Mohon tunggu...
Adrin Ma'ruf
Adrin Ma'ruf Mohon Tunggu... Dokter Hewan -

Dokter Hewan yg cinta menulis, dan berkarya.....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

50 Tahun Nasib G30S/PKI

13 Oktober 2015   20:05 Diperbarui: 13 Oktober 2015   20:14 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober-10 November 1965, ketika Jendral Nasution menugasi beberapa ahli sejarah untuk membuat buku “40 Hari Kegagalan G30S”. Walaupun belum menggunakan label G30S/PKI, tapi buku ini telah banyak menyinggung kudeta yang dilakukan oleh G30S/PKI. Namun ilmuan dari AS Ben Anderson, dan Ruth McVey memiliki pendapat yang berbeda, yang meiihat adanya keterlibatan TNI AD. Laporan itu dikenal dengan nama “Cornell Paper”, lewat Washington post edisi 5 Maret 1966. Kemudian pada tahun 1967 terbit kembali buku berjudul “the Coup Attempt of September 30 movement in Indonesia” sebagai tandingan dari Cornell Paper, yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dengan bantuan dari Guy Pauker dari Rand Corporation di AS. Dalam Kunjungannya ke AS Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa dokumen visum et repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini kemudian sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pengcungkilan mata dan penyiletan kemaluan para Jenderal.

                Episode kedua adalah sosialisasi versi tunggal pengusasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penertbitan buku “Sejarah Nasional Indonesia” tahun 1975, dan memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, 1984. Dan setiap malam tanggal 30 september, film itu wajib tayang.

                Pada Mei 1998, runtuhnya kekuasaan Soeharto menandai dimulainya tahap ke tiga. Korban pun mulai bersuara. Sejarah lisan pun mulai bersuara, diantaranya yang paling menonjol adalah 1965 : Tahun yang Tidak Pernah Berakhir Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.

Episode Keempat, ditandai dari penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, pada tahun 2008. Bila sebelumnya selalu diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini berubah menjadi siapa dalang pembantaian 1965. Dalam bukunya, John Roose menganggap bahwa aksi G30S/PKI itu dijadikan dalih dari pembunuhan massal.

Munculnya film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai dimulainya episode kelima. Bila sebelumnya korban berbicara, pada tahap ini para pelaku ikut bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan di nominasikan sebagai fim documenter terbaik piala Oscar 2014. Dan pada tanggal 10 Desember, film Senyap muncul melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bukan hanya sampai disitu, pada September 2012 sebuah majalah berita nasional mengeluarkan sebuah edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota G30S/PKI pada akhir 1965. Warga dan beberapa tokoh agama tentu merasa terpojokan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis agama di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya, karena keadaan memang mendorong  ke arah hal itu.

Jika dipahami, terdapat lima aspek G30S/PKI yang dapat terlihat, yaitu pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru 1969-1979.

Bila ketiga hal tersebut lebih mengarah pada kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bertumpu pada kekerasan mental. Yakni keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima Stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.

Rekonsiliasi dan Keadilan

Prinsipnya semua tindakan pelanggaran HAM berat idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan, karena tidak memenuhi syarat, sehingga hal ini diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini berdasarkan pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pada awal tahun 2000-an, mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Banyak pihak yang melakukan berbagai kegaitan untuk memulai mewujudkan proses rekonsiliasi itu. Banyak anak pelaku kekerasan korban 1965 merasa ikut merasa bersalah dan kemudian melakukan sesuatu yag positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Sliaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A. Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.

Agar rekonsiliasi dapat tercapai, perlu dipenuhi beberapa persyaratan. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk mebuktikan seseorang bersalah atau tidak, rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dan upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban serta tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun