Dalam kesempatan kali ini penulis akan lebih fokus menyoroti persoalan kasus perbudakan yang terjadi kawasan Timur Tengah hususnya di negara Saudi Arabia.
Pada sekitar tahun 2006 sampai 2011 penulis pernah menjadi translator kantor karantina  di bawah kementrian sosial kerajaan Arab Saudi di Riyadh. Kantor tersebut fokus menangani persoalan tenaga kerja dari berbagai negara pengirim buruh migran , seperti dari Philipina, Bangladesh, Nepal, India, dan bebrapa negara dari Afrika.
Di awal penulis bekerja pada kantor karantina tersebut menurut data yang ada, bahwa ada sekitar 3000 lebih TKW dari Indonesia yang sedang menghadap persoalan, mulai dari masalah habisnya masa izin tinggal (over stay), masalah hak hak tenaga kerja, seperti hak istirahat, hak gajih bulanan, hak komunikasi dengan keluarga di Indonesia, dan hak lainnya yang terkait hak hak tenaga kerja. Juga masalah penganiayaan dan pemerkosaan yang masih sering terjadi.
Secara umum kasus yang saya tangani ketika saya bekerja di kantor tersebut adalah dominan dengan masalah kasus penganiayaan dan over stay, dan gajih bulanan yang sering tidak dibayarkan.Â
Tetapi penulis tidak akan membahas kasus tersebut secara spesifik, tetapi penulis hanya ingin memberikan saran kepada pemerintah RI untuk mengevaluasi kembali masalah pengiriman TKW ke negara negara Timur Tengah hususnya ke Arah Saudi.
Semenjak adanya moratorium pengiriman TKW ke Arab Saudi di era pemerintahan SBY, memang kasus penganiayaan terhadap TKW sedikit agak berkurang, namun karena adanya ketergantungan warga Arab Saudi terhadap TKW ini karena pertimbangan kesamaan keyakinan atau agama dan juga cara kerja TKW dari Indonesia cukup bisa diandalkan, walaupun sudah ada moratorium faktanya pengiriman TKW masih terus berjalan sampai saat ini. Ini sangat memprihatinkan karena TKW dari Indonesia sangat lemah di mata hukum yang berlaku di Arab Saudi ketika mereka menghadapi persoalan, apalagi kalau persoalannya menyangkut persoalan pidana. Karena sampai saat ini antara Indonesia dan Arab Saudi belum pernah menandatangani perjanjian tenaga kerja.Â
Berbeda dengan negara Philipina pengiriman tenaga kerja dari Philipina ke negara penempatan tenaga kerjanya jelas aturannya, dasar mereka perjanjian antar pemerintah dan pemerintah (Government to Government atau G to G). Sementara Indonesia belum memiliki perjanjian G to G masih murni perjanjian antar perusahaan (Bisnis to Bisnis atau B to B sehingga ketika ada permasalah hukum yang menimpa TKW dari Indonesia penyelesaiannya masih sangat lemah ahirnya TKW dari kitalah yang akan menjadi korban atau pihak yang disalahkan.
SEKIANÂ
PENULIS : MIHDAR (Srg Banten)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H