Mohon tunggu...
ABDF
ABDF Mohon Tunggu... Jurnalis - ABDF

Bercerita dengan kata untuk edukasi kita bersama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cegah Sekarang! Karena Perubahan Iklim Bisa Tingkatkan DBD

19 Desember 2022   09:10 Diperbarui: 19 Desember 2022   09:12 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada fakta yang menarik saat pandemi COVID-19 berlangsung. Gas rumah kaca, terutama dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai pendorong terbesar perubahan iklim, berkurang selama kebijakan pembatasan kegiatan/lockdown. Pengurangan emisi gas CO2 dan polutan aerosol lainnya merupakan efek dari berkurangnya penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri. 

Dampak baik juga terekam dalam penelitian yang menunjukkan terdapat kecenderungan penurunan temperatur udara dan uap air di Eropa dan Amerika Utara selama lockdown. Bahkan perbedaan terlihat jelas di perkotaan. Pasca pandemi, kegiatan mobilisasi mulai normal sehingga memungkinkan kembali meningkatnya gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim. Perubahan iklim ini kemungkinan besar akan meningkatkan risiko penyebaran demam berdarah dengue (DBD).

Saat ini diketahui bahwa kejadian DBD merupakan penyakit yang menyebar luas setelah COVID-19. Ada beberapa alasan yang mendukung mengapa perubahan iklim berpotensi meningkatkan penyebaran penyakit Demam Berdarah, yakni:

1. Curah Hujan

Curah hujan yang tinggi merupakan kondisi yang sangat ideal untuk perkembangbiakan Aedes (nyamuk penyebab DBD). Curah hujan yang tinggi menyebabkan banyaknya kubangan air yang sering ditemui di ban bekas, pot bunga, wadah bekas seperti kaleng bekas diluar rumah dan di tempat-tempat lain yang dapat digenangi air hujan. Semakin banyaknya kubangan air, maka semakin banyak pula pilihan tempat bagi nyamuk untuk berkembang biak. Lingkungan yang lembab juga membuat nyamuk cenderung lebih aktif dan sering menggigit. 

2. Suhu Udara

Suhu udara yang meningkat akibat pemanasan global dapat memicu pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas nyamuk menjadi semakin intensif. Di beberapa penelitian, suhu menjadi faktor yang paling banyak terbukti berpengaruh terhadap kejadian DBD.


3. Kesesuaian Iklim

Kesesuaian iklim untuk nyamuk Aedes yang meningkat dapat memperluas wilayah penularan. Misalnya di Afrika sub-Sahara, peningkatan suhu menjadi 25-29C menyebabkan pergeseran beban penyakit dari malaria ke demam berdarah. Suhu optimal (29C) tersebut menguntungkan untuk penularan virus dengue. WHO mendapatkan laporan bahwa kasus DBD meningkat dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi 5,2 juta kasus pada tahun 2019. Kematian juga didapatkan meningkat dari 960 kasus pada tahun 2000 menjadi 4.032 kasus pada 2015.

Bagaimana dengan Negara Kita?

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah total kasus DBD di Indonesia pada tahun 2022 hingga minggu ke-22 (pertengahan bulan Juni) mencapai 45.387 kasus dengan 432 kematian. Bali, Kalimantan Utara, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, NTT, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Utara, NTB, dan DI Yogyakarta merupakan 10 provinsi dengan insiden DBD terbanyak di Indonesia. 

Dengan melihat tingginya angka DBD di Indonesia, kita perlu waspada dengan risiko yang ada, terlebih pada saat musim pancaroba dan musim hujan. Cuaca yang kini tidak menentu juga membuat kita rentan terhadap penyakit demam berdarah.

Gejala DBD

Sebagian besar kasus DBD yang terjadi hanya menunjukkan gejala ringan seperti flu atau bahkan tanpa gejala di awal masa infeksi. Hal ini memberi peluang bagi penyakit ini untuk berkembang menjadi lebih parah apabila tidak segera terdeteksi. Maka dari itu, apabila. Anda merasakan gejala di bawah ini, segera lakukan pemeriksaan untuk mencegahnya semakin memburuk.

Pada umumnya gejala yang dapat timbul setelah 4-10 hari (masa inkubasi) pasca gigitan nyamuk adalah demam tinggi selama 2-7 hari (38-40C) disertai sakit kepala parah, nyeri di belakang mata, bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah, timbul masalah pernapasan dan pencernaan, sakit saat menelan, nyeri otot, tulang, dan sendi, pegal di seluruh tubuh, serta pembesaran hati, limpa, dan getah bening. Pada kondisi yang parah, Anda mungkin akan mengalami Dengue Shock Syndrome yang ditandai dengan kulit terasa lembab dan dingin, tekanan darah menurun, denyut nadi cepat dan lemah, nyeri perut parah, pendarahan dari mulut, hidung, ataupun anus, lemah, gelisah, serta mulut, hidung, dan ujung jari yang membiru. 

Penyakit akibat gigitan nyamuk ini tentu mengancam keselamatan kita semua. Alih-alih melakukan pengobatan akibat infeksi virus dengue ini, melakukan upaya pencegahan adalah pilihan yang terbaik untuk menghindari penyakit tersebut yang akan mengganggu aktivitas, mengurangi produktivitas, bahkan mengancam nyawa.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah memiliki program pencegahan DBD yang efektif. Program tersebut disingkat sebagai 3M Plus.

1. Menguras tempat yang menampung air serta membersihkan dinding penampung dari telur nyamuk yang menempel. Kita disarankan untuk melakukannya setiap hari saat musim hujan/pancaroba (dalam dan luar rumah)

2. Menutup rapat tempat penampung air, mengubur barang bekas yang berpotensi menjadi sarang nyamuk (dalam dan luar rumah) ke dalam tanah

3. Memanfaatkan kembali barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Plus:

  • Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk
  • Menggunakan obat anti nyamuk
  • Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
  • Bergotong royong membersihkan lingkungan
  • Memeriksa tempat penampungan air dari jentik nyamuk
  • Meletakkan pakaian bekas pakai dalam wadah tertutup
  • Memberikan larvasida pada penampungan air yang sudah dikuras
  • Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar
  • Menanam tanaman pengusir nyamuk

Kita juga dapat berkontribusi dalam menghambat perubahan iklim yang menjadi pendukung kejadian DBD saat ini dengan melakukan upaya berikut.

1. Hemat energi sebab sebagian besar listrik dan panas berasal dari batu bara, minyak, dan gas. Pemasangan panel surya juga dapat dijadikan pilihan.

2. Berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum sebab sebagian besar kendaraan menggunakan bahan bakar solar atau bensin (bahan bakar fosil) yang akan menyumbangkan gas rumah kaca.

3. Memperbanyak makanan nabati (dari tumbuhan) karena produksi makanan nabati menghasilkan lebih sedikit emisi dan membutuhkan lebih sedikit energi. 

4. Buang lebih sedikit makanan karena makanan yang membusuk akan menghasilkan metana (gas rumah kaca) yang kuat. Kita juga dapat mengubah sampah makanan tersebut menjadi pupuk kompos yang bermanfaat.

Langkah-langkah pencegahan di atas merupakan upaya sederhana yang perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri sendiri. Tanpa kontribusi seluruh lapisan masyarakat termasuk Anda dan kita, masalah DBD dan perubahan iklim tak bisa terselesaikan. (Ummu Humairoh dan Novita Rizka Wardhani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun