Mohon tunggu...
Achmad Marzoeki
Achmad Marzoeki Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Pengarsip (Bagian III-Selesai)

4 Februari 2019   10:00 Diperbarui: 4 Februari 2019   09:57 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayah dan Ibu seperti tidak punya beban dengan batalnya pernikahan Riyan?" tanya Riyan seakan menggugat kedua orang tuanya.

"Lho, bukannya pembatalan Lastri malah memuluskan hubunganmu dengan Fitri? Mengapa ayah dan ibu harus risau?" Bu Prapto malah balik bertanya.

"Ayah sebenarnya juga ragu Riyan, waktu memintamu untuk pulang. Tapi dulu kami sudah terlanjur saling berjanji untuk besanan, menjodohkan salah satu anak-anak kami. Sebenarnya kalaupun kamu tidak mau, kami juga tidak mengapa. Karena kami tahu, kamu sudah punya pilihan calon istri sendiri. Masih ada dua orang adikmu, mungkin ada yang nanti bisa berjodoh dengan adiknya Lastri. Tapi ternyata kamu mau, kami pun lega. Kami tidak tahu bagaimana kamu menyiasati masalahmu," Pak Prapto menimpali.

Riyan menghela nafas panjang.

"Begitu tahu Lastri membatalkan sepihak, kami juga lega. Menurut kami pembatalan itu malah menghilangkan beban perasaanmu untuk menikah dengan Fitri," lanjut Pak Prapto.

Riyan hanya bisa menghela nafas panjang. Saat seharusnya menjadi subyek seperti pendapat Fitri, Riyan malah memilih menjadi obyek. Parahnya obyek penderita pula.

Siang yang terik. Riyan memacu mobilnya keluar Solo. Tujuannya satu, ke Kebumen menemui Fitri. Sengaja berangkat siang, biar sampai Kebumen sudah waktunya pulang kerja.

"Sore ini aku mau ke rumahmu."

Riyan mengirim pesan whats app kepada Fitri, berharap mendapat sambutan antusias. Ternyata tidak. Setelah muncul tanda centang dua warna abu-abu, pertanda pesan sudah masuk, tak kunjung segera berubah menjadi centang biru, tanda pesan dibaca. Padahal terlihat akun Fitri sedang online.

Beruntung, saat dirinya memasuki Kebumen. Pesannya dibaca Fitri, bahkan langsung dibalas.

"Ya kutunggu di rumah. Ada yang ingin kuberikan juga buat Mas Riyan," balas Fitri.

Hati Riyan bebunga-bunga merasa mendapat sambutan antusias dari Fitri. Akibatnya Riyan kurang teliti mencermati kata-kata balasan Fitri.

"Maafkan aku, Fitri. Setelah kedatanganku terakhir ke sini, aku tak pernah mengabari." Semangat yang sempat muncul di benak Riyan kembali surut mendapati sikap Fitri biasa saja menyambut kedatangannya.

"Aku bisa memahami, Mas," jawab Fitri pendek.

"Aku tak jadi menikah dengan calon pilihan orang tuaku."

"Kok bisa?"

"Dia hanya memberi alasan singkat, tak mau merebut calon suami orang lain. Dari mana dia tahu tentang kamu, Fit?"

Fitri diam. Mencoba mengingat-ingat.

"Mungkin dari facebook," duga Fitri.

"Owh ya?"

"Pernah ada yang meminta pertemanan denganku. Setelah kuterima dia mengomentari fotoku yang ada Mas Riyan. Dia tanya tentang Mas Riyan."

"Tanya apa dia? Terus jawab Fitri apa?"

"Tanyanya to the point. Kenal Riyan ya Mbak? Saudara atau calon suami?"

"Lalu jawabanmu?"

"Pernah jadi calon suami. Sekarang tidak lagi. Mau jadi suami orang lain."

"Siapa nama orang itu?"

"Lastri."

Riyan terdiam sebentar. Kemudian raut wajahnya berubah kembali cerah.

"Ternyata malah Fitri yang bisa memberi solusi," ucap Riyan gembira.

"Kok begitu?"

"Ya, dengan pembatalan Lastri, bukankah tak ada lagi yang merintangi hubungan kita?" tanya Riyan.

"Bukan Lastri yang merintangi hubungan kita, tapi sikap Mas Riyan sendiri yang merintangi. Saat harus tegas mengambil keputusan, Mas Riyan malah menyerahkan keputusan kepada orang lain."

"Owh begitu ya? Aku minta maaf Fitri atas ketidak-tegasanku. Orang tuaku sudah mendukungku untuk melamarmu."

"Mas Riyan, tadi sudah kusampaikan ada yang mau kuberikan untukmu."

"Owh ya. Apa itu?"

Fitri menyodorkan undangan pernikahannya.

"Siapa yang mau menikah Fitri?"

"Aku. Dua pekan lagi aku mau menikah. Tadinya mau kukirim lewat pos undangan ini. Karena Mas Riyan mau ke rumah kusampaikan langsung. Maaf kalau tampak kurang menghormati."

"Secepat itu kamu memutuskan calon suami setelah kepergianku belum lama ini?"

"Menurut Mas Riyan belum lama, tapi bagiku sudah cukup waktu untuk mengambil keputusan."

Kata-kata Fitri memang tidak diucapkan dengan keras, tapi terasa menyengat telinga Riyan.

"Satu hal yang ternyata Mas Riyan tak bisa memahamiku..." Fitri seperti sengaja menggantung kalimatnya, memancing rasa penasaran Riyan.

"Aku sudah berusaha sangat keras untuk bisa memahamimu," Riyan mencoba membela diri.

"Aku ini pengarsip, Mas. Setiap dokumen selalu kuarsipkan, karena aku tak mau kehilangan dokumen selembar pun."

"Aku memahami itu."

"Pemahaman yang tidak diwujudkan dalam sikap dan tindakan."

"Maksudmu?"

"Dokumen saja aku tak mau kehilangan dan langsung segera mencari salinannya, apalagi calon suami."

Riyan hanya bisa tertunduk lesu. 

(Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun