Drama Kekuasaan: Hiburan Gratis di Tengah Penderitaan
Indonesia adalah panggung terbesar untuk drama kekuasaan. Skenarionya sama, hanya aktor dan dekorasinya yang berganti. Plotnya pun sudah bisa kita hafalkan:
- Proyek besar digembar-gemborkan. Janji-janji muluk diumbar di media. Semua terlihat indah di atas kertas.
- Dana digelembungkan. Hasil akhirnya tidak sesuai ekspektasi, tapi anggaran sudah cair dan masuk ke kantong-kantong tertentu.
- Skandal pecah. Pelaku pura-pura menangis di depan kamera, berkata "saya khilaf."
- Isu baru dilempar. Publik lupa, dan semuanya kembali seperti semula.
Dalam drama ini, masyarakat adalah penonton setia yang tak punya pilihan selain menonton. Mereka marah, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Lagi pula, siapa yang berani melawan sistem?
Peran Kebodohan dalam Menjaga Stabilitas
Sebagai calon dokter, saya mempelajari bagaimana tubuh manusia mempertahankan homeostasis---keseimbangan yang membuat tubuh tetap hidup. Ironisnya, dalam dunia politik, kebodohan adalah salah satu mekanisme untuk menjaga "keseimbangan" kekuasaan.
Bayangkan jika semua orang mendadak cerdas, kritis, dan skeptis. Apa yang akan terjadi?
- Pejabat harus benar-benar transparan.
- Proyek-proyek harus dijalankan tanpa korupsi.
- Media tidak bisa lagi menyebarkan narasi kosong.
Tanpa kebodohan, sistem yang telah bertahun-tahun dibangun ini akan runtuh.
Stalin pernah berkata: "Pendidikan adalah senjata, yang efeknya tergantung pada siapa yang memegang di tangannya dan pada siapa itu ditujukan." Pendidikan yang buruk adalah cara paling efektif untuk memastikan kebodohan tetap lestari. Dan kebodohan yang terpelihara adalah jaminan stabilitas kekuasaan.
Saya, Mahasiswa Kedokteran, dan Cita-Cita Menjadi Negarawan
Di tengah tugas kuliah, ujian blok dan ujian praktikum, saya kadang berpikir tentang masa depan. Ketika nanti saya menjadi dokter dan (semoga) seorang negarawan, apakah saya akan berpegang pada idealisme saya?
Jujur saja, godaan untuk memanfaatkan sistem ini sangat besar. Mengapa harus menjadi negarawan yang jujur, jika menjadi bagian dari oligarki lebih menguntungkan? Bayangkan, saya bisa membangun karier politik dengan modal janji-janji kosong dan slogan-slogan keren seperti:
- "Kesehatan gratis untuk semua."
- "Indonesia produksi mobil sendiri."
- "Bikin Disneyland di Cikarang."
- "Buat 300 FK di Indonesia."
- "Transformasi Indonesia menuju masa depan digital."
Apakah saya akan melakukannya? Tentu saja tidak (mungkin). Sebagai mahasiswa yang terbiasa menghafal ribuan istilah medis, saya juga belajar bahwa retorika adalah seni.
Namun, jika kebodohan dihapuskan, saya harus bekerja lebih keras. Semua keputusan harus didasarkan pada fakta, bukan propaganda. Semua kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan. Apa itu tidak melelahkan?