Dalam proses pre-talk tersebut, anak ini mengeluhkan orangtuanya yang terlalu sibuk menghabiskan waktu untuk bekerja, sehingga hanya punya sedikit waktu tersisa untuk dia. Ketika SMP hingga SMA dia sering merasa marah kepada orangtuanya karena perhatian mereka yang dia rasa sangat kurang. Namun rasa marah itu selalu dipendam. Sampai di sini, penulis sempat berasumsi bahwa akar masalah Mia adalah kurang dekatnya hubungan dia dengan orangtuanya. Namun, pada saat terapi, ketika Mia berhasil dibawa masuk ke pikiran bawah sadar (deep trance) dan dilakukan regresi (dibawa kembali ke masa lampau), baru terungkap bahwa masalah psikis dan emosi anak tersebut disebabkan oleh bullying yang dilakukan teman-temannya pada saat dia duduk di kelas dua SMP.
Berdasarkan apa yang diungkapkannya, pada saat SMP, ada enam teman sekelas dia yang membentuk satu geng dan mereka sering melakukan bullying terhadapnya. Bullying yang dialami Mia lebih banyak dalam bentuk verbal dan mental seperti mengejek, mencemooh, mengolok-olok, memaki, mengancam dan mengintimidasi. Bentuk lainnya adalah pengucilan. Beberapa teman Mia yang mencoba mendekati Mia, turut diejek dan diintimidasi oleh anggota geng tersebut, sehingga Mia seringkali tidak punya teman bermain saat di sekolah.
Semua itu berlangsung hampir setiap hari selama Mia duduk di kelas 2 SMP. Ketika penulis menanyakan mengapa mereka melakukan hal itu, Mia menjawab tidak tahu. Dia juga tidak pernah melaporkan dan menceritakan kepada siapapun tentang apa yang ia alami, baik kepada teman, guru maupun orangtuanya. Dia hanya memendam semua perasaannya karena takut, malu dan tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Bisa dibayangkan betapa menderitanya Mia saat itu. Di sekolah hampir tidak punya teman yang benar-benar dekat, hampir setiap hari mendapatkan intimidasi oleh beberapa teman sekelasnya, dan orangtuanya jarang punya waktu yang cukup untuknya saat di rumah.
Setelah semua proses terapi selesai dan emosi- emosi negatif akibat perilaku bullying teman- teman sekolahnya berhasil dihilangkan, gangguan- gangguan psikis dan emosi yang dialami Mia pun berkurang. Sebulan sesudah terapi, Mia mengabarkan bahwa kondisi dia sudah baik, kuliah lancar, amnesia sembuh dan sudah tidak kesurupan-kesurupan lagi. Penulis akhirnya meyakini dengan pasti bahwa gangguan-gangguan psikis dan emosi yang dialami Mia ini lebih banyak disebabkan oleh bullying yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya, khususnya saat ia duduk di bangku SMP.
Ketika penulis menceritakan apa yang dia ungkapkan saat proses terapi, Mia baru mengingat bahwa ejekan-ejekan yang dilakukan teman- temannya, terutama saat SMP, berlangsung sangat intens dan berulang-ulang hampir setiap hari. Ejekan- ejekan dan semua situasi yang merangkai peristiwa saat itu akhirnya masuk ke dalam pikiran bawah sadar Mia dan membentuk sebuah program berupa “banyak orang-keramaian-diejek-dipermalukan- marah-sakit hati”. Inilah yang kemudian memicu fobia keramaian yang dialami Mia. Akibatnya, setiap kali dia berada di tempat di mana ada banyak orang di sana, program “banyak orang-keramaian- diejek-dipermalukan-marah-sakit hati” itu akan aktif sehingga tanpa sebab yang jelas, dia langsung merasa cemas, takut, pusing dan mual.
Bagaimana dengan amnesia yang dialami Mia? Ketika diejek dan dikucilkan oleh teman-teman geng kelasnya tanpa alasan yang tidak dia ketahui pasti, dia tidak berani melawan dan hanya memendam rasa takut dan marah yang dirasakannya. Kondisi tersebut berlangsung berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Ada ungkapan, repetition is the mother of skill. Pengulangan adalah kunci dari skill, baik itu skill yang positif maupun skill yang negatif. Mia dalam hal ini belajar menguasai ‘skill' memendam perasaan. Pada dasarnya, memendam dan mengubur perasaan ini adalah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) agar perlakuan tidak enak itu tidak menimbulkan rasa sakit. Pada akhirnya, skill memendam perasaan itu semakin kuat, sehingga input-input eksternal yang sebenarnya tidak mengancam pun ikut pula terpendam. Akhirnya Mia menjadi seperti amnesia, mudah melupakan hal-hal yang baru saja dilakukannya.
Dalam psikologi klinis, gangguan phobia, cemas dan gejala seperti amnesia yang dialami Mia ini disebut dengan istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Di negara-negara maju seperti AS, penelitian-penelitian mengenai PTSD menemukan bahwa bullying yang dialami semasa duduk di bangku sekolah sangat erat kaitannya dengan munculnya beberapa kasus Complex PTSD pada saat dewasa. Dr. Charles Rasion, seorang psikiater dari Emory University Medical School, AS, dalam penelitiannya menemukan bahwa bullying di sekolah dapat menyebabkan terjadinya PTSD pada saat dewasa. Lebih lanjut, Raison menyatakan bahwa perempuan dua kali lebih beresiko menderita PTSD pada saat dewasa akibat bullying pada saat sekolah daripada laki-laki (http://edition.cnn. com/2009/HEALTH/expert.q.a/03/31/bullying.ptsd. raison/index.html). Data ini semakin meyakinkan penulis bahwa gangguan yang dialami Mia adalah gejala PTSD akibat bullying yang dialaminya pada saat sekolah.
Apa yang dialami Mia adalah salah satu contoh nyata dari dampak jangka panjang korban bullying yang jika tidak ditangani akan terbawa hingga dewasa dan tentu akan mengganggu pencapaian-pencapaian terbaik dalam kehidupan mereka, baik dalam studi, karir, hubungan sosial dan akhirnya kebahagiaan hidup mereka. Hal terbaik yang seharusnya dilakukan adalah menangani dan mencegah perilaku bullying ini sejak dini, di sekolah dan di rumah.
- Mencegah Bullying
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah bullying: Pertama, mengubah cara mendidik dan cara memperlakukan siswa. Diakui atau tidak, perilaku siswa sebagiannya adalah representasi dari cara guru dalam mendidik dan memperlakukan mereka. Jika perilaku siswa buruk (termasuk di dalamnya tindakan bullying), maka pasti ada sesuatu yang kurang dari metode yang digunakan guru dalam mendidik dan memperlakukan mereka.
Penulis teringat dengan seorang Guru BK
sebuah sekolah menengah di salah satu kota di Jawa Tengah yang tampak sangat akrab dengan para siswanya. Dari yang paling berandalan sampai yang paling penurut, semua bisa dekat dengan Ibu Guru tersebut. Mereka semua juga nurut dengan nasihat- nasihatnya. Ketika penulis bertanya apa metode dan pendekatan yang Ia gunakan? Ia dengan bersahaja menjawab, bahwa Ia tidak pernah mencela atau memberi label yang buruk terhadap murid, bahkan meskipun mereka melakukan kesalahan yang berat sekalipun. Sebaliknya, Ia selalu menanamkan kata- kata dan kalimat-kalimat positif setiap hari kepada setiap murid. Misal: “kamu itu sebenarnya anak yang baik” atau “kamu adalah anak yang baik.”