Apabila benar-benar nantinya Jokowi jadi presiden negara justru dalam keadaan bahaya bahkan hancur karena Jokowi lahir dari pencitraan (TribunNews, 27/8). Ya, begitulah apa yang dikatakan oleh Ruhut Sitompul. Luar biasa!
Pernyataan yang bersifat insinuatif dan underestimate ini tentu saja mengundang badai komen. Tak pelak lagi, artikel yang memuat pernyataan politikus Partai Demokrat ini dibombardir komen-komen yang tak kalah pedas. Saya mencoba menghitung jumlah komen dan memilahnya menjadi 3 kategori: mendukung Ruhut, netral, menentang Ruhut.
Penghitungan yang saya lakukan berhenti pada jumlah 1100 komen yang masuk. Sebetulnya masih banyak komen yang belum saya hitung. Saya malas melanjutkan karena nadanya hampir sama, yaitu hujatan kepada Ruhut. Tidak tanggung-tanggung, dari 1100 orang yang memberikan komen, 2 mendukung Ruhut, 1 netral, dan 1097 menentang Ruhut. Dengan kata lain pernyataan Ruhut ditentang oleh 99% komentator.
Dua komen yang mendukung Ruhut alasannya relatif sama, yaitu Jokowi diragukan sikap nasionalismenya karena membiarkan penonton konser Metallica mencorat-coret bendera Merah-Putih. Satu komen yang bersifat netral menyatakan, "Gak ada lu, gak rame." Sedangkan sisanya yang menentang Ruhut komennya berisi sanggahan, cacian, makian, dan ancaman.
Mari kita telusur pernyataan itu dari sisi komunikasi politik. Ruhut adalah seorang anggota DPR, seorang politikus. Untuk menjadi seorang politikus seseorang memerlukan kecakapan komunikasi politik. Dengan komunikasi politik, seorang politikus akan mampu mengartikulasikan kepentingan konstituen yang diwakilinya kepada pihak-pihak terkait dengan efektif. Tujuannya adalah memperjuangkan visi politiknya agar konstituen semakin percaya dan merasa cocok pada pilihan partai politiknya yang sekarang.
Komunikasi politik tak terlepas dari fatsoen politik. Etika, tata-krama, atau sopan santun berbicara dilandasi oleh etika, tata-krama, atau sopan santun berpolitik. Fatsoen politik adalah norma etik yang seharusnya digunakan sebagai pedoman ketika orang berpolitik. Lalu apa kaitan pernyataan oleh Ruhut itu, "Negara Akan Hancur Bila Dipimpin Jokowi," dengan komunikasi politik?
Dengan gaya bahasa politik seperti itu, mungkin Ruhut ingin mengatakan maksudnya bahwa ia mengajak kepada publik untuk memilih seseorang yang bukan Jokowi untuk menjadi calon pemimpin negara ini, seorang calon Presiden. Dan, calon Presiden yang diinginkan Ruhut (mungkin juga yang diinginkan partainya) kalah populer dibandingkan Jokowi. Survei-survei mengenai calon Presiden selalu dimenangkan oleh Jokowi. Ruhut menjadi cemas terhadap popularitas Jokowi mengalahkan calon yang diusungnya. Ia mencari berbagai cara untuk merebut simpati publik yang selama ini diberikan kepada Jokowi.
Sampai di situ masih sah-sah saja. Politik juga ilmu memainkan persepsi-persepsi. Komunikasi politik dapat mengubah dari satu pilihan ke pilihan lain oleh publik dengan memainkan persepsi melalui komunikasi politik. Masalahnya adalah pernyataan Ruhut melanggar fatsoen politik, dengan merendahkan politikus lain (underestimate) melalui sindirian (insinuasi).
Bukan saja Ruhut melakukan sindirian dan merendahkan kapasitas Jokowi, melainkan Ruhut juga melancarkan aksi provokatif. Hal ini tidak mengandung unsur edukatif yang mestinya ditunjukkan oleh anggota DPR yang menyandang status yang terhormat. Ruhut semakin membuat gaduh atmosfer politik yang ingar-bingar. Lalu peran sebagai tokoh panutannya di mana?
Dikatakan lebih lanjut oleh Ruhut bahwa Jokowi bukan dari latar belakang militer sehingga mempermudah kehancuran negara bila Jokowi menjadi pemimpinnya. Ruhut mungkin kurang cermat bahwa negara hancur atau tidak bukan karena dari latar belakang militernya. Artinya variabel militer tidak berkorelasi dengan maju-mundurnya suatu negara. SBY dari kalangan militer dan sekarang ini negara yang dipimpinnya sedang merosot kinerjanya dan SBY tidak mencerminkan ketegasan dan kekuatannya ketika dituntut rakyat untuk menegakkan hukum.
Bagi saya, pemimpin satu dekade ke depan cukup punya ketegasan menegakkan hukum dan anti-korupsi. Rakyat akan senang bila ketegasan militer dijalankan untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Rakyat akan senang bila ketegasan militer ada pada pemimpin meskipun ia sendiri bukan militer. Cukup itu saja untuk periode 5 tahun ke depan. Ini dikarenakan banyaknya pelanggaran hukum tidak diatasi dengan tegas dan keras. Selanjutnya beberapa periode jabatan Presiden ke depannya lagi, baru ditambahkan kemampuan lain yang sejalan dengan tugas-tugas pemimpin.
Dari konteks itu, memang sungguh ngawur dan tidak berdasarkan logika pernyataan Ruhut tersebut. Saya kira publik berharap, para politikus hendaknya tetap memiliki integritas sebagai pelaku utama praktik politik dalam berkomunikasi selalu berlandaskan fatsoen politik di setiap tindakan dan pernyataannya. Sehingga, dunia politik menjadi dunia yang sejuk namun efektif dalam memperjuangkan visi politik masing-masing partai politik dan konstituennya.*** [Kangmas Hejis]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H