Setiap menjelang Ahir tahun ramai di medsos akan kita jumpai pro-kontra mengucapakan Selamat Hari Natal.
Pro-kontra boleh tidaknya umat Islam mengucapkan Selamat Hari Natal untuk saudara kita Umat Nasarani yang sebentar lagi akan merayakan Natal, dan ini akan terus terjadi berulang-ulang pada setiap tahun, terutama menjelang ahir tahun, seolah tiada akan bisa berhenti sepanjang waktu.
Masing-masing (yang Pro maupun yang Kontra) bersikukuh bahwa pendapatnya paling benar dan paling sesuai dengan kehendak Tuhan, padahal makna atau arti dari Firman Tuhan tersebut hanya tuhan saja yang paling tahu dan paling faham, manusia hanya mencoba untuk memahami apa yang dimaksud dari ayat ayat yang ada dalam Kitab suci tersebut melalui penafsiran yang sudah barang tentu tidak lepas dari aspek subjektifitas.
Persoalan ini bermula dari adanya keyakinan bahwa setiap agama memiliki jalan keselamatan (Salvation) yang dijanjikan Tuhan, terutama keselamatan di ahirat.
Keyakinan dan konsep keselamatan ini lalu berkembang pada penilaian bahwa di luar agamanya tidak ada jalan keselamatan. Artinya, orang yang berbeda agama berarti kafir, semuanya calon penghuni neraka.
Terhadap orang kafir ini, ada tiga pilihan sikap :
Pertama, mereka diajak baik-baik agar menjadi umat seiman dan seagama;
Kedua, dibiarkan dan dihargai pilihan keyakinan agamanya dengan tetap menjaga persahabatan sesama manusia;
Ketiga, diperangi karena orang kafir berarti melawan Tuhan yang mereka sembah, yang berarti juga posisinya sebagai lawan mereka.
Penulis tidak akan memaksa pembaca untuk memilih salah satu dari tiga pilihan sikap di atas, semua dikembalikan kepada pembaca untuk memilih sikap yang sesuai dengan keyakinan dan pemahaman masing-masing pembaca.
Penulis yakin kalau umat masih tetap bersikukuh terhadap pendapatan nyalah yang paling benar, persoalan ini sampai hari kiamat pun tidak akan pernah selesai.
Untuk bisa meredakan pro-kontra tersebut, menurut hemat penulis cukup sederhana, yaitu dengan cara menanamkan pemikiran bahwa untuk menciptakan harmoni antara umat pemeluk beragama cukup dengan pemikiran bahwa : Hindari perdebatan terkait perbedaan, intensifkan berdiskusi terkait titik persamaan.
Dengan dasar pemikiran seperti itu kita tahu bahwa baik umat Yahudi, Nasrani, Umat Islam sama menyembah Tuhan Allah, Tuhan yang sama. Maka ketika Tuhan yang disembahnya sama kenapa mesti meributkan masalah pengucapan kata Selamat Hari Natal...?
Kalau toh ini menyangkut akidah atau keyakinan yang secara tidak langsung sebagai sebuah pengakuan akan Trinitas ketuhanan Umat Kristiani, dan itu bisa merusak aqidah umat Islam, toh penulis sampai saat ini Alhamdulillah masih tetap meyakini Agama Islam sebagai agama saya dan saya masih menjadi umat Nabi Muhammad SAW.
Pada ahirnya penulis hanya bisa mengatakan bahwa : hidup rukun, hidup harmonis, penuh kekeluargaan walaupun bukan seiman, itu lebih indah dan lebih penulis harapkan dari pada hidup penuh kecurigaan saling berburuk sangka satu sama lainnya.
Terlebih kita hidup di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila, negara yang mengakui lebih dari satu agama, dengan masyarakat yang heterogen dan persoalan yang kompleks, menciptakan kerukunan antar umat beragama itu bukan perkara yang mudah, atas dasar tersebut yuk kita sama-sama untuk membiasakan sikap toleransi beragama.
Toleransi beragama adalah sikap saling menghormati, menerima perbedaan, dan hidup berdampingan dengan damai di antara individu atau kelompok yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Toleransi beragama merupakan bagian dari Pancasila, khususnya sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sekian.
Penulis : Mihdar Ketua Poktan BUTA (Bumi Tani Anugerah) dan Owner Rumah Makan BEBEK Haji Mihdar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H