Mohon tunggu...
Adrin Ma'ruf
Adrin Ma'ruf Mohon Tunggu... Dokter Hewan -

Dokter Hewan yg cinta menulis, dan berkarya.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Efektifkah Kebiri Predator Anak?

22 Oktober 2015   14:07 Diperbarui: 22 Oktober 2015   17:33 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi - kebiri dengan suntik kimia (Shutterstock)

Tahun 2010-2014 tercatat ada 21,8 juta kasus kekerasan pada anak, dan sekitar 48-54% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Saat ini, hukuman terberat untuk pelaku kekerasan pada anak adalah hukuman penjara paling lama 15 tahun (Metro TV, 22/10/2015).

Nah dari sini muncul pendapat bahwa, hukuman di atas masih terlalu ringan bagi pelaku pedofil. Hingga muncul gagasan bahwa pelaku kekerasan harus dikebiri untuk memberikan efek jera dan mencegah pelaku melakukan tinakan serupa.

Ada satu pertanyaan menarik di sini. Bisakah pedofilia dihentikan dengan pengebirian? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan coba jelaskan terlebih dahulu kebiri dan hormon testosteron

Hormon testosterone disebut juga dengan hormon kejantanan, bertanggung jawab untuk memberi sifat jantan pada laki-laki, menumbuhkan bulu atau rambut di bagian-bagian tubuh tertentu, meningkatkan massa otot, meningkatkan kepadatan tulang, dan memberi sifat libido (hasrat seksual) pada pria. Hormon ini umumnya diproduksi di buah zakar atau testis pria yang sudah pubertas.

Secara medis, kebiri atau kastrasi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengambil testis atau mendisfungsikan testis pada manusia atau hewan. Kebiri atau kastrasi terbagi menjadi dua teknik, yaitu teknik kimia dan fisik. Teknik kimia dilakukan dengan cara memberikan hormon antiandrogen kepada pelaku pedofil, diharapkan cara ini akan menghambat produksi hormon testosterone, dan diikuti dengan penurunan tingkat libido (hasrat seksual) pedofil. Sedangkan cara fisik, dilakukan melalui metode pembedahan, dengan jalan menghilangkan secara permanen buah zakar atau testis pelaku kekerasan seksual sehingga tidak terjadi produksi hormon testosteron.

Maka dalam kasus ini, kebiri kepada predator anak tujuan utamanya adalah menghilangkan hormon testosteron dan androgennya, agar hasrat seksualnya dapat ditekan atau dihilangkan seluruhnya.  

Namun, satu hal yang perlu dikritisi di sini adalah, bahwa pedofilia adalah suatu gangguan kejiwaan atau psikis, yang membutuhkan tindakan rehabilitasi semaksimal mungkin. Sedangkan pengebirian di sini lebih menekankan pada aspek seksualitasnya saja. Sehingga apabila suatu pelaku diduga mengalami gangguan kejiwaan, yang dalam konteks ini adalah pedofilia, maka pasien (pelaku) harus ditangani melalui tindakan psikoterapi dan rehibiltasi kejiwaan atau terapi psikis. Sedangkan pengebirian adalah hukuman pemberat saja.

Pengebirian dengan metode kimia juga memerlukan pemberian hormon berulang untuk menjaga kadar hormon androgen dalam tubuh tetap rendah. Sehingga selama pemberian sanksi pindana, pelaku harus terus diberi anti-androgen, karena hormon antiandrogen hanya bersifat sementara. Dalam hal ini, hasrat seksual pelaku juga dapat muncul kembali secara alami saat kadar hormon androgen kembali meningkat, atau saat pelaku diberikan hormon pemicu androgen. Jadi pelaku masih bisa melakukan hasrat seksual kepada korbannya.

Di sisi lain, menurut aktivis anak Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto menilai hukuman itu hanya akan memperparah kondisi psikologis pelaku. Pelaku justru akan semakin bertindak agresif, dan diperkirakan nantinya dia bukan akan hanya menyasar sekadar pada tindakan kekerasan seksual, tapi bisa menyasar kekerasan segala-galanya. Menurutnya, rasa dendam akan muncul dalam diri pelaku jika libido mereka dimatikan atau dikebiri. Sehingga mereka akan melakukan kejaharan yang lebih kejam dan sadis di kemudian hari. Jadi dampak dari kastrasi atau kebiri harus dikaji ulang dengan memperhitungkan baik buruk dampaknya.

Dalam beberapa tahun belakangan, sempat diklaim bahwa pengebirian ini dapat mengurangi kasus kekerasan seksual pada anak. Beberapa negara seperti Polandia, Turki, Moldova, Korea Selatan, Rusia, dan Jerman mengaplikasikan metode ini, dan dilaporkan mampu mengurangi dan mencegah kasus kekerasan seksual pada anak.

Namun, perlu diingat bahwa kasus pedofil atau predator anak adalah suatu rangkaian sistem yang berkesinambungan. Menurut Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, kasus pedofilia juga diakibatkan oleh penelantaran anak oleh orang tua. Dari laporan kasus dipelajari bahwa sekitar 50% korban pedofil merupakan keluarga yang melangalami perceraian, 30% keluarga yang mengalami penalakan (broken home), dan sisanya lain-lain. Dari peristiwa penelantaran anak inilah, kemudian dapat disimpulkan bahwa orang tua lalai mengasuh anaknya, sehingga anaknya pergi dari lingkungan keluarga ke lingkungan luar untuk mencari perhatian dan kasih sayang. Nah, di titik inilah kemudian, pelaku-pelaku pedofil mengambil peran.

Hal yang lebih memilukan lagi adalah, peristiwa pedofilia merupakan peristiwa yang dapat terjadi secara berantai. Dalam hal ini korban pedofil dapat menjadi pelaku pedofil selanjutnya, sama seperti halnya korban sodomi dapat berubah menjadi pelaku sodomi selanjutnya.

Ide pengebirian predator anak, merupakan usulan yang baik di tengah krisis kekerasan seksual pada anak untuk mencegah dan memberi efek jera pada pelaku. Namun di sini pemerintah harus mengonsultasikannya terlebih dahulu usulan pembentukan Undang-Undang Pidana Kekerasan Seksual kepada para ahli medis.

Menurut saya, hukuman kebiri dipertimbangkan berdasarkan tingkat keparahan tindakan pelaku. Hukuman atau sanksi pindana pelaku kekerasan seksual memang perlu direvisi lagi, dan pengebirian statusnya hanya sebagai hukuman pemberat saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun