"Bukan. Maksudku... Apa kamu nggak terkejut dan ..."
"Apa yang harus membuatku terkejut? Cerita seperti ini sudah sering diangkat dalam novel atau film."
"Tapi ini bukan cerita, Fit. Ini nyata."
"Bagiku sama saja. Bedanya kan cuma subyek dan obyeknya saja. Semula hanya membaca atau menonton, sekarang menjadi obyek cerita itu," Fitri tetap datar saja menanggapi. Seolah tidak terjadi apa-apa.
"Bukan cuma kamu Fit, yang menjadi obyek. Tapi kita, aku dan kamu," Riyan jadi sedikit melo.
"Kamu bukan obyek, Mas, tapi subyek. Pelaku, bukan sasaran tindakan. Aku yang jadi sasaran tindakanmu."
"Kita Fit. Aku dan kamu, jadi sasaran tindakan orang tuaku," bantah Riyan sengit.
"Kamu punya pilihan, Mas. Setuju atau tidak, dengan pilihan orang tuamu. Aku belum punya pilihan. Jika Mas Riyan setuju dengan pilihan orang tua, aku yang jadi korban tindakan Mas Riyan. Lalu Mas Riyan jadi korban tindakan siapa?"
"Aku jadi korban tindakan orang tuaku..." Riyan mencoba membantah.
"Kalau mau namanya bukan korban, Mas. Tidak ada korban yang menikmati. Tapi kalau Mas Riyan tidak mau menjadi korban, kan tinggal tolak saja pilihan orang tua." Fitri masih mampu mengendalikan emosinya dalam berkata-kata, walau sebenarnya perasaannya jengkel juga.
Sudah dua tahun Fitri menjalin hubungan dengan Riyan. Fitri pun masih ingat momentum pertemuan pertama mereka. Dia sedang memberikan bimbingan pengarsipan secara online kepada perangkat desa di Kantor Desa Tanuharjo. Ada seorang yang hendak mencari informasi potensi desa.