Mohon tunggu...
Muhammad Rifqi Musyaffa
Muhammad Rifqi Musyaffa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Merdeka

Saya adalah mahasiswa merdeka. Semua pemikiran akan saya baca dan dengar. Saya tidak akan memaksakan pemikiran saya kepada orang lain dan saya tidak ingin dipaksa menerima pemikiran orang lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebodohan Jangan Dulu Musnah, Aku Belum Kaya

4 Desember 2024   12:06 Diperbarui: 4 Desember 2024   12:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diposting ulang dari Medium https://medium.com/@kangmusy
 

"Men are so simple, and so subject to present necessities, that he who seeks to deceive will always find someone who will allow himself to be deceived."(The Prince, Chapter XVIII)

Sebagai mahasiswa kedokteran yang di masa depan bercita-cita menjadi dokter sekaligus negarawan bijak dan adil, saya sering merenungi absurditas realita negeri ini. Dalam ruang kuliah yang penuh dengan tumpukan materi tentang patologi dan farmakologi, saya tak bisa menahan diri untuk berpikir: "Kenapa negara ini terasa hanya seperti sebuah eksperimen sosial terbesar di dunia?"

Jawabannya sederhana: kebodohan adalah bahan bakar kekuasaan. Ia adalah sumber daya tak terbatas, lebih berharga daripada minyak bumi atau emas. Bahkan, di tangan yang tepat, kebodohan menjadi aset strategis untuk menciptakan kekayaan dan mempertahankan kekuasaan.

Kebodohan: Komoditas Abadi di Negeri yang Kaya Retorika

Mari kita mulai dengan sebuah pengakuan. Kebodohan kolektif adalah elemen yang membuat sistem ini tetap berjalan. Kebodohan mempermudah eksploitasi, dan eksploitasi adalah cara tercepat untuk kaya. Dari janji politik yang dangkal hingga investasi palsu yang dikemas rapi, kebodohan menjadi katalisator yang sempurna.

Lihatlah bagaimana orang-orang yang sudah berprivilege memanfaatkan situasi ini. Mereka duduk nyaman di kursi kekuasaan sambil berucap: "Kami bekerja demi rakyat," padahal rekening banknya tumbuh lebih cepat daripada pohon yang mereka tanam di acara seremonial.

Benar apa kata Machiavelli dalam The Prince: "For the great majority of mankind are satisfied with appearances, as though they were realities, and are often more influenced by the things that seem than by those that are" (The Prince, Chapter XVIII). Masyarakat yang tidak punya akses pada pendidikan kritis tidak akan melawan, karena bagi mereka, sistem ini mungkin adalah takdir.

Narasi Kebodohan: Alat Propaganda yang Tak Pernah Gagal

Di negeri ini, narasi kebodohan dikemas dengan apik. Tidak perlu repot-repot memberikan bukti atau menjelaskan kebijakan dengan transparansi. Cukup gunakan istilah-istilah teknis seperti "inovasi", "keberlanjutan", atau "digitalisasi", dan kebodohan kolektif akan menerima tanpa syarat.

Joseph Goebbels, tangan kanan Hitler, pernah berkata: "Jika Anda mengulang kebohongan cukup sering, maka itu akan menjadi kebenaran." Sungguh menarik melihat bagaimana strategi ini terus hidup di era modern. Setiap kali ada skandal korupsi besar-besaran, narasi pengalihan segera diciptakan. Isu baru dilempar ke publik, entah soal moralitas, agama, atau gosip selebriti, agar kita lupa.

Masyarakat tidak bertanya lebih jauh. Bagi mereka, hidup sudah cukup sulit tanpa harus memikirkan apa yang terjadi di atas. Mereka tidak punya waktu untuk memahami bagaimana uang pajak mereka dihabiskan untuk hal-hal yang tidak mereka nikmati.

Drama Kekuasaan: Hiburan Gratis di Tengah Penderitaan

Indonesia adalah panggung terbesar untuk drama kekuasaan. Skenarionya sama, hanya aktor dan dekorasinya yang berganti. Plotnya pun sudah bisa kita hafalkan:

  1. Proyek besar digembar-gemborkan. Janji-janji muluk diumbar di media. Semua terlihat indah di atas kertas.
  2. Dana digelembungkan. Hasil akhirnya tidak sesuai ekspektasi, tapi anggaran sudah cair dan masuk ke kantong-kantong tertentu.
  3. Skandal pecah. Pelaku pura-pura menangis di depan kamera, berkata "saya khilaf."
  4. Isu baru dilempar. Publik lupa, dan semuanya kembali seperti semula.

Dalam drama ini, masyarakat adalah penonton setia yang tak punya pilihan selain menonton. Mereka marah, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Lagi pula, siapa yang berani melawan sistem?

Peran Kebodohan dalam Menjaga Stabilitas

Sebagai calon dokter, saya mempelajari bagaimana tubuh manusia mempertahankan homeostasis---keseimbangan yang membuat tubuh tetap hidup. Ironisnya, dalam dunia politik, kebodohan adalah salah satu mekanisme untuk menjaga "keseimbangan" kekuasaan.

Bayangkan jika semua orang mendadak cerdas, kritis, dan skeptis. Apa yang akan terjadi?

  • Pejabat harus benar-benar transparan.
  • Proyek-proyek harus dijalankan tanpa korupsi.
  • Media tidak bisa lagi menyebarkan narasi kosong.

Tanpa kebodohan, sistem yang telah bertahun-tahun dibangun ini akan runtuh.

Stalin pernah berkata: "Pendidikan adalah senjata, yang efeknya tergantung pada siapa yang memegang di tangannya dan pada siapa itu ditujukan." Pendidikan yang buruk adalah cara paling efektif untuk memastikan kebodohan tetap lestari. Dan kebodohan yang terpelihara adalah jaminan stabilitas kekuasaan.

Saya, Mahasiswa Kedokteran, dan Cita-Cita Menjadi Negarawan

Di tengah tugas kuliah, ujian blok dan ujian praktikum, saya kadang berpikir tentang masa depan. Ketika nanti saya menjadi dokter dan (semoga) seorang negarawan, apakah saya akan berpegang pada idealisme saya?

Jujur saja, godaan untuk memanfaatkan sistem ini sangat besar. Mengapa harus menjadi negarawan yang jujur, jika menjadi bagian dari oligarki lebih menguntungkan? Bayangkan, saya bisa membangun karier politik dengan modal janji-janji kosong dan slogan-slogan keren seperti:

  • "Kesehatan gratis untuk semua."
  • "Indonesia produksi mobil sendiri."
  • "Bikin Disneyland di Cikarang."
  • "Buat 300 FK di Indonesia."
  • "Transformasi Indonesia menuju masa depan digital."

Apakah saya akan melakukannya? Tentu saja tidak (mungkin). Sebagai mahasiswa yang terbiasa menghafal ribuan istilah medis, saya juga belajar bahwa retorika adalah seni.

Namun, jika kebodohan dihapuskan, saya harus bekerja lebih keras. Semua keputusan harus didasarkan pada fakta, bukan propaganda. Semua kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan. Apa itu tidak melelahkan?

Kebodohan dan Masa Depan Negara

Negara ini, dengan segala absurditasnya, sebenarnya adalah eksperimen sosial yang menarik. Kebodohan telah menjadi fondasi bagi segelintir orang untuk meraih kekayaan dan mempertahankan kekuasaan. Jika kebodohan musnah, apa yang akan terjadi pada mereka?

Kita sering mendengar kalimat, "Negara yang adil akan makmur." Tapi kenyataannya, negara yang cerdas akan membuat oligarki takut. Kebodohan adalah perisai bagi mereka yang duduk di singgasana kekuasaan.

Penutup: Jangan Dulu Musnahkan Kebodohan

Sebagai calon negarawan bijak (atau mungkin hanya calon oligarki baru), saya memahami satu hal: kebodohan adalah komoditas. Ia mempermudah segalanya. Ia menjamin stabilitas, kekuasaan, dan rekening yang terus bertambah.

Jadi, mari pelihara kebodohan. Jangan buru-buru mencerdaskan rakyat. Siapa tahu, ketika waktunya tiba, saya juga akan memanfaatkannya. Dan kalau itu terjadi, saya hanya bisa berkata: "Semua ini untuk rakyat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun