Oh iya, jelas.
Kita semua yang ada disini juga bukan dedemit. Dan masih sangat butuh angka untuk kaya serta bahagia, tapi apa Tere menjadi tak bahagia hanya karena berkurang pendapatannya? Kemana pengajaran tentang kebahagiaan yang selama ini dia ajarkan, jika tolok ukur bahagia baginya adalah materi dan angka dunia? Mari sama-sama kita tanya pada jomblo tetangga sebelah, atau pada lalat yang melintas. Ada apa dengan Tere Liye??
"Tere kan sedang menyuarakan keadilan, membela penulis!"
Ok. Kita ucapkan terima kasih pada Tere. Standing aplaus dan tepuk tangan sekencang-kencangnya. Tapi tunggu dulu.!
Coba kita tanya pada diri masing-masing sebagai penggerak lietasi. Dua pertanyaan ini.
"Keadilan semacam apa?"
"Keadilan bagi penulis yang mana?"
Saya rasa, kita semua di sini baik-baik aja kok, Om Tere. Bahkan saya yakin, banyak para penulis yang akan terus mencetak buku-bukunya. Mau kena pajak 50% kek, 100% kek, bagi mereka, sebagian mungkin kita termasuk saya, menulis ya menulis aja!
Andai ada berkah di dalamnya? Ya sudah, anggap aja itu kekekalan energi yang kembali ke penulisnya. Andai dipotong pajak, berkahnya? Ya sudah, sisa sedikit juga aduhai senangnya. Andai tidak bersisa sama sekali, berkahnya? Oh, aksara perangkai semesta, bahkan nama dan karya terabadikan dalam buku saja, sudah membahagiakan hati tak terkira.Â
Begitukan, tujuan menulis? Keabadian. Bukan materi dan keduniaan.Â
Seperti kata Pramoedya, "Menulis, adalah bekerja untuk keabadian". Akan menangislah Pramoedya, jika petuahnya itu diganti menjadi "Menulis, adalah bekerja untuk kekayaan". Preet!
Menghasilkan karya dan edukasi dunia literasi, lebih berharga daripada menghitung angka. Jika ada sisi bisnis yang bisa dihasilkan melalui usaha yang maksimal, ya dimaksimalkan. Tapi satu, mengumpulkan pundi, bukanlah tujuan utama penulis di muka bumi. Ini menurut saya. Karena jika itu dijadikan tujuan utama, ya akan begitu akhirnya. Kepala cekut-cekut luar biasa, begitu ada potongan ini dan itu atas berkah dari karyanya.