TERTEGUN oleh satu hal. Ingat hal lain. Lalu melamun. Di sebuah sore, saya menyimak seorang mahasiswa mempresentasikan skripsinya. Ketua sidangnya, kepala program studi muda yang suka disapa histeris cewek-cewek kampus. Saat itu, penguji ahli (rahasia ya, dia punya katashinta.wordpress.com),  memancing sejumlah pertanyaan cerdas. Si mahasiswa, bercerita—lebih menarik dari caranya bertutur lewat tulisan J—tentang anak-anak muda yang tergila-gila pada sneakers. Itu lho, sepatu bersol karet; zaman saya kecil, sepatu model ini hanya untuk olahraga. Sekarang sih, penting buat gaya.
Orang-orang ini, yang dia ceritakan, mengoleksi sneakers yang harganya bikin ‘merinding’ bulu kaki. Dan tentu, khas kolektor, mereka nyaris selalu tergoda untuk mendapatkan produk baru.
Penjelasan dan cerita si mahasiswa tadi, membuat saya melamun. Punya hobi koleksi sesuatu, saya pikir, oke. Saya juga koleksi kaos kaki sebelah, kok. Saya bisa membayangkan senang, bangga, dan pede-nya seseorang dalam hubungan sosial mereka—setidaknya di lingkungan sesama pehobi—ketika berhasil mendapatkan (membeli) satu jenis sepatu ‘langka’, misalnya. Efek psikologisnya susah dijelaskan. Rasanya, gitu deh. Apalagi saat sepasang sepatu dimaksud dipakai (ingat sepasang saja yang dipakai, ya..). Ketika melangkah, banyak tatapan mata tertuju.
Lalu seperti apa ya batasan jumlah dan biaya sebuah koleksi? ‘’Batasannya ya mentok,’’ kata seorang teman. ‘Mentok’ itu bisa uang gak ada, atau lainnya. Yang jelas, seorang pelajar atau mahasiswa bisa mati-matian menahan keinginan menikmati hal lain, seperti makan enak, demi bisa membeli sneakers baru yang terus terbawa mimpi. Pehobi lain, terlihat di media sosialnya, memiliki koleksi beragam merk sneakers dengan harga yang masya Allah—menurut ukuran saya—dalam jumlah yang juga masya Allah. Sebuah ruangan yang jelas tampak besar, ditata seperti toko sepatu eksklusif. Isinya, ya koleksi sepatu itu. Apakah dia punya waktu khusus untuk menatap dan menyentuh satu per satu koleksinya? Misalnya sepatu itu diusap, dicium terus dia menarik nafas panjang…akh, hm..oh…
Tercenung oleh satu hal. Ingat hal lain. Mendengar ‘temuan’ penelitian si mahasiswa, maaf, sulit rasanya untuk tak mengingat wajah-wajah anak-anak pelosok yang—masih ada—di antara mereka nyeker atau hanya bersendal jepit untuk sekolah. Sepatu bekas layak pakai, berkah luar biasa buat mereka.
Ingatan seperti ini memang memecah suasana. Ia bukan hanya menjeda, tapi juga berpotensi menggangu kenikmatan saat kita merasakan atau mengagumi sesuatu. Seperti ketika seharusnya saya mengagumi koleks-koleksi sepatu keren itu. Terus terang aja sih, keren. Situasinya, kurang lebih sama dengan ketika satu hari saya makan bersama keluarga di sebuah rumah makan yang harga makanannya lumayan mengganggu kantong. Saat makan akan dimulai, seseorang di meja makan menukas, ‘’ah, ini terlalu mewah. Aku jadi ingat orang susah. Ingat ibu di kampung.’’ Selera luruh. Dihajar oleh ingatan tentang seorang perempuan renta di kampung yang susah payah menemukan lauk.
Sebenarnya sih, kurang relevan juga mengingat sesuatu yang belum tentu sebagai penderitaan, saat kita menikmati keindahan hari ini untuk disyukuri. Lagipula, kalau anak-anak di dusun tak bersepatu atau bersandal termasuk ketika menempuh perjalanan jauh untuk sekolah lantas kehilangan keceriaan? Nggak juga sih. Kadang sesuatu menjadi tampak sebagai kenestapaan, setelah dibicarakan, terutama oleh televisi misalnya. Tadinya, sepasang suami istri menjalani hidupnya sebagai petani kecil di tengah kehidupan desa yang asri, biasa saja. Hidup ia syukuri. Tapi saat program tv menggali dinamika hidupnya, dan memperlihatkannya kepada orang banyak, sepasang petani itu jadi jauh lebih sulit terlihatnya. Apalagi kalau dia janda. Atau nenek-nenek sebatangkara.
Tentu, dalam kisah-kisah semacam itu memang ada orang-orang yang benar-benar butuh uluran tangan. Butuh kekuatan lain untuk mengubah hidupnya. Tapi seringkali, dramatisasi media memang membuat penderitaan jadi berkalilipat lebih dalam. Tapi bukan dalam rangka itu saya mengingat anak-anak tak bersepatu tadi. Ini sih benar-benar dipicu oleh cerita tentang sepatu-sepatu bermerk itu.
Lagian, siapa pula bisa mencegah ingatan pada sesuatu yang lain saat kita melihat satu hal? Mungkin karena manusia terbiasa membanding-bandingkan ya. Macam membandingkan Isyana Sarasvati dan Raisa. Perlu gak sih?
Balik ke urusan para penggila sepatu sol karet itu. Bagaimana sebenarnya konsep diri mereka yang suka mengumpulkan barang mahal, ya? Sempatkah, atau pernahkah mereka ‘terganggu’ oleh fakta—yang bisa disaksikan lewat media—bahwa di sekitar kita—atau di negeri ini—banyak anak-anak telanjang kaki ke sekolah karena tidak mampu? Pertanyaan yang susah dicari jawabannya ini juga sebenarnya terhubung pada mereka yang jenis koleksinya lebih uhui…; macam berlian, moge, mobil, tas yang ratusan juta hingga miliaran…
Ah, bukan sok ngajarin berjiwa sosial saya. Tapi kalau ditangkap begitu, ya apa boleh buat juga sih. Dan karena apa boleh buat itu pula, situasi ini, mengingatkan saya pada Chen Shu Jiu. Kisahnya ditulis Kompas 29 September 2012.
Ia, seorang pedagang sayur di Taitung, Taiwan, penerima Ramon Magsaysay Award 2012. Chen menyumbangkan 231. 800 dollar AS atau Rp 2, 9 miliar dari lapak sayurnya untuk kegiatan amal. Dia juga menyumbangkan uangnya untuk pendidikan dan kesehatan anak. Karena kemurnian hatinya, ia mendapat tak hanya pujian sekitar. Tapi juga penghargaan dunia. Tahun 2010, Majalah Time menobatkannya sebagai 1 dari 100 orang berpengaruh di dunia. Majalah Forbes Asia tahun 2010 menyebutnya sebagai 48 Tokoh Filantropi. Majalah Reader’s Digest 2010 menobatkannya sebagai Tokoh Asia. ‘‘Altruisme murni lewat pemberian pribadi yang mencerminkan kedalaman, konsistensi, belas kasih dan telah mengubah kehidupan sejumlah orang Taiwan yang dibantunya.’’
Tapi dia tetap sederhana. Tetap menjual sayur. Tidur di lantai rumahnya yang tidak mewah. Hadiah-hadiah disumbangkan kepada orang lain. Katanya: inti hidup adalah memberi. Hidup bermakna kalau berbagi.
Chen dilahirkan menjadi orang sedemikian dermawan dan sederhana? Mungkin. Tapi ia memiliki kisah masa kecil yang membuat kita mengerti mengapa ia tumbuh dengan kebeningan hidup seperti itu. Di usia 13 tahun, ibunya sakit. Ayahnya minta bantuan tetangga. Uang terkumpul, tapi tak cukup. Dan ibunya meninggal. Chen berhenti sekolah dan menjaga lapak sayur. 5 tahun kemudian, saudaranya sakit kronis. Sekolah tempat ia belajar dulu mengumpulkan uang untuk pengobatan. Tak menolong. Saudaranya meninggal. Tapi kenangan tentang kebaikan orang-orang yang merogoh kocek itulah yang terus membekas dan membimbingnya dalam hidup.
Saya tak berani menasihati para pengumpul barang mewah dan mahal agar meniru hidup Chen. Sungguh tak berani. Karena baiknya, kalau menasihati, kita juga sudah melakukan isi nasihat itu. Saya sih masih jauh lah. Tapi boleh lah kita belajar pada Chen dan—karena Chen bukan satu-satunya teladan yang bisa disebut—pada orang baik lainnya.
‘’Ya sudah.’’ Kata Mas Ketua Sidang Skripsi soal sneakers sore itu. ‘’Perbaiki karya tulismu. Di beberapa bagian yang tadi diberi masukan. Tanggal ‘sekian’ harus sudah bimbingan revisi. Tanggal ‘sekian’ adalah tenggat akhir pengumpulan skripsi yang sudah lengkap ditandatangani dewan sidang. Paham?’’ lanjutnya. Si mahasiswa bilang ‘’Baik, Mas.’’ Sambil mengangguk.
‘’Kalau sampe…’’ lanjut si Mas Ketua, ‘’tanggal ‘sekian’ kamu tidak mengumpulkan, maka….’’ Saya tidak tahu kenapa si Mas Ketua terhenti sejenak di sini. Mungkin dia lupa konsekuensinya apa saja kalau mahasiswa melewati tenggat. Sementara Mas Ketua ‘mikir’, saya ‘bantu’ melanjutkan,’’Kalau kamu tidak kumpulkan skripsi yang sudah bertandatangan lengkap dan dijilid rapi tanggal tersebut, kamu harus bawakan masing-masing kami sepasang sepatu bersol karet yang orisinil!’’ Ada sedikit tawa sore itu. Tapi saya meralat, ‘’Maaf ya, jangan dianggap bercanda.’’ (***/ foto: nationalgeographic.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H