[caption caption="Sumber: Dokumen Pribadi."][/caption]Di suatu Hari Sabtu di akhir bulan Mei 2011 perusahaan tempat saya bekerja dulu kedatangan tamu penting. Dia adalah Takashi Suzuki, Presiden Director ST Coproration, Jepang. Perusahaan tersebut adalah produsen peralatan rumah tangga terkenal di Jepang. Waktu saya masih tinggal di Jepang, saya sering melihat iklan produk-produk perusahaan ini di TV. Dulu tak pernah terpikirkan bahwa saya akan bertemu dengan petingginya suatu hari kelak. Perusahaan ini kini merupakan pelanggan baru kami. Mereka menyerahkan pelaksanaan produksi satu produk baru ke kami. Hari itu produksi perdana dilaksanakan, dan tamu saya tadi secara khusus datang dari Tokyo untuk melihatnya.
Hari sebelumnya teman sekantor saya, orang Jepang, secara khusus meminta saya masuk kerja pada Hari Sabtu itu. Biasanya hari Sabtu saya memang libur. Kata teman saya tadi, presiden director tadi telah berpesan khusus meminta saya hadir, karena ingin bertemu. Saya anggap itu sebagai candaan saja. Tanpa diminta pun hari itu saya sudah berniat hadir, karena ini adalah momen yang sangat penting bagi kami.
Hari itu sesuai jadwal tamu itu datang. Di pintu masuk kantor kami menunggu. Saya bersama tim perusahaan, dan kolega kami dari ST Coporation yang terlibat dalam proses produksi di tempat kami. Dari mobil turun seorang lelaki tua, berumur sekitar 70 tahun, langkahnya sudah agak tertatih. Turun dari mobil dia berdiri sejenak, seakan mencoba mencari keseimbangan pijakan, lalu menebar pandangan ke arah kami, para penyambutnya. Lalu dia berkata, "Yang mana yang bernama Hasan?"
Segera saya maju, membungkuk memberi hormat dengan cara Jepang (ojigi), dan memperkenalkan diri. Saya serahkan kartu nama. Dia dengan tangan gemetar khas orang tua, mengeluarkan kartu nama, bertukar kartu dengan saya. "Suatu kehormatan saya bisa bertemu dengan Anda. Hasan Sensei. Mohon maaf saya sampai meminta Anda masuk kerja di hari libur begini. Tapi saya harus bertemu Anda. Kalau tidak sekarang maka berarti saya harus datang lagi lain kali. Jadi sekali lagi maaf karena telah merepotkan Anda." katanya penuh basa-basi. Dia memanggil saya "sensei", panggilan kehormatan bagi guru, profesor, dokter, di Jepang. Dulu saya memang pernah menjadi sensei di Jepang.
Setelah beristirahat sejenak saya pandu tamu saya itu melihat proses produksi di pabrik kami. Sepanjang perjalanan meninjau produksi itu dia berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memuji saya. "Saya sering makan bersama Kaicho, dan dia banyak bercerita tentang Hasan Sensei. Staf-staf saya yang selama ini bekerja sama dengan Sensei juga banyak melaporkan tentang Sensei pada saya. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Sensei." katanya. Kaicho itu adalah sebutan untuk chairman di perusahaan induk kami di Jepang.
Beliau ini dalam berbagai kesempatan memang sering memuji-muji saya. Dan kalau memanggil saya sering dengan nada bercanda menyebut saya "Professor Hasan". Hari itu tamu saya nyaris melupakan orang-orang lain yang hadir di situ, fokus untuk berbicara dengan saya, padahal ada dua orang Jepang teman saya sekantor yang juga hadir di situ. Ketika tamu tersebut pulang, teman saya sampai meledek, "Jadi bagaimana tadi, sudah deal untuk pindah kerja ke ST?"
Saya menikmati hari itu. Bukan sekedar karena dipuji. Tapi karena proses panjang persiapan produksi produk baru telah dimulai. Artinya, apa yang selama ini saya rintis bersama seluruh tim di perusahaan kami, mulai menampakkan hasil. Masih ada tantangan besar, memastikan kami bisa membuat produk sesuai jadwal, juga sesuai standar kualitas yang diminta. Tapi hari itu setidaknya kami bisa bernafas lega, karena satu tahap penting sudah berhasil kami lewati.
+++
Proses persiapan untuk produksi produk baru ini dimulai tahun lalu, sekitar bulan Oktober. Saya diberitahu bahwa akan ada tamu dari perusahaan tadi. Tujuannya menjajaki kemungkinan membuat produk mereka di perusahaan kami. Saya diberi tahu bahwa mereka akan mengunjungi sebuah perusahaan filler yang biasa mengerjakan pesanan mencampur bahan dan mengisikannya ke dalam kemasan, atas pesanan pemilik merk dagang. Rencananya dalam produksi nanti perusahaan kami membeli kantong (pouch) yang sudah diisi cairan pewangi dari perusahaan filler tadi, dan membeli botol dari perusahaan pembuat botol PET. Perusahaan kami sendiri akan membuat tutup dan asesori botol, mengisinya dengan bead polimer, dan mengemas produk hingga menjadi produk jadi untuk diekspor ke Jepang. Perusahaan filler tadi diperkenalkan oleh perusahaan Jepang lain kepada tamu kami itu.
Setelah mengunjungi perusahaan tadi saya langsung tahu bahwa perusahaan ini mustahil dijadikan partner. Ini perusahaan kecil, manajemennya masih sangat sederhana. Fasilitasnya juga sangat terbatas. Tapi tanpa partner perusahaan filler, mustahil kami bisa melayani calon pelanggan ini. Di akhir kunjungan saya janjikan untuk mencari partner lain. Lalu tamu kami itu kembali ke Jepang.
Saya kemudian mencari perusahaan filler lain. Tamu saya sebelumnya menjelaskan bahwa salah satu syarat terpenting adalah perusahaan tersebut harus punya instalasi permurni air (RO) yang menghasilkan air dengan konduktivitas di bawah 5 mikro Siemens. Saya sama sekali awam dalam soal ini, tapi saya coba mencari. Saya temukan sebuah perusahan yang cukup besar, dan manajemennya juga terlihat rapi. Tapi saya waktu itu tidak diberi kesempatan untuk meninjau fasilitas, karena ada policy yang membatasi orang luar untuk melihat fasilitas mereka, dalam rangka menjaga kerahasiaan produk pelanggan.
Ketika saya tanyakan soal air tadi, mereka menjawab bahwa standar mereka adalah di bawah 20 mikro Siemens. Apakah bisa di bawah 5? Bisa, tapi tidak bisa dijamin untuk terus dipertahankan. Sulit, kata mereka. Mereka heran, mengapa produk pewangi ruangan memerlukan air semurni itu, padahal mereka yang membuat kosmetik saja tidak memerlukannya. Terlihat keengganan dalam pertanyaan itu.
Hasil temuan itu saya laporkan ke Jepang. Lalu mereka minta saya mengirimkan sampel air, dan saya kirimkan. Calon pelanggan kami menjadwalkan untuk berkunjung lagi tiga minggu kemudian dengan tim yang lebih besar dan lengkap untuk melihat lebih detil calon partner, baik perusahaan filler maupun pembuat botol. Saya siapkan sambutan dan layanan untuk mereka.
Dua hari sebelum kedatangan Presdir saya menelepon dari Jepang. Ia meminta saya mencari calon partner cadangan. Siapa tahu calon yang saya sodorkan ini tidak memenuhi syarat. Ini tugas yang tidak mudah, karena waktu sudah terbatas. Kalaupun saya temukan calon partner lain, tak ada waktu bagi tamu saya nanti untuk berkunjung. Jadwal mereka sudah padat. Tapi saya sanggupi juga.
Setelah bertanya ke sana sini saya temukan sebuah perusahaan di daerah Narogong. Beberapa kali saya telepon, saya gagal menghubungi penanggung jawabnya. Hampir saja saya putuskan untuk tidak mengontak lagi perusahaan ini ketika akhirnya saya berhasil berbicara dengan penanggung jawab di perusahaan tersebut. Lalu saya minta setengah memaksa untuk bertemu dan melihat fasilitas mereka. Di situ saya fokuskan untuk melihat mutu air. Sama seperti perusahaan tadi, mereka juga menetapkan standar 20 mikro Siemens. Tapi saya lihat data aktual mereka, umumnya hasil pengukuran menunjukkan angka di bawah 5. Saya tanya, bisakah dipertahankan di bawah 5? Mereka jawab, bisa, tapi akan ada biaya tambahan.
Tamu saya datang, saya antar berkeliling ke berbagai tempat, termasuk beberapa perusahaan Jepang produsen kemasan. Lalu kami berkunjung ke perusahaan filler yang sudah saya jadwalkan. Setelah bertemu dengan lebih banyak orang di situ saya berkesimpulan bahwa perusahaan ini pun tak layak. Manajemennya ternyata tak serapi yang saya duga. Setiap kali ditanya sesuatu, tak ada manajer yang bisa memberikan jawaban pasti. Ketika kami kunjungi are produksi kami semakin melihat banyak kekurangan. Dan masalah air tadi tetap jadi sandungan, mereka sama sekali tidak mengusulkan solusi apa-apa.
Usai meninjau, di ruang rapat saya lihat tamu saya bingung. Sepertinya mereka sudah hampir memastikan untuk mencoba produksi di Indonesia. Sudah cukup jauh perjalanan ditempuh, tapi pada titik ini sepertinya rencana itu harus dibatalkan. Senior Production Manager perusahaan tamu saya itu saya lihat begitu tertekan. Ia melepas kaca mata, menunduk di meja sambil menutup wajah dengan satu tangan. Sempat saya berfikir, inilah akhirnya: kami tak jadi dapat pelanggan baru.
Lalu tiba-tiba saja di mata saya terbayang angka-angka hasil pengukuran konduktivitas air di perusahaan di Narogong tadi. Spontan saya keluar ruangan, menelepon ke sana. Gagal. Dua kali, tiga kali tak diangkat. Telepon keempat akhirnya diangkat. Saya minta kunjungan mendadak, urgent kata saya. Pihak sana ragu-ragu. Saat itu sudah jam hampir jam 4 sore. Perjalanan ke sana setidaknya memerlukan waktu 1 jam, itupun kalau tidak macet. Padahal mereka tutup jam 4.30. Di atas itu tak ada produksi lagi. "Tak apa," kata saya meyakinkan. " Yang penting kami bisa melihat fasilitas Anda," akhirnya pihak sana setuju untuk menerima kami.
Saya kembali ke ruang rapat. Saya sampaikan ajakan untuik mengunjungi perusahaan di Narogong tadi. Saya berbicara dalam bahasa Jepang, jadi tidak perlu sungkan dengan tuan rumah, karena mereka tak paham. Tamu saya setuju, dan kami bergegas ke sana. Menjelang jam 5 kami tiba di tujuan, saat perusahaan itu sudah sepi. Lalu kami meninjau berbagai fasilitas. Bingo! Di sini ternyata serba memuaskan. Semua rapi, dan hampir memenuhi syarat. Yang masih kurang disanggupi manajemen untuk dibenahi. "Koko de yaru." kata Senior Manager memutuskan.
Hari-hari berikutnya adalah masa pematangan rencana. Mengurus impor bahan baku, mengatur jadwal, rapat-rapat, dan berbagai penyesuaian. Saya yang tadinya nyaris tidak direncanakan untuk terlibat banyak dalam proses produksi, sekarang memegang kunci. Saya jadi pengatur semuanya. Menjembatani komuniikasi antara pelanggan, perusahaan kami, dan partner-partner kami. Ketika kemudian tamu saya datang lagi untuk percobaan produksi di tempat partner, saya selalu memimpin rapat.
Persiapan kami hampir matang ketika ada satu lagi masalah. Ada satu bahan baku yang tadinya diharapkan dibeli di Indonesia, dengan merk yang sudah ditetapkan pelanggan kami, ternyata bahan itu tidak tersedia. Ada masalah produksi sehingga pasokan menurun drastis. Lalu saya bergerak lagi, mencari bahan pengganti dari merk lain. Dapat. Saya kirimkan sampel untuk ditest. Belakangan ternyata calon pelanggan kami juga kesulitan untuk mendapat bahan tersebut di Jepang. Mereka juga membutuhkannya untuk membuat isi ulang produk ini nanti. Lalu mereka meminta saya mengatur penjualan bahan baku tadi ke Jepang. Dan itupun saya lakukan.
Begitulah. Berbagai kesulitan kami atasi, hingga kami tiba pada hari Sabtu itu. Ketika produksi bisa dimulai. Di berbagai kesempatan kolega saya dari perusahaan pelanggan tadi berkali-kali memuji dan berterima kasih pada saya. "Hasan san wa nandemo dekiru ne," kata dia mengomentari variatifnya pekerjaan yang harus saya urus. (Hasan san serba bisa ya) "Chigaimasu. Nademo dekirun ja nai yo. Watashi wa nandemo yarimasu. Yatte mite kara dekiru youni naruno," jawab saya. (Bukan begitu. Saya tidak serba bisa. Saya hanya mau mencoba melakukan apa saja. Setelah mencoba, saya jadi bisa).
Memang itulah prinsip saya. Saat hendak berhenti bekerja sebagai dosen/peneliti, istri saya sangat khawatir. "Abang kan nggak punya pengalaman. Nol. Kalau gagal bagaimana?" kata dia waktu itu. Saya jawab sambil bercanda. "Tenang aja, selama ini hidup saya cuma bermodal satu hal: sok tahu. It works so far." Hari pertama kerja di perusahaan saya benar-benar tak tahu apa-apa. Ada orang tanya, "Pak, PO sudah boleh kita terbitkan?" Saya balik bertanya, "PO itu apa?" Hal-hal remeh seperti itu pun saya tak tahu.
Tapi dengan kesadaran bahwa saya tidak tahu itulah saya belajar. Saya mulai dengan belajar menangangi tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab saya. Lalu, karena ini perusahaan kecil, ada saja tugas yang tidak/belum ditentukan penanggung jawabnya. Saya ambil alih, saya tangani. Makin hari tugas dan wewenang saya makin luas. Bukan atas perintah atasan, tapi saya ambil inisiatif menanganinya. Begitu seterusnya.
Hingga saat ini kesadaran itu saya pelihara terus. To live is to learn.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI