Bukan niat awal edukasinya yang tidak murni, tapi perkembangan opini yang tercipta sejalan dengan perkembanganya. Coba amati, berapa banyak postingan pihak lain yang memanfaatkan edukasi Tere Liye itu. Maksudnya, memanfaatkan situasi tersebut untuk menjadikannya sebagai amunisi membidik pemerintah. Dan tentu saja, pihak yang berseberangan dengan pemerintah, akan senang luar biasa dengan situasi itu. Tak terkira rasanya. Ya iyalah, dapat amunisi gratisan. Tere Liye mungkin tak mengira akan hal ini.Â
Dari hati kecil yang terdalam, sedalam cinta Julaeha pada mantannya, saya meyakini. Bahwa suatu hari Tere Liye akan mencetak bukunya kembali. Entah besok, lusa, tahun depan, atau tahun saat sendal jepit bisa terbang ke luar angkasa. Saya yakin itu. Tere akan mencetak lagi bukunya.
Saya yakin. Sekelas Tere sangat tahu, apa beda antara menulis di sosial media, dengan menulis pada cetakan buku.
Tere tahu. Bahwa tidak mungkin, jika ada seseorang yang hendak PDKT dan nembak idamannya, di mana kebetulan idamannya itu hobi membaca karya Tere Liye, tapi karena buku si Tere udah tidak ada di pasaran, maka yang sedang PDKT itu akan  mempersembahkan Facebook-nya Tere Liye sebagai gift buat dipersembahkan kepada idamannya. Enggak mungkin, kan? Masa ngasih kado berupa sebuah akun Facebook. Meski itu adalah akunnya Tere Liye. Koplak!
Tere sangat paham, bahwa buku akan lebih cantik dijadikan souvenir daripada akun Facebook-nya. Iyalah, masa Facebook dijadiin souvenir. Yang bener aja. Jelas kerenan buku dong. Kasih pita pink sedikit ala-ala gitu deh. Tere, sangat tahu hal ini.
Kemudian, yang ini agak unik sekaligus antik dan cukup menarik. Bukan bermaksud menilai, juga tidak bermaksud menyudutkan, apalagi sudut pitagoras. Bukan. Tapi saya berpikir begini. Tere itu kan penulis handal, tulisannya sarat kebaikan. Bahkan taglinenya "menulis sampai tak bernafas". Ibarat kata ia selalu menekankan, menulis ya menulis aja, enggak perlu mikir lainnya.Â
Kemudian ketika berbicara kebaikan dia pasti juga sangat paham. Bahwa segalanya, adalah dari Tuhan, milik Tuhan, dan dirinya hanya perlintasan. Termasuk kemahirannya dalam menulis, milik Tuhan juga. Tentu kalau dia masih ingat pada pesan-pesan kebaikan yang ia bagikan.
Nah. "menulis ya menulis aja" digabung dengan pemahaman "segalanya adalah milik Tuhan" dalam pesan-pesan baik yang ia bagikan, tapi di satu sisi, kok pusing tujuh keliling dengan pajak dan segala perhitungan. Nesu, ngambek, enggak karu-karuan. Lucu, bukan?
Bukankah sebagai penyampai pesan kebaikan harusnya dia ingat, bahwa kita semua -termasuk dirinya- lahir tanpa membawa apa-apa? Bukankah saat meregang nyawa, segala royalti juga tak bisa dibawa mati? Untuk apa mempermasalahkan potongan pajak. Besar kek, kecil kek.Â
Ke mana semboyan "menulis ya menulis aja" nya ketika kepalanya begitu cekut-cekut dengan perhitungan pajak dan angka? Ke mana pesan kebaikan yang harusnya lebih dulu menyentuh sanubarinya, sebelum dibagikan pada sesama manusia? Ke mana ingatannya sebagai manusia yang terlahirkan telanjang tanpa sehelaipun benang, jika masih merasa keberatan dengan adil dan tidak keadilan dunia? Urusan materi pula.
"Tere kan juga manusia. Dia masih butuh materi dan dunia."