Mohon tunggu...
MIHDAR
MIHDAR Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer

Pendiri Yayasan Aman Sentosa Sejahtera, pendiri Pondok Pesantren AL-BAHA, pendiri Rumah Yatim Dhu'afa LAN TABURO, pendiri Rumah Qur'an ATS-TSAQOLAIN, Ketua Poktan Bumi Tani Anugerah, Owner Rumah Makan BEBEK HAJI MIHDAR, penulis, pegiat UMKM dan Pemerhati sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TKW Di Timur Tengah, Fakta Perbudakan di Era Modern

2 Desember 2024   16:06 Diperbarui: 2 Desember 2024   16:23 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia adalah salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar kedua di Asia Tenggara. Beberapa negara tujuan utama pekerja migran Indonesia adalah:

Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Jepang, Singapura, kawasan negara negara di Timur Tengah (Arab Saudi, Bahrain, Abu Dhabi, dan Kuwait), Italia, Polandia, Turki, Inggris. 

Pada tahun 2023, Taiwan menjadi negara tujuan utama pekerja migran Indonesia. 

Pasca terjadinya reformasi sekitar tahun 1998, penyumbang terbesar devisa negar Republik Indonesia adalah dari sektor buruh migran terutama dari kawasan Timur Tengah. 

Hari ini tanggal 2 Desember merupakan Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan.

Kenapa setiap tanggal 2 Desember diperingati sebagai Hari Internasional Untuk Penghapusan Perbudakan...?

Dilansir National Today, Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan diperingati setiap tahun pada tanggal 2 Desember. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi untuk Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran Orang Lain pada 2 Desember 1949.

Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bersama memerangi praktik-praktik perbudakan modern yang masih terjadi di berbagai belahan dunia.

Mengutip dari berbagai sumber, peringatan Hari Penghapusan Perbudakan Internasional berfokus pada upaya menghapuskan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer seperti perdagangan manusia, kerja paksa, eksploitasi seksual, dan pernikahan paksa.

Tahun 2023, diperkirakan ada sekitar 50 juta orang yang masih menjadi korban perbudakan modern, termasuk 28 juta dalam kerja paksa dan 22 juta dalam pernikahan paksa.

Data tersebut di atas adalah data yang diambil dari kasus kasus yang terjadi hampir di seluruh dunia.

Dalam kesempatan kali ini penulis akan lebih fokus menyoroti persoalan kasus perbudakan yang terjadi kawasan Timur Tengah hususnya di negara Saudi Arabia.

Pada sekitar tahun 2006 sampai 2011 penulis pernah menjadi translator kantor karantina  di bawah kementrian sosial kerajaan Arab Saudi di Riyadh. Kantor tersebut fokus menangani persoalan tenaga kerja dari berbagai negara pengirim buruh migran , seperti dari Philipina, Bangladesh, Nepal, India, dan bebrapa negara dari Afrika.

Di awal penulis bekerja pada kantor karantina tersebut menurut data yang ada, bahwa ada sekitar 3000 lebih TKW dari Indonesia yang sedang menghadap persoalan, mulai dari masalah habisnya masa izin tinggal (over stay), masalah hak hak tenaga kerja, seperti hak istirahat, hak gajih bulanan, hak komunikasi dengan keluarga di Indonesia, dan hak lainnya yang terkait hak hak tenaga kerja. Juga masalah penganiayaan dan pemerkosaan yang masih sering terjadi.

Secara umum kasus yang saya tangani ketika saya bekerja di kantor tersebut adalah dominan dengan masalah kasus penganiayaan dan over stay, dan gajih bulanan yang sering tidak dibayarkan. 

Tetapi penulis tidak akan membahas kasus tersebut secara spesifik, tetapi penulis hanya ingin memberikan saran kepada pemerintah RI untuk mengevaluasi kembali masalah pengiriman TKW ke negara negara Timur Tengah hususnya  ke Arah Saudi.

Semenjak adanya moratorium pengiriman TKW ke Arab Saudi di era pemerintahan SBY, memang kasus penganiayaan terhadap TKW sedikit agak berkurang, namun karena adanya ketergantungan warga Arab Saudi terhadap TKW ini karena pertimbangan kesamaan keyakinan atau agama dan juga cara kerja TKW dari Indonesia cukup bisa diandalkan, walaupun sudah ada moratorium faktanya pengiriman TKW masih terus berjalan sampai saat ini. Ini sangat memprihatinkan karena TKW dari Indonesia sangat lemah di mata hukum yang berlaku di Arab Saudi ketika mereka menghadapi persoalan, apalagi kalau persoalannya menyangkut persoalan pidana. Karena sampai saat ini antara Indonesia dan Arab Saudi belum pernah menandatangani perjanjian tenaga kerja. 

Berbeda dengan negara Philipina pengiriman tenaga kerja dari Philipina ke negara penempatan tenaga kerjanya jelas aturannya, dasar mereka perjanjian antar pemerintah dan pemerintah (Government to Government atau G to G). Sementara Indonesia belum memiliki perjanjian G to G masih murni perjanjian antar perusahaan (Bisnis to Bisnis atau B to B sehingga ketika ada permasalah hukum yang menimpa TKW dari Indonesia penyelesaiannya masih sangat lemah ahirnya TKW dari kitalah yang akan menjadi korban atau pihak yang disalahkan.

SEKIAN 

PENULIS : MIHDAR (Srg Banten)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun