Di sebuah grup komunitas para penulis, salah seorang anggota mempertanyakan perihal keputusan Tere Liye, yang tidak akan mencetak tulisan-tulisannya ke dalam media buku lagi.
Berikut opini pribadi saya ketika menjawabnya. Dan sebelum beropini, saya telah cek informasi tersebut di beberapa portal media. Inilah catatan opininya.
Hal yang menimpa Tere Liye adalah urusan pribadi terkait dengan pajak-pajaknya. Bukan urusan kita, bukan urusan sebagian penulis lainnya, apalagi saya.
Saya yakin, masih banyak penulis-penulis yang tidak peduli karyanya akan dipotong pajak berapa banyak. Karena dengan mampu tetap berkarya saja, mereka sudah cukup bahagia. Tapi perlu dimaklumi juga sih, sekelas Tere, nominal pajaknya pasti cukup membuatnya terpana. Maka dari itu dia bersuara.
Saya melihat, Tere sedang memberikan edukasi melalui postingannya. Tentang bagaimana profesi penulis dan hitungan pajak. Tentu berdasar pengalaman dirinya, dan (mungkin) berdasar pengalaman beberapa rekan sekelasnya, yang selevel dengannya.Â
Karena saya menganggap dia sedang memberi edukasi, ya sudah, kita anggap postingannya tentang hitungan pajak bagi profesi penulis itu, sebagai bentuk informasi saja. Tidak lebih. Sehingga tidak perlu terlalu dalam ikut menyelami ke dalam situasinya.
Iya benar. Tere memposting tulisan tentang rencana dirinya menghentikan cetakan bukunya. Dengan alasan, pajak yang mungkin dirasa besar dan tidak adil baginya. Tapi realitasnya, kita sama-sama tidak tahu alasannya sebenarnya. Apa hanya karena itu saja, atau karena ada hal lainnya. Tere sendiri yang tahu pasti akan hal itu. Juga mungkin pena-nya.
Iya benar. Pajak yang ditetapkan pemerintah ke Tere mungkin baginya cukup tinggi. Tapi, kita juga tidak tahu pasti. Karena mungkin bisa saja, petugas pajak punya alasan tersendiri ke penulis yang satu ini. Tere Liye.
Di beberapa media, Menkeu telah memerintahkan jajarannya untuk menemui Tere Liye. Saya yakin, mereka ngobrol sambil asik ngopi dan haha hihi. Kiasannya. So, buat apa kita meributkannya. Bagi saya pribadi, diam adalah cara bijak yang patut diambil. Dan mereka, manusia-manusia yang ngopi sambil haha hihi itu, adalah orang-orang hebat dalam mencari solusi. So, enggak usah khawatir. Percayalah.
Ada diksi pada postingan Tere Liye yang menyebut pihak tertentu, dalam hal ini maksudnya adalah pemerintah. Dan saya melihatnya, hal ini dapat menjadi celah. Maksudnya, ada ruang yang menjadikan niat edukasinya jadi terkontaminasi dan berkembang tidak murni lagi.Â
Bukan niat awal edukasinya yang tidak murni, tapi perkembangan opini yang tercipta sejalan dengan perkembanganya. Coba amati, berapa banyak postingan pihak lain yang memanfaatkan edukasi Tere Liye itu. Maksudnya, memanfaatkan situasi tersebut untuk menjadikannya sebagai amunisi membidik pemerintah. Dan tentu saja, pihak yang berseberangan dengan pemerintah, akan senang luar biasa dengan situasi itu. Tak terkira rasanya. Ya iyalah, dapat amunisi gratisan. Tere Liye mungkin tak mengira akan hal ini.Â
Dari hati kecil yang terdalam, sedalam cinta Julaeha pada mantannya, saya meyakini. Bahwa suatu hari Tere Liye akan mencetak bukunya kembali. Entah besok, lusa, tahun depan, atau tahun saat sendal jepit bisa terbang ke luar angkasa. Saya yakin itu. Tere akan mencetak lagi bukunya.
Saya yakin. Sekelas Tere sangat tahu, apa beda antara menulis di sosial media, dengan menulis pada cetakan buku.
Tere tahu. Bahwa tidak mungkin, jika ada seseorang yang hendak PDKT dan nembak idamannya, di mana kebetulan idamannya itu hobi membaca karya Tere Liye, tapi karena buku si Tere udah tidak ada di pasaran, maka yang sedang PDKT itu akan  mempersembahkan Facebook-nya Tere Liye sebagai gift buat dipersembahkan kepada idamannya. Enggak mungkin, kan? Masa ngasih kado berupa sebuah akun Facebook. Meski itu adalah akunnya Tere Liye. Koplak!
Tere sangat paham, bahwa buku akan lebih cantik dijadikan souvenir daripada akun Facebook-nya. Iyalah, masa Facebook dijadiin souvenir. Yang bener aja. Jelas kerenan buku dong. Kasih pita pink sedikit ala-ala gitu deh. Tere, sangat tahu hal ini.
Kemudian, yang ini agak unik sekaligus antik dan cukup menarik. Bukan bermaksud menilai, juga tidak bermaksud menyudutkan, apalagi sudut pitagoras. Bukan. Tapi saya berpikir begini. Tere itu kan penulis handal, tulisannya sarat kebaikan. Bahkan taglinenya "menulis sampai tak bernafas". Ibarat kata ia selalu menekankan, menulis ya menulis aja, enggak perlu mikir lainnya.Â
Kemudian ketika berbicara kebaikan dia pasti juga sangat paham. Bahwa segalanya, adalah dari Tuhan, milik Tuhan, dan dirinya hanya perlintasan. Termasuk kemahirannya dalam menulis, milik Tuhan juga. Tentu kalau dia masih ingat pada pesan-pesan kebaikan yang ia bagikan.
Nah. "menulis ya menulis aja" digabung dengan pemahaman "segalanya adalah milik Tuhan" dalam pesan-pesan baik yang ia bagikan, tapi di satu sisi, kok pusing tujuh keliling dengan pajak dan segala perhitungan. Nesu, ngambek, enggak karu-karuan. Lucu, bukan?
Bukankah sebagai penyampai pesan kebaikan harusnya dia ingat, bahwa kita semua -termasuk dirinya- lahir tanpa membawa apa-apa? Bukankah saat meregang nyawa, segala royalti juga tak bisa dibawa mati? Untuk apa mempermasalahkan potongan pajak. Besar kek, kecil kek.Â
Ke mana semboyan "menulis ya menulis aja" nya ketika kepalanya begitu cekut-cekut dengan perhitungan pajak dan angka? Ke mana pesan kebaikan yang harusnya lebih dulu menyentuh sanubarinya, sebelum dibagikan pada sesama manusia? Ke mana ingatannya sebagai manusia yang terlahirkan telanjang tanpa sehelaipun benang, jika masih merasa keberatan dengan adil dan tidak keadilan dunia? Urusan materi pula.
"Tere kan juga manusia. Dia masih butuh materi dan dunia."
Oh iya, jelas.
Kita semua yang ada disini juga bukan dedemit. Dan masih sangat butuh angka untuk kaya serta bahagia, tapi apa Tere menjadi tak bahagia hanya karena berkurang pendapatannya? Kemana pengajaran tentang kebahagiaan yang selama ini dia ajarkan, jika tolok ukur bahagia baginya adalah materi dan angka dunia? Mari sama-sama kita tanya pada jomblo tetangga sebelah, atau pada lalat yang melintas. Ada apa dengan Tere Liye??
"Tere kan sedang menyuarakan keadilan, membela penulis!"
Ok. Kita ucapkan terima kasih pada Tere. Standing aplaus dan tepuk tangan sekencang-kencangnya. Tapi tunggu dulu.!
Coba kita tanya pada diri masing-masing sebagai penggerak lietasi. Dua pertanyaan ini.
"Keadilan semacam apa?"
"Keadilan bagi penulis yang mana?"
Saya rasa, kita semua di sini baik-baik aja kok, Om Tere. Bahkan saya yakin, banyak para penulis yang akan terus mencetak buku-bukunya. Mau kena pajak 50% kek, 100% kek, bagi mereka, sebagian mungkin kita termasuk saya, menulis ya menulis aja!
Andai ada berkah di dalamnya? Ya sudah, anggap aja itu kekekalan energi yang kembali ke penulisnya. Andai dipotong pajak, berkahnya? Ya sudah, sisa sedikit juga aduhai senangnya. Andai tidak bersisa sama sekali, berkahnya? Oh, aksara perangkai semesta, bahkan nama dan karya terabadikan dalam buku saja, sudah membahagiakan hati tak terkira.Â
Begitukan, tujuan menulis? Keabadian. Bukan materi dan keduniaan.Â
Seperti kata Pramoedya, "Menulis, adalah bekerja untuk keabadian". Akan menangislah Pramoedya, jika petuahnya itu diganti menjadi "Menulis, adalah bekerja untuk kekayaan". Preet!
Menghasilkan karya dan edukasi dunia literasi, lebih berharga daripada menghitung angka. Jika ada sisi bisnis yang bisa dihasilkan melalui usaha yang maksimal, ya dimaksimalkan. Tapi satu, mengumpulkan pundi, bukanlah tujuan utama penulis di muka bumi. Ini menurut saya. Karena jika itu dijadikan tujuan utama, ya akan begitu akhirnya. Kepala cekut-cekut luar biasa, begitu ada potongan ini dan itu atas berkah dari karyanya.
Menulis, ya menulis. Tak perlu menghitung angka. Jika mau menghitung angka, jadilah pedagang saja. Lebih jelas, pegang kalkulator, bukan pena.
"Tapi, ada penulis yang kaya karena tulisannya?"
Oh, banyak. Tapi bukan, bukan karena tulisannya. Melainkan karena ada yang membaca.
Dengan ada yang membaca, ada silaturrahmi yang kemudian muncul dari karyanya. Ikatan-ikatan yang tak terlihat. Jalur-jalur  kebaikan yang timbul karena hikmah silaturahmi serta ikatan emosi. Antara penulis dan pembaca. Dan itu, berkah namanya. Tatanan Tuhan yang sulit diartikan. Apalagi hendak diambil alih dengan alat hitung dunia.
Tatanan Tuhan, biarlah tetap menjadi urusan Tuhan. Enggak perlu kita ambil alih dan menjadikannya sebagai tujuan dalam menggeluti dunia penulisan. Puyeng lho nanti. Karena merasa sudah menulis ribuan karya, tapi kok enggak kaya-kaya.Â
"Menulis adalah kemuliaan. Dan kaya karena menulis, ah itu mah berkah silaturrahmi yang Tuhan berikan." -Raditya-. Catet!.
Enggak percaya?
Silakan yuk menulis sekeren mungkin, tulisan paling keren sejagad semesta raya. Tapi, hayuuk menulis di dalam gua. Atau di Pluto sana. Tidak ada yang baca, sehingga tidak ada silaturahmi tercipta. Bisakah menjadi kaya? No!
Jelas, no lah! Karena tidak ada silaturrahim yang muncul dari tulisan kita. Tidak ada hukum-hukum Tuhan tentang keberkahan rezeki yang memancar akhirnya., kecuali kalau kita temenan dengan para alien di luar planet sana. Itu juga kalau alien benar ada.
Ah, Tere Liye.
Kadang saya berpikir, andai Tuhan menghitung hembusan nafasnya. Lalu menagih si Tere untuk membayar setiap udara yang keluar dari lubang hidungnya. Juga lubang lainnya. Apa tidak empot-empotan ya, si Tere. Untung Tuhan Maha Baik. Dia anteng-anteng aja di sana, sambil tersipu ngeliatin Tere yang lagi komplain pusing tentang pajak atas penghasilannya.
Tere lupa. Diantara kebaikan-kebaikan yang ia bagikan, harusnya bersyukur ada dalam urutan terdepan,. Karena rasa syukur, lebih penting dari sekedar potongan penghasilan yang ia suarakan, sehingga membuat dirinya berteriak, mengatasnamakan ketidakadilan. Ketidakadilan bagi dirinya sendiri.Â
Kang Mas Tere seperti lupa. Bahwa semakin besar kekuatan, makin besar pula yang harus dipertanggungjawabkan, kata Spiderman.
Mungkin Om Tere perlu diingatkan ini. Bahwa dirinya adalah manusia luar biasa, yang diamanati kekuatan besar pula. Sebesar namanya. So, tanggung jawabnya akan ikutan besar juga. Termasuk pajak yang memotong penghasilannya. Yang menurutnya ada ketidakadilan di sana.
Terakhir, saya ingin mengajak semua. Yuk bersama-sama kita doakan Tere Liye saja. Semoga di rumahnya, selalu enak hidangan yang dimakannya. Tidak dirubung lalat seperti anak-anak yang belajar membaca di kolong-kolong jembatan sana. Termasuk membaca karya-karyanya.
Berselimut debu serta bising suara angkutan kota memekakan telinga. Jangankan AC, membaca saja sambil menahan panas, dahaga dan lapar tak terkira. Selesai membaca, masih harus berpikir akan makan apa. Bagaimana cara mendapatkannya. Demi mengganjal perut yang telah meradang begitu perihnya.
Ayolah, Tere Liye. Jadi penulis, jangan cengeng!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H