Proaktif artinya membebaskan diri dari tekanan apapun, untuk mengambil sikap dan bertindak sesuai pertimbangan nalar kita. Kita menentukan pilihan tindakan kita, bukan orang lain, atau situasi di sekitar kita. Kita bertindak dengan bebas, bukan karena terpaksa.
Tahun 1995 saya jadi dosen di kampung saya, sebuah PTN kecil di daerah. Saya masuk sebagai nobody. Tak ada yang kenal saya, karena saya bukan lulusan perguruan tinggi tersebut. Kawan-kawan yang masuk menjadi dosen kebanyakan adalah orang-orang yang lulus dari situ. Otomatis mereka sudah kenal dengan dosen-dosen senior, termasuk para pejabat di kampus.
Kampus ini sudah cukup tua sebenarnya. Banyak dosen yang sudah senior. Tapi sayangnya kebanyakan dari mereka sibuk dengan berbagai urusan di luar. Di luar akademik, di luar kampus. Banyak yang berbisnis konstruksi, konsultan, atau bisnis lain. Mereka jarang ke kampus, tentu saja mereka juga jarang mengajar. Mereka hanya datang ke kampus saat mengambil gaji bulanan. Urusan mengajar menjadi beban dosen-dosen muda seperti saya. Tak semua bisa ditangangi dosen muda. Walhasil, banyak kelas yang kosong melompong, tak diisi kuliah oleh dosennya.
Dosen-dosen secara umum, termasuk para dosen muda, bekerja dengan gaya PNS secara umum. Pintar bodoh gaji sama. Kerja serius atau main-main juga sama saja. Maka banyak orang yang tidak peduli. Tidak banyak yang punya motivasi baik untuk berprestasi. Dalam situasi seperti ini biasanya banyak orang menjadi reaktif, lawan dari sikap proaktif. Dalam suasana itu sering muncul berbagai ungkapan seperti berikut ini. "Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa mengubah keadaan." "Saya tidak punya pilihan lain, toh semua orang begitu." "Percuma saja kita kerja serius, tidak akan ada yang memperhatikan."
Tak lama sejak mulai bertugas saya diajak rapat dengan konsultan dari Jerman. Waktu itu kampus ini mendapat bantuan peralatan laboratorium pendidikan melalui sebuah proyek pemerintah. Biaya proyek diambil dari pinjaman kepada Jerman. Tentu saja pinjaman ini diiringi dengan kewajiban kita untuk membeli produk mereka, juga memakai konsultan mereka. Dengan konsultan inilah saya bertemu.
Konsultan ini melakukan evaluasi terhadap kegiatan praktikum yang seharusnya dilakukan dengan memakai peralatan yang sudah disediakan. Peralatan yang disediakan sungguh luar biasa. Waktu kuliah di UGM saya biasa praktikum dengan peralatan seadanya. Di kampus ini peralatan jauh lebih lengkap. Sangat jauh lebih lengkap. Namun peralatan itu lebih sering tersimpan rapi dalam lemari, tidak pernah dipakai. Praktikum yang seharusnya dilakukan setiap minggu, hanya dilakukan selama seminggu dalam satu semester. Itupun hanya berupa demonstrasi. Dosen yang melaksanakan, mahasiswa hanya menonton. Inilah yang dikritik para konsultan. Mereka sepertinya sudah mengritik soal ini sejak lama, tapi tidak ada yang menggubris. Dalam bagian saran pada laporan tertulis yang mereka sampaikan tertulis pernyataan bahwa mereka tidak akan memberi saran lagi, karena saran-saran terdahulu belum dilaksanakan.
Usai rapat itu saya bertindak. Saya coba peralatan praktikum itu satu per satu. Lalu saya tulis panduan praktikum bagi mahasiswa. Selanjutnya saya ajak mahasiswa senior untuk bergabung sebagai asisten pembimbing praktikum. Saya latih mereka untuk menggunakan alat-alat, juga saya bekali dengan pengetahuan fisika pendukungnya.
Saya mulailah praktikum itu. Persis seperti yang kami selenggarakan di UGM, saat saya kuliah dulu. Para mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok beranggota 5-6 orang. Setiap kelompok melaksanakan satu judul praktikum, didahului dengan tes teori subyek praktikum, dan diakhiri dengan laporan. Saya terapkan disiplin yang ketat dalam penyelenggaraan. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 5 menit tidak akan diizinkan masuk. Saya ajak mahasiswa untuk bersama menjaga kebersihan laboratorium.
Tadinya banyak mahasiswa yang keberatan. Mereka terbiasa santai, tidak disiplin, dan seenaknya, kaget dengan sistem baru ini. Tapi ada pula yang sejak awak menyukai kegiatan ini. Lama-lama mahasiswa lain mulai paham manfaatnya, kemudian ikut menyukai. Tentu tetap ada segolongan yang enggan.
Sempat ada gangguan di tengah jalan. Saya disuruh ikut pelatihan ke UGM selama 3 bulan. Banyak dosen muda yang ditugaskan seperti ini. Umumnya mereka menyukainya. Selain jadi bebas tugas, kegiatan semacam ini menyediakan uang saku yang lumayan besar. Dengan gaji yang hanya 120 ribu rupiah sebulan, penghasilan tambahan seperti ini menarik. Bebas tugas, gaji utuh, ditambah uang honor, siapa yang tak mau?
Saya tidak mau. Kegiatan praktikum ini pertaruhan bagi saya. Berubah atau tidak. Tapi saya ini dosen baru dengan status CPNS, bagaimana mungkin saya menolak? Saya minta konsultan Jerman tadi untuk meminta dekan agar membatalkan penugasan saya. Alasannya kalau saya pergi, kegiatan praktikum akan kacau. Meski sempat menolak, akhirnya konsultan itu menemui dekan. Seperti dugaan saya, dekan tidak bisa berbuat banyak. Ia membatalkan penugasan saya.
Ketika konsultan itu kemudian menulis evaluasi lagi, laporannya benar-benar berubah. "Kegiatan praktikum di universitas ini adalah yang terbaik dari 6 universitas yang menjadi target proyek ini, termasuk mengalahkan 2 universitas di Jawa." Bagi saya itu belum cukup. Saya minta dia menuliskan bahwa saya berkontribusi besar dalam perubahan itu. Tadinya lagi-lagi ia keberatan. Namun saya yakinkan lagi bahwa hal itu perlu untuk mendapatkan dukungan para pimpinan universitas, agar kegiatan ini tetap bsa berlangsung. Akhirnya ia setuju.
Hasil kegiatan ini mendapat perhatian rektor. Sebagai imbalan rektor memberi saya kesempatan ikut tes beasiswa untuk kuliah S2. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya lulus, kemudian pergi melanjutkan kuliah. Dekan tadinya pernah menolak permintaan saya untuk tes beasiswa, kali ini tidak bisa lagi menolak.
Beberapa tahun kemudian, saya pulang, selesai kuliah S3. Kegiatan praktikum masih berlangsung sesuai dengan yang saya terapkan dulu. Panduan praktikum juga masih memakai panduan yang saya tulis.
Jadi, mari bersikap proaktif, tidak larut dalam situasi lingkungan yang tidak memotivasi. Keluarkan energi dan motivasi dari dalam diri. Kerjakan hal-hal baik, karena hal-hal itu baik. Bukan karena harapan untuk memperoleh imbalan-imbalan instan. Gunakan berbagai potensi, termasuk kekuatan atasan, untuk melawan hambatan. Jangan lupa untuk membuat orang-orang melihat apa yang kita kerjakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H