Ia, seorang pedagang sayur di Taitung, Taiwan, penerima Ramon Magsaysay Award 2012. Chen menyumbangkan 231. 800 dollar AS atau Rp 2, 9 miliar dari lapak sayurnya untuk kegiatan amal. Dia juga menyumbangkan uangnya untuk pendidikan dan kesehatan anak. Karena kemurnian hatinya, ia mendapat tak hanya pujian sekitar. Tapi juga penghargaan dunia. Tahun 2010, Majalah Time menobatkannya sebagai 1 dari 100 orang berpengaruh di dunia. Majalah Forbes Asia tahun 2010 menyebutnya sebagai 48 Tokoh Filantropi. Majalah Reader’s Digest 2010 menobatkannya sebagai Tokoh Asia. ‘‘Altruisme murni lewat pemberian pribadi yang mencerminkan kedalaman, konsistensi, belas kasih dan telah mengubah kehidupan sejumlah orang Taiwan yang dibantunya.’’
Tapi dia tetap sederhana. Tetap menjual sayur. Tidur di lantai rumahnya yang tidak mewah. Hadiah-hadiah disumbangkan kepada orang lain. Katanya: inti hidup adalah memberi. Hidup bermakna kalau berbagi.
Chen dilahirkan menjadi orang sedemikian dermawan dan sederhana? Mungkin. Tapi ia memiliki kisah masa kecil yang membuat kita mengerti mengapa ia tumbuh dengan kebeningan hidup seperti itu. Di usia 13 tahun, ibunya sakit. Ayahnya minta bantuan tetangga. Uang terkumpul, tapi tak cukup. Dan ibunya meninggal. Chen berhenti sekolah dan menjaga lapak sayur. 5 tahun kemudian, saudaranya sakit kronis. Sekolah tempat ia belajar dulu mengumpulkan uang untuk pengobatan. Tak menolong. Saudaranya meninggal. Tapi kenangan tentang kebaikan orang-orang yang merogoh kocek itulah yang terus membekas dan membimbingnya dalam hidup.
Saya tak berani menasihati para pengumpul barang mewah dan mahal agar meniru hidup Chen. Sungguh tak berani. Karena baiknya, kalau menasihati, kita juga sudah melakukan isi nasihat itu. Saya sih masih jauh lah. Tapi boleh lah kita belajar pada Chen dan—karena Chen bukan satu-satunya teladan yang bisa disebut—pada orang baik lainnya.
‘’Ya sudah.’’ Kata Mas Ketua Sidang Skripsi soal sneakers sore itu. ‘’Perbaiki karya tulismu. Di beberapa bagian yang tadi diberi masukan. Tanggal ‘sekian’ harus sudah bimbingan revisi. Tanggal ‘sekian’ adalah tenggat akhir pengumpulan skripsi yang sudah lengkap ditandatangani dewan sidang. Paham?’’ lanjutnya. Si mahasiswa bilang ‘’Baik, Mas.’’ Sambil mengangguk.
‘’Kalau sampe…’’ lanjut si Mas Ketua, ‘’tanggal ‘sekian’ kamu tidak mengumpulkan, maka….’’ Saya tidak tahu kenapa si Mas Ketua terhenti sejenak di sini. Mungkin dia lupa konsekuensinya apa saja kalau mahasiswa melewati tenggat. Sementara Mas Ketua ‘mikir’, saya ‘bantu’ melanjutkan,’’Kalau kamu tidak kumpulkan skripsi yang sudah bertandatangan lengkap dan dijilid rapi tanggal tersebut, kamu harus bawakan masing-masing kami sepasang sepatu bersol karet yang orisinil!’’ Ada sedikit tawa sore itu. Tapi saya meralat, ‘’Maaf ya, jangan dianggap bercanda.’’ (***/ foto: nationalgeographic.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H