Diposting ulang dari Medium https://medium.com/@kangmusy
Â
"Men are so simple, and so subject to present necessities, that he who seeks to deceive will always find someone who will allow himself to be deceived."(The Prince, Chapter XVIII)
Sebagai mahasiswa kedokteran yang di masa depan bercita-cita menjadi dokter sekaligus negarawan bijak dan adil, saya sering merenungi absurditas realita negeri ini. Dalam ruang kuliah yang penuh dengan tumpukan materi tentang patologi dan farmakologi, saya tak bisa menahan diri untuk berpikir: "Kenapa negara ini terasa hanya seperti sebuah eksperimen sosial terbesar di dunia?"
Jawabannya sederhana: kebodohan adalah bahan bakar kekuasaan. Ia adalah sumber daya tak terbatas, lebih berharga daripada minyak bumi atau emas. Bahkan, di tangan yang tepat, kebodohan menjadi aset strategis untuk menciptakan kekayaan dan mempertahankan kekuasaan.
Kebodohan: Komoditas Abadi di Negeri yang Kaya Retorika
Mari kita mulai dengan sebuah pengakuan. Kebodohan kolektif adalah elemen yang membuat sistem ini tetap berjalan. Kebodohan mempermudah eksploitasi, dan eksploitasi adalah cara tercepat untuk kaya. Dari janji politik yang dangkal hingga investasi palsu yang dikemas rapi, kebodohan menjadi katalisator yang sempurna.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang sudah berprivilege memanfaatkan situasi ini. Mereka duduk nyaman di kursi kekuasaan sambil berucap: "Kami bekerja demi rakyat," padahal rekening banknya tumbuh lebih cepat daripada pohon yang mereka tanam di acara seremonial.
Benar apa kata Machiavelli dalam The Prince: "For the great majority of mankind are satisfied with appearances, as though they were realities, and are often more influenced by the things that seem than by those that are" (The Prince, Chapter XVIII). Masyarakat yang tidak punya akses pada pendidikan kritis tidak akan melawan, karena bagi mereka, sistem ini mungkin adalah takdir.
Narasi Kebodohan: Alat Propaganda yang Tak Pernah Gagal
Di negeri ini, narasi kebodohan dikemas dengan apik. Tidak perlu repot-repot memberikan bukti atau menjelaskan kebijakan dengan transparansi. Cukup gunakan istilah-istilah teknis seperti "inovasi", "keberlanjutan", atau "digitalisasi", dan kebodohan kolektif akan menerima tanpa syarat.
Joseph Goebbels, tangan kanan Hitler, pernah berkata: "Jika Anda mengulang kebohongan cukup sering, maka itu akan menjadi kebenaran." Sungguh menarik melihat bagaimana strategi ini terus hidup di era modern. Setiap kali ada skandal korupsi besar-besaran, narasi pengalihan segera diciptakan. Isu baru dilempar ke publik, entah soal moralitas, agama, atau gosip selebriti, agar kita lupa.
Masyarakat tidak bertanya lebih jauh. Bagi mereka, hidup sudah cukup sulit tanpa harus memikirkan apa yang terjadi di atas. Mereka tidak punya waktu untuk memahami bagaimana uang pajak mereka dihabiskan untuk hal-hal yang tidak mereka nikmati.