Mohon tunggu...
Adrin Ma'ruf
Adrin Ma'ruf Mohon Tunggu... Dokter Hewan -

Dokter Hewan yg cinta menulis, dan berkarya.....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

50 Tahun Nasib G30S/PKI

13 Oktober 2015   20:05 Diperbarui: 13 Oktober 2015   20:14 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap menjelang 30 September muncul wacana tentang Gerakan 30 September atau G30S/PKI yang menyeret Tragedi Gerakan 30 September 1965 .  Namun wacana yang muncul saat ini masih terbagi dalam 2 kelompok. Kelompom pertama berpihak kepada korban dari eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan perkembangannya menuntut diadakanya proses pengadilan bagi pelaku, reparasi korban, dan pembersihan nama baik PKI. Sedangkan kelompok kedua, menyatakan bahwa PKI adalah pengkhianat, dan dalang dibalik peristiwa perebutan kekuasaan politik dan melakukan aksi ofensif terhadap TNI AD. Dan mengakibatkan gugurnya tujuh pahlawan revolusi Indonesia yang jenazahnya di temukan di sebuah sumur tua, di lubang buaya Jakarta timur serta dua perwira di menengah di Yogyakarta. Kelompok ini menolak segala sesuatu apapun yang berbau dan berkaitan dengan komunisme di dindonesia.

Hal ini tidak berlebihan, sebab peristiwa itu merupakan persitiwa paling menentukan dan paling traumatic dalam sejarah Indonesia merdeka.. Dari tanggal 1 Oktober itu yang menjadi akhir dari kekuasaan Soekarno, dan menjadi dinamika yang bermuara pada tindak pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial ribuan warga bangsa yang akan menjadi salah satu kejahatan genosidal mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun,

Saat PKI sudah lumpuh, desa-desa, kota-kota, mulai dari jawa tengah hingga seluruh pelosok tanah air disisir secara sistematik. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat dengan PKI ada yang langsung dieksekusi, ada yang di ciduk dulu,, ditahan, tetapi biasanya pada malam hari, dibawa ketempat-tempat sepi dan dibunuh disana. Pembunuhan itu bukan dilakukan oleh pengeroyokan massa yang sedang emosi, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan administratif.

Lebih banyak lagi yang ditahan. Mereka dikategorikan menjadi 3 golongan. Golongan A yang kemudian di bawa ke pengadilan, golongan B yang dianggap orang penting, tetapi karena tidak melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, akhirnya mereka ditahan begitu saja, dan golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehdupan “normal”. Pemerintah Soeharto menetapkan kebijakan yang menstigmatisasi warga yang dianggap simpatisan PKI. Mereka yang di cap “PKI” akan diasingkan dari pergaulan normal dengan tanda “ET” (Eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi mereka, dan yang pegawai negeri dipecat.

Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari 10 tahun tanpa proses pengadilan. Mereka disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Mereka pada akhirnya hancur secara sosial.

Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntunya yang sedemikian mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Kita harus bertanya, bagaiman kekejaman di luar ukuran terharap bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tak dapat selamanya lari dari sejarahnya.

Secara politis, tahun 1965 bangsa Indonesia sudah terpecah menjadi dua, bahkan ada yang mengatakan menjadi tiga. Terutama PKI dengan bahasanya yang keras-konfrotatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner, dan musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai “Tujuh Setan Desa” dan “kafir” yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan, dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI.

Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20 koran anti-komunis dilarang dan seterusnya. Waktu itu mereka yang tak termasuk dalam kubu “Progresif-Revolusioner” itu diliputi ketakutan.

Suasana yang diciptakan sampai pertengahan 1965 diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin lagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia tradisional.

Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap “terlibat” dalam G30S/PKI, pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya bahwa PKi meruppakan musuh yang dibenci dan ditakuti juga tidak mebenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik di bunuh dan dihancurkan,

5 Episode

Episode pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober-10 November 1965, ketika Jendral Nasution menugasi beberapa ahli sejarah untuk membuat buku “40 Hari Kegagalan G30S”. Walaupun belum menggunakan label G30S/PKI, tapi buku ini telah banyak menyinggung kudeta yang dilakukan oleh G30S/PKI. Namun ilmuan dari AS Ben Anderson, dan Ruth McVey memiliki pendapat yang berbeda, yang meiihat adanya keterlibatan TNI AD. Laporan itu dikenal dengan nama “Cornell Paper”, lewat Washington post edisi 5 Maret 1966. Kemudian pada tahun 1967 terbit kembali buku berjudul “the Coup Attempt of September 30 movement in Indonesia” sebagai tandingan dari Cornell Paper, yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dengan bantuan dari Guy Pauker dari Rand Corporation di AS. Dalam Kunjungannya ke AS Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa dokumen visum et repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini kemudian sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pengcungkilan mata dan penyiletan kemaluan para Jenderal.

                Episode kedua adalah sosialisasi versi tunggal pengusasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penertbitan buku “Sejarah Nasional Indonesia” tahun 1975, dan memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, 1984. Dan setiap malam tanggal 30 september, film itu wajib tayang.

                Pada Mei 1998, runtuhnya kekuasaan Soeharto menandai dimulainya tahap ke tiga. Korban pun mulai bersuara. Sejarah lisan pun mulai bersuara, diantaranya yang paling menonjol adalah 1965 : Tahun yang Tidak Pernah Berakhir Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.

Episode Keempat, ditandai dari penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, pada tahun 2008. Bila sebelumnya selalu diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini berubah menjadi siapa dalang pembantaian 1965. Dalam bukunya, John Roose menganggap bahwa aksi G30S/PKI itu dijadikan dalih dari pembunuhan massal.

Munculnya film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai dimulainya episode kelima. Bila sebelumnya korban berbicara, pada tahap ini para pelaku ikut bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan di nominasikan sebagai fim documenter terbaik piala Oscar 2014. Dan pada tanggal 10 Desember, film Senyap muncul melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bukan hanya sampai disitu, pada September 2012 sebuah majalah berita nasional mengeluarkan sebuah edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota G30S/PKI pada akhir 1965. Warga dan beberapa tokoh agama tentu merasa terpojokan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis agama di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya, karena keadaan memang mendorong  ke arah hal itu.

Jika dipahami, terdapat lima aspek G30S/PKI yang dapat terlihat, yaitu pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru 1969-1979.

Bila ketiga hal tersebut lebih mengarah pada kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bertumpu pada kekerasan mental. Yakni keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima Stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.

Rekonsiliasi dan Keadilan

Prinsipnya semua tindakan pelanggaran HAM berat idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan, karena tidak memenuhi syarat, sehingga hal ini diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini berdasarkan pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pada awal tahun 2000-an, mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Banyak pihak yang melakukan berbagai kegaitan untuk memulai mewujudkan proses rekonsiliasi itu. Banyak anak pelaku kekerasan korban 1965 merasa ikut merasa bersalah dan kemudian melakukan sesuatu yag positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Sliaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A. Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.

Agar rekonsiliasi dapat tercapai, perlu dipenuhi beberapa persyaratan. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk mebuktikan seseorang bersalah atau tidak, rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dan upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban serta tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.

Untuk mencapai tujuan itu, rekonsiliasi terdiri atas empat elemen yang perlu dicapai secara seimbang. Elemen tersebut adalah keadilan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi. Keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran ekslusif yang terpisah dengan yang lain, tetapi imperative yang saling memperkuat, dan memerlukan perencanaan yang strategis, kesatuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran. Pencarian kebenaran cara yang penting untuk menyembuhkan luka lama, mengidentifikasi kelemahan dalam system atau pembuatan kebijakan untuk dapat kita perbaiki. Elemen reofmasi kelembagaan menjadi bagian keadilan transisional. Reparasi merupakan proyek pemerintah yang menyatakan pengakuan kepada mereka yang hak-hak dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran hak korban, pengakuan atas tanggung jawab Negara, dan pengakuan atas cidera yang diderita korban sebagai akibat dari tindak kekerasan. Reparasi simbolis dapat berupa pernyataan penyesalan, penentuan hari-hari peringatan, pembangunan monumen atau museum. Yang terpenting disini ialah bahwa semua tentnag kesalahan apa yang dilakukan dalam kaitan dengan kewenangan berbagai lembaga, hubungan antar kewenangan lembaga serta kewajiban untuk patuh pad berbagai peraturan perundang-undangan yang ada perlu diidentifikasi sehingga menjelaskan mengapa sampai teradi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada sesame bangsa. Kelemahan dan kesalahan itulah yang kita koreksi agar peristiwa serupa tidak terulang.

Dari uraian di atas, jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep upaya memntingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsilisasi bukan untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Rekonsiliasi juga bukan untuk menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Rekonsiliasi adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa.

                Upaya rekonsiliasi juga memberikan harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk menentukan para angora KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal desember 2006. Dan sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang telah dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.

                Dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, Agustus 2015 menyatakan sebelum tercapai rekonsiliasi, tentu perlu dilakukan pengungkapan kebenaran yang akan terbantu oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini. Dan beliau menyatakan secara tersirat, membantuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk 1965. Informasi ini tentunya menimbulkan reaksi yang berbeda di dalam berbagai kelompok ada yang senang dan ada yang  tidak.

Komnas HAM pada Juli 2012 melaporkan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis pada tahun 1965-1966. Laporan dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah. (Maumere, Maluku, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara) dan pengumpulan kesaksian.dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang pengadilan HAM junto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusaiaan.

Namun sayangnya rekonsiliasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia masih sulit dimulai. Salah satu penyebabnya, pengertian rekonsiliasi dipahami secara awam oleh pihak yang terlibat konflik, dan rekonsiliasi sendiri masih digunakan untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi terlaksananya rekonsiliasi.

Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribune (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu dilaksanakan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016 . IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam perkara itu.

Sikap Warga Saat Ini

Bagaimana sikap warga terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun yang lalu itu? Dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh sebuah lembaga penyiaran pada 29 September 2015, terdapat empat kelompok yang memilki sikap berbeda-beda terhadap peristiwa ini.

Pertama, adalah kelompok antirekonsiliasi yang saya kira jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat untuk menyelamatkan NKRI. Rencana rekonsiliasi dianggap tidak perlu, karena PKI memang pantas mendapatkan perlakuan seperti yang sudah terjadi.

Kedua, adalah kelompok yang setuju dengan adanya rekonsilisasi, yang menganggap warga PKI dan non-PKI sama-sama menjadi korban. Menurut mereka, Negara bisa meminta maaf kepada korban, bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan, dipertahankan dan dilaksanakan dengan ketulusan dan kejujuran agar tidak terjadi prasangka buruk.

Ketiga, adalah mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga, dan militer dalam pelanggaran HAM itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hokum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju jika Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, dan ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka berasumsi bahwa PKI sudah tidak memilki pengaruh kuat lagi di tanah air, sehingga mereka tidak akan laku dimasyarakat.

Dan Keempat, adalah orang-orang yang tidak mengalami suasana saat PKI sedang “berperang” dengan TNI, dan partai-partai lawan. Kedepan jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI semakin banyak, dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harunya bertanggung jawab sudah tidak ada.

Peringatan 50 tahun G30S/PKI sebaiknya kita persiapkan dengan berani menghadapi apa yang telah terjadi 50 tahun yang lalu kalau bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukanya bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan dari LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya, bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita sama-sama dapat membersihkan hati kita. Maka kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau pantas dipuji. Kberanian menghadapi secara jujur, terbuka dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S/PKI perlu didorong oleh pemerintah. Namun sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan, iniversitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan kekerasan pasca G30S/PKI mempersatukan kita bukan malah memecah belah kita. Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita boleh minta maaf.

 

Sumber :

Franz Magnis Suseno, membersihkan Dosa Kolektif G30S

Agus Widjodjo, Berdamai dengan Masa lalu

Salahudin Wahid, Sikap Warga NU terhadap PKI

Asi Warman Adam, 0 Tahun Studi G30S 1965

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun