungkan acara Judik dengan Chrisye (biasanya, tema acara disesuaikan dengan peristiwa tertentu, soalnya). Chrisye lahir lahir di Jakarta 16 september 1949/ dan meninggal 30 Maret 2007. Jadi, pasti, bukan karena dua peristiwa itu. Hari Musik Nasional, juga bukan. Itu kan 9 Maret, kalau gak keliru. Artinya, mungkin, lagi kepengen aja acara itu bikin tema Chrisye.
Apapun alasannya, terima kasih Judika. Anak muda ini membawakan lagu-lagu almarhum dengan caranya sendiri. Judika menyanyi, selalu asyik. Mendengar Chrisye, selalu nikmat. Menikmati Judika membawakan lagu-lagu Chrisye, kenikmatan yang asyik. Itu sih kata saya. Dan setidaknya, saya jadi punya momen mengenang Chrisye.
Pernah saya dengar, Titik Puspa menyebut suara Chrisye itu seperti sutra. Lembut. Khas. Mungkin, langka. Kadang saya merasa, suara itu feminin dan maskulin pada saat bersamaan. Saya tidak ingat, di suasana seperti apa sih lagu-lagu Chrisye sangat menyengat? Rasanya di semua suasana. Ada waktu untuk asyik mendengarkan Iwan Fals. Di suasana lain, Rhoma Irama mambantu menghidupkan semangat. Ebiet G Ade juga enak banget, kalau dinikmati, misalnya, sambil makan dan santai di saung sawah. (Ketahuan ya, saya dari generasi yang mana…). Tapi Chrisye, klik aja rasanya didengar kapan pun pengen denger musik.
Paling berasa, saat bulan puasa jelang lebaran ada yang putar lagu Ketika Tangan dan Kaki Bicara. ‘Dalem’ banget. Kabarnya, saat rekaman, Chrisye sendiri berkali-kali menangis membawakan lagu ini. Penulis liriknya, sastrawan Taufik Ismail, juga merasakan emosi serupa ketika menulis lagu ini. Sebuah lagu, tentang pertanggungjawaban amal manusia di akhirat, di hadapan Sang Pencipta.
Di luar lirik yang kuat dari Taufik Ismail tersebut, saya kadang merasa, lagu-lagu Chrisye istimewa terutama karena menyatunya nada dan suara sang penyanyi. Para legenda, umumnya memiliki ‘kekuatan’ ini. Lirik seperti sebuah bonus. Lagu Chrisye, terasa nikmatnya karena dia yang menyanyikan; meski misalnya, liriknya diganti, atau salah tetap terasa nikmat. (Saipul Jamil yang suka banget ‘ngurusin’ lirik lagu para kontestan dangdut itu gak setuju pasti).
Karena saya penggemar, gambaran tentang Chrisye ini bisa sangat panjang. Tapi semoga saja gak melebih-lebihkan. Saya hanya ingin menjadi satu dari banyak orang yang mengekspresikan kekaguman pada seseorang yang penuh dedikasi. Bayangkan, tampangnya saja biasa. Kurus. Rambutnya begitu terus, tak bergaya. Kantong matanya bergelayut sejak lama. Cara bicaranya lambat dan tersendat. Tapi Chrisye, hampir selalu menjadi jaminan pesona di atas pentas.
Tak heran, jika kepergiannya pada 30 Maret 2007 sangat menyita perhatian. Kesedihan tertera di wajah banyak orang, saat itu. Begitulah memang Chrisye. Saya ingat, di momen itu, saya sempat menulis begini: bahwa puisi lahir, dan tak pernah mati. Lagu tercipta dan mungkin hidup sepanjang masa. Tapi tapi manusia, tak pernah sejengkal pun bisa mundur dari catatan ajal.
Setelah melewati tahun-tahun penuh makna, Chrisymansah Rahadi akhirnya meninggalkan lagu-lagunya hidup sendiri bersama waktu. Jiwanya menghadap Tuhan pada Jumat pagi pukul 04.08 WIB. Di pusara, tangis berderai bersama taburan bunga. Pemakaman jeruk purut dibasahi rintik hujan tapi tak menghentikan peziarah untuk menunduk dalam doa berbalut duka.
Itu adalah episode akhir dari drama sakit yang mulai dirasa Chrisye sejak tahun 2001. Vonis kanker paru-paru stadium empat, diterima Chrisye tahun 2005 dan sejak itu, ia hanya terbaring atau duduk dalam deraan sakit. Ferbuari 2007, setelah serangkaian cara yang melelahkan, kondisi Chrisye menurun tajam. Kabarnya, ia bahkan bosan karena setahun penuh harus melahap makan dengan pola serupa setiap saat.
Chrisye sempat diberi kelonggaran untuk mengonsumsi makanan di luar pola yang dianjurkan. Tapi konsekuensinya, tak cukup nutrisi masuk ke tubuhnya. Daya tahan itu meredup. Bahkan di hari peluncuran buku biografi Chrisye: Sebuah Memoar Musikal—yang ditulis Alberthiene Endah—Chrisye hanya bisa berbaring di kediaman.
Biografi Chrisye memang memuat memoar musikal yang luar biasa dan ditulis dengan menarik. Alberthiene, menjadi saksi bagaimana sang legenda bersemangat membagi segenap cerita yang selama ini lebih banyak menjadi rahasia. Chrisye, memang dikenal sebagai seniman musik yang irit kata-kata. Alberthiene adalah orang luar yang menyaksikan turun naik emosi Chrisye pada bulan-bulan terakhir yang penuh perjuangan.
Boleh jadi, biografi Chrisye hanyalah sekelumit cerita. Sosoknya yang unik, pencapaiannya yang melegenda di bidang musik, dedikasinya yang mengagumkan, sikap rendah hatinya yang konsisten adalah lukisan di kanvas besar yang membutuhkan banyak ruang untuk mengisahkannya.
Dari sejumlah sumber saya membaca, sebagai musisi, Chrisye tergugah nada sejak usia dini. Di usia remaja, ia mengenal dan dekat dengan Nasution bersaudara seperti Keenan dan Gauri Nasution. Makin lama, persentuhan dengan musik kian menguat. Chrisye adalah pembetot bas berbakat yang ketika tengah menyelesaikan kuliahnya di jurusan arsitektur Universitas Kristen Indonesia, justru tenggelam bersama Gipsy Band. Orangtuanya, sempat keberatan dengan keputusan ini.
Dilema menyelesaikan kuliah dan total bermain musik, berakhir pada tahun 1973. Satu jalan harus diambil dan Chrisye mengikuti kata hatinya. Satu ketika, ia manggung di New York bersama Gipsy. Itu makin menguatkan tekad untuk mengarungi musik hingga ke relung terdalam. Pulang dari New York, interaksi dengan Guruh Soekarnoputra/ sosok brilian lainnya dalam mengolah musik yang tidak mainstream/ makin intensif. Guruh Gypsi lahir membawa nuansa baru di pentas musik tanah air.
Nama chrisye baru mulai dikenal ketika booming lagu lilin kecil tahun 1977. Sejak itulah, kariernya meroket sebagai penyanyi solo, bukan lagi pembetot bas. Badai Pasti Berlalu, Aku Cinta Dia, Hip-hip Hura-hura, Nona Lisa dan Pergilah Kasih, merasuk ke tengah penikmat musik. Berderet penghargaan diraihnya. Sebutan legenda datang begitu saja tanpa diminta.
Zaman tak melekangkan Chrisye. Album-albumnya baik yang original maupun daur ulang terus mengalir dan menuai sukses. Di era 2000-an, ketika penyanyi sezamannya sudah jauh meredup, Chrisye tetap menggugah lewat kolaborasi dengan penyanyi, musisi dan pencipta-pencipta lagu muda. Ia asyik menyanyi dengan Project Pop, Ungu, Seriues Band, Ariel Peterpan (Noah, sekarang) dan sederet anak muda lainnya tahun 2004. Atau dengan Sophia Latjuba pada era 90-an.
Tampaknya, bagi Chrisye, musik sepenuhnya jiwa. Ia menekuninya sepanjang hayat yang relatif singkat, dan tidak bidang lainnya. Uang adalah bagian dari akibat belaka. Itulah sebabnya, sebagai pribadi, ia tetap membumi, meski sebagai penyanyi ia layak diberi banyak angka.
Kenyataan bahwa Chrisye akhirnya harus menyerah pada Jumat pagi itu/ begitulah Tuhan menentukan kuasaNya. Ia meninggalkan empat orang anak dari Damayanti Noor, istri yang tabah mendampingi hingga akhir usia. Biografi Chrisye, adalah kenangan terakhir dalam bentuk catatan yang sangat berharga. Si penulis biografi yang dikenal sangat produktif itu, pasti melewati ’jalan’ penggalian yang tak mudah. Jika Chrisye tak berkomitmen untuk menyelesaikan itu, jika ia tak percaya bahwa tulisan kisah hidupnya akan sangat berguna bagi generasi yang tak sempat melihatnya di panggung, mungkin, biografi itu hanya kenangan. (***)
*Ciledug, Desember 2015—ketika ingin mengenang seseorang. Saat ’gregetan’ nonton sidang MKD atas kasus ’Papa Minta Saham’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H