Percayalah guru salah satu profesi yang mudah terkena Holiday Blues. Mengapa demikian?
Masih ingatkah ketika Pak Jokowi kaget betapa besar tingkat stres para guru di Indonesia. Data yang disampaikan oleh Presiden RI ini bukan data sembarangan yang asal disampaikan di depan para guru se Indonesia melalui perayaan HUT ke 78 PGRI bukan November 2024 kemarin.
Data yang dikeluarkan oleh lembaga riset internasional RAND Corporation 2022 menyatakan guru dalah profesi dengan tingkat stress paling tinggi. Nampaknya, ini bukan hasil riset serampangan.
Hasil ini kemudian saya renungkan, memang benar adanya. Sebab terjadinya stres yang dialami guru berdasar riset tersebut karena perilaku siswa dan perubahan kurikulum yang cepat.Â
Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi disinyalir menjadi salah satu penyumbang terbesar prosentase  yang mempengaruhi dua faktor di atas.
Perubahan perilaku anak jaman sekarang sungguh jauh berbeda dengan anak jaman dulu. Semangat, daya juang, kesabaran berproses dan disiplin menjadi sebagian karakter yang boleh dijadikan catatan. Bahkan dalam berhubungan sosial, etika kesopanan sudah sangat berbeda jauh berkurang dibandingkan dulu.
Tentu argumentasi ini tidak bisa dipakai secara general namun sebagian besar guru di manapun mengeluhkan hal yang sama terkait perubahan karakter dan  perilaku anak didik.
Kemudahan akses informasi, lebih-lebih lagi video atau konten media sosial yang mengesampingkan norma menjadi salah satu penyebabnya. Kemudahan akses tersebut menjadi jurang kemunduran, apabila anak didik tidak bisa menyaringnya. Kacaunya lagi, pengawasan orang tua minim. Tambah kacau lagi, orang tua tahunya anak nya bagus, baik-baik saja. Karena sehari-hari anak tak pernah main keluar, padahal perilaku anak di luar rumah jauh dari ekspektasinya.
Maka tidak heran kasus - kasus penganiayaan guru muncul berulang kali di berbagai kota. Menyedihkan lagi, orang tua ikut berperan dalam menyokong perilaku anaknya. Entah memviralkan guru yang dianggap bermasalah, didatangi ke sekolah bawa parang, ngetapel mata seorang guru (kasus yang terbaru). Miris kan?
Faktor kedua adalah perubahan teknologi juga mempengaruhi perubahan kurikulum. Saat ini banyak sekali yang mengagungkan kurikulum merdeka. Bahkan banyak konten kreator seketika itu pula berubah menjadi sales kurikulum.
Kurikulum merdeka yang awalnya hanya optional, sekarang sudah menjadi hal yang "wajib". Bahkan sampai ada edaran, sekolah sudah harus menggunakan kurikulum merdeka, terserah level 1 mandiri belajar, level 2 mandiri berubah ataupun level 3 mandiri berbagi. Kan kacau jadinya!