Mohon tunggu...
Muhammad Wachid Anwar
Muhammad Wachid Anwar Mohon Tunggu... Guru - GURU BK

Saya adalah Guru BK di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Faktor Bullying di Sekolah dan Dampaknya di Masa Depan

29 Februari 2024   08:55 Diperbarui: 29 Februari 2024   08:58 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media, baik cetak maupun elektronik, tidak kalah penting dalam mendukung terbentuknya perilaku agresi. Tayangan kekerasan dapat menimbulkan rangsangan dan memungkinkan individu yang melihatnya, terlebih mereka yang berusia muda, untuk meniru model kekerasan seperti yang ditayangkan. Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam, sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidoff, Ronald, et. al., 1990; Soedardjo & Fadilla, 1998). Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model (orang) yang melakukan kekerasan di televisi sehingga akan memunculkan perilaku agresi.

Selain itu, beberapa penelitian menemukan bahwa perilaku agresi ternyata juga menular. Ada rangsangan perilaku agresi yang disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti pembunuhan, tawuran massal, dan penganiayaan. Keluarga, lingkungan, dan teman bergaul yang memiliki perilaku agresi juga bisa menularkan perilaku tersebut (Davidoff, Ronald, et. al., 1990).

Secara umum, ada beberapa faktor yang dapatmemicu perilaku agresif, diantaranya adalah:

  • Faktor Biologis

Menurut Davidoff (1990), ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi:

  • Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem syaraf otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
  • Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit syaraf yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbic (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan tindakan agresi.
  • Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen, ilmuwan menyuntikkan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan). Tikus-tikus tersebut tak lama kemudian berkelahi semakin sering. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progesterone menurun jumlahnya. Akibatnya, pada masa-masa haid ini wanita cenderung mudah tersinggung, gelisah, tegang dan mudah bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
  • Lingkungan
  • Kemiskinan. Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.
  • Anonimitas. Kotabesarseperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri).
  • Proses Kedisiplinan yang Keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersanksi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (misal: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka) (Soedardjo & Fadilla, 1990).

  • Pelaku Bullying

Pada tahun 2021 lalu, Yayasan SMK Darul Fikr Andong Boyolali pernah melakukan survei terhadap 1.500 pelajar SMP dan SMA di Boyolali. Menurut survei tersebut, 67% responden menyatakan bahwa bullying pernah terjadi di sekolah mereka. Pelakunya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, hingga preman di sekitar sekolah. Hampir semua responden tidak pernah melaporkan bullying yang mereka terima atau mereka lihat. Data yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per November 2019, menunjukkan hal yang sama. Setidaknya terjadi 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah (http://bigloveadagio.wordpress.com/2010/08/09/kekerasan-bullying-di- sekolah/)

Kasus bunuh diri pelajar SMP di bagian awal tulisan ini adalah contoh dari akibat kasus bullying yang dilakukan oleh teman sekolah yang bisa jadi, para pelaku juga tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka. Bullying dalam bentuk verbal dan psikis seperti mengejek dan mengolok-olok kadangkala memang dianggap sepele oleh pelaku maupun para guru, bahkan termasuk oleh korban, karena dampaknya tidak tampak secara langsung. Dampak verbal bullying memang bersifat psikologis dan emosional. Karakteristik korban yang lemah, pendiam, dan tidak pernah melawan kemudian menyebabkan aksi bullying tersebut berlangsung terus-menerus hingga akhirnya membuat korban tertekan dan depresi.

Selain dilakukan oleh teman, aksi bullying ternyata banyak dilakukan juga oleh guru. Data dari KPAI Selama Januari hingga April 2018 menunjukkan angka yang agak mengejutkan. Selama periode waktu tersebut, jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0-18 tahun di Indonesia terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi, yaitu 39,6 persen, dilakukan oleh guru. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh guru bermacam-macam, mulai dari pencabulan, kekerasan fisik, kekerasan selama mengajar dan lain-lainnya (http://detektifromantika. wordpress.com/kekerasan-terhadap-anak/).

Penulis pernah menangani kasus klien pelajar yang lumayan cerdas dan pintar. Saat itu dia kelas 1 SMA. Anak tersebut mendapatkan nilai yang bagus pada semua mata pelajaran, kecuali matematika. Dia mengatakan sangat tidak suka matematika dan “merasa bodoh dalam semua pelajaran hitung- menghitung.” Dalam sesi terapi, penulis akhirnya mengetahui bahwa akar masalah mengapa dia membenci pelajaran matematika dan “merasa bodoh dalam semua pelajaran hitung-menghitung” adalah karena pada waktu kelas 1 dan 2 SD, anak ini punya pengalaman diajar oleh ibu guru matematika yang sangat galak. Menurut deskripsi anak tersebut, setiap kali mengajar, ibu guru matematika itu selalu marah-marah dan membentak-bentak. Setiap kali berbicara, Ibu Guru itu mengeluarkan suara yang sangat keras dengan mata yang melotot. Ibu guru itu sering pula menghukum murid di depan kelas dan memukul kaki para murid dengan penggaris kayu yang besar. Anak tersebut pernah suatu ketika mendapatkan nilai nol saat ulangan. Angka nol itu ditulis besar-besar dengan pena berwarna merah di kertas ulangannya. Dia kemudian dihukum berdiri di depan kelas dan dipukul dengan penggaris. Bisa dipahami jika kemudian pelajaran matematika dan pelajaran menghitung lainnya seolah menjadi monster yang menakutkan. Sejak saat itu, setiap akan masuk jam pelajaran matematika, dirinya selalu merasa tegang dan cemas tanpa dia tahu penyebab sebenarnya. Dia juga selalu takut kepada semua guru matematika dari SD hingga SMA tanpa alasan yang jelas. Perasaan cemas dan takut itu terus muncul sampai dia bertemu dengan penulis.

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa dalam jangka pendek, bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi atau menderita stress yang dapat berakhir dengan bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban bullying dapat menderita masalah emosional dan perilaku.

Efek jangka panjang bullying bisa jadi tidak disadari baik oleh pelaku, korban, maupun guru dan orangtua. Karena dampaknya lebih bersifat psikis dan emosi yang tidak terlihat dan prosesnya sangat perlahan, berlangsung lama dan tidak langsung muncul saat itu juga. Penulis sendiri memiliki pengalaman menarik yang membuktikan bahwa bullying bisa berakibat buruk bagi si korban dalam jangka panjang. Penulis pernah menangani klien lain yang menderita gangguan psikis dan perilaku. Klien penulis tersebut, sebut saja namanya Mia adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Sebelum diterapi, Mia dilaporkan sering mengalami gejala seperti orang kesurupan dan setelah sadar dari kesurupannya, dia menjadi seperti mengalami amnesia. Dia lupa apa saja yang telah dilakukan dan siapa saja yang dia temui beberapa hari sebelumnya. Oleh dosennya, Mia disarankan untuk menjalani hypnotherapy dengan penulis. Pada saat pre-talk (semacam anamnesis dalam psikologi klinis untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis masalah klien), diketahui bahwa Mia menderita fobia keramaian tanpa dia tahu secara pasti apa penyebabnya. Jika berada di tempat ramai atau banyak orang, dia langsung diserang rasa cemas (anxiety), pusing, dan mual sehingga dia selalu mencari tempat yang sepi untuk menyendiri. Dia juga memiliki rasa minder, suka menyendiri, mudah merasa tertekan, dan menderita amnesia temporal. Gangguan-gangguan inilah yang kemudian menyebabkan Mia menjadi seperti orang kesurupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun