Mohon tunggu...
Tama Yudhistira
Tama Yudhistira Mohon Tunggu... Guru - Guru

Keep smiling and pretend you know what's going on .... Hatake Kakashi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Off Media Sosial, Menyehatkan Mental

15 Januari 2024   14:25 Diperbarui: 15 Januari 2024   14:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejala stress sudah mulai menggerogoti mental Anda? Menyalahkan diri sendiri ketika capaian hidup Anda tidak se-wah teman, sahabat atau orang lain yang muncul di beranda medsos Anda?

Atau Anda sudah mulai merasa ada yang janggal ketika jemari Anda tidak melakukan scroll medsos dalam waktu sepersekian menit? Atau ada rasa was-was ketinggalan update berita dari orang yang Anda follow - ikuti?

Hati-hati, mungkin Anda perlu mengistirahatkan diri dari ketergantungan terhadap medsos. Mungkin lebih tepatnya bijaklah dalam penggunaan gadget untuk hal yang tidak produktif.

Tulisan ini hasil dari refleksi saya ketika saat ini dengan sengaja saya off kan media sosial dalam perangkat gadget saya. Komitmen saya mencoba menjauhkan sementara kegiatan scrolling di media sosial. Sembari ingin merasakan apa dampak sesungguhnya ketika kita jauh dari media sosial.

Mengapa saya off Media Sosial?
Bagi sebagian orang media sosial digunakan untuk personal branding. Bahkan beberapa fakta terjadi, contoh sederhana, jika Anda menekuni dunia tulis menulis maka ada penerbit yang  "mewajibkan" punya akun medsos. Kalau perlu yang sudah bertumbuh.

Alasannya sederhana tapi juga komplek prosesnya yaitu tulisan/ buku hasil karya penulis nanti akan mudah dikenal orang. Hal ini karena si penulis sudah dikenal sama orang. Minimal followernya.

Dari sisi bisnis akan menguntungkan penulis dan penerbitnya. Follower bisa dijadikan sasaran konsumen, bahkan kalau perlu bisa jadi tim marketing sukarela. Tanpa harus membayar konsekuensi dari iklan dan ajakan follower untuk membeli buku dari si penulis.

Unik. Ya itulah namanya media sosial, sarana personal branding yang cukup ampuh. Jangkauannya luas melebihi batas pekarangan rumah bahkan batas wilayah tertentu.

Namun, apakah bermain media sosial juga akan selamanya baik? Apakah sisi baik lebih banyak dibandingkan sisi buruknya? Atau sebaliknya sisi buruknya lebih banyak dari sisi baiknya?

Ini dikembalikan kepada si pengguna aplikasi medsosnya. Bijak atau tidak menggunakannya. Namun, tak bisa dipungkiri faktor yang tak bisa dibatasi, yaitu sejauh mana pertemanan dan komunitas yang ada pada media sosial. Itu akan sangat berpengaruh pada kualitas mental kita.

Mengapa saya off Media Sosial, setidaknya ada lima hal yang saya rasakan dan targetkan untuk kualitas hidup saya.
1. Menghabiskan banyak waktu dengan scrolling media sosial di rumah.
Jujur, ini cukup menganggu komunikasi saya dengan keluarga. Terkadang saya tidak mendengar apa yang dibicarakan istri maupun anak. Sehingga mereka harus mengulang apa yang mereka katakan.

Tentu istri tersinggung dan sedikit marah, karena fokus saya tidak di rumah. Walaupun terkadang saya pegang gadget karena berbalas chat terkait pekerjaaan. Namun, tetap saja alasan itu tidak dibenarkan. Karena sudah menjadi aturan bersama dengan istri masalah pekerjaan tidak boleh dibawa ke rumah.

2. Menunda bahkan mengabaikan pekerjaan
Untuk kasus di rumah, sudah menjadi kesepakatan bahwa saya selalu siap membantu pekerjaan rumah. Saya tak akan menolak, ini prinsip. Karena rumah tangga dibangun bersama, sehingga pekerjaan rumah tangga juga harus dikerjakan bersama walaupun konsepnya pembagian tugas.

Namun, terkadang saya masih lalai mungkin lebih kepada menunda pekerjaan karena scrolling media sosial. Sehingga aktivitas pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab saya pun tidak terjadwal dengan baik. Molor, istilahnya.

Dalam kasus pekerjaan profesi selama ini belum menemukan masalah berarti karena media sosial. Alhamdulillah. Saya tetap konsekuen, selama saya bekerja saya menjauhkan HP dari jangkauan laptop dan tangan saya. Sehingga semua bisa terkontrol dengan baik, walaupun godaan juga lumayan kuat.

3. Merasa Cemas atau Kesepian Tak Membuka Media Sosial
Rasa ini lebih berasa ada yang kurang ketika tak buka media sosial. Terasa ada yang ketinggalan, terasa tidak ada hiburan, ataupun terasa ada hal yang membuat penasaran.

Walaupun terasa aneh, ternyata memang ini terjadi. Mungkin inilah yang dinamakan kecanduan media sosial. Kadar Dopamin meningkat saat terasa kecanduan media sosial. Mirip-mirip dengan kecanduan alkohol maupun narkoba.

4. Merefresh Ulang Semangat untuk pengembangan diri.
Gangguan yang terjadi seperti tiga hal di atas membuat saya berpikir dan merenung. Ada yang salah dengan hidup saya.

Apa yang harus diperbaiki lebih dulu? Apa yang mesti dirubah? Apa yang aku targetkan untuk beberapa waktu ke depan?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam alam bawah sadar. Bahwa semua ini kacau, harus dirubah, harus berubah. Oleh karena itu, off Media sosial untuk menemukan kembali semangat mengembangkan diri lebih baik dan produktif lagi.

5. Fokus dengan tujuan
Ada yang terbengkalai dengan rencana hidup di masa lalu. Sehingga cerita masa depan juga ikut tertunda kabar bahagianya.

Tujuan yang sudah dibuat menjadi berantakan target waktunya. Bahkan malah keteteran dengan tenggat waktu yang sudah direncanakan.

Ya, off Media sosial membuat fokus lebih baik lagi. Rancangan yang sudah dibuat, direvisi dan dikejar kembali agar cepat terealisasi. Itu harapannya tentu tidak mudah prosesnya.

Langkah Menarik diri Media Sosial
Tak mudah melepaskannya, jujur itu. Dalam jangka waktu 1 x 24 jam itu sangat menganggu konsen saya. Karena belum terbiasa. Tapi setelahnya menjadi lebih mudah.

Lalu apa yang harus dilakukan supaya lebih nyaman off dari media sosial?
1. Menetapkan jadwal pemakaian gadget
Sederhana. Kami menetapkan setelah jam 19.00 sudah tidak boleh menggunakan gadget. Awalnya berat namun karena terbiasa semua menjadi lebih nyaman.

Selebihnya kami membolehkan diri kami maupun anak menggunakan gadget itu pun kalau sempat. Karena jam-jam selain itu merupakan jam sibuk kerja maupun sekolah. Kalau sore jadwal bermain dengan kawan-kawannya di kompleks, sedangkan kami sibuk beberes rumah atau kegiatan di luar rumah.

2. Menetapkan durasi penggunaan gadget
Kami bersepakat bahwa ketika di rumah maksimum penggunaan gadget adalah 3 jam. Itu pun dibagi-bagi tidak langsung 3 jam menggunakan gadget sekali pegang.

3. Mematikan notifikasi
Selama di rumah, kami mematikan notifikasi dan berupaya tidak langsung merespon notifikasi yang muncul di media sosial. Walaupun itu masalah pekerjaan kantor sekalipun. Kecuali momen -momen tertentu yang harus mengangkat telepon karena urusan mendesak.

4. Menyibukkan dengan Aktivitas Luar
Saya lebih sering berolahraga, baik secara mandiri di rumah maupun main futsal atau badminton dengan kawan.

Ketika tidak ada jadwal member futsal atau badminton, saya lebih sering melakukan olahraga ringan di rumah. Kadang kala mengajak anak-anak berjalan ke sawah untuk melihat pemandangan. Alhamdulillah nya, anak-anak selalu semangat tidak pernah bosan diajak ke sawah.

Pada akhirnya semua terasa menyenangkan. Tingkat ketergantungan semakin berkurang. Sehingga lebih segar dalam menghadapi hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun