Mohon tunggu...
Kang Guma
Kang Guma Mohon Tunggu... -

Younger of blogger,writer, and profesor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ironi Seorang Pemimpin

13 Februari 2015   14:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

P { margin-bottom: 0.08in; }

Baling-baling kipas di atas kepalaku berderak-derak karena tali penghidupnya beradu dengan bohlam yang sudah tidak bisa menyala. Teriakan anak-anak kecil menjalar ke dalam telingaku dan mengetuk-ngetuk gendang telinga. Aku berduduk sila. Menghembuskan nafas kesal menyaksikan dua orang karib Andalasku sibuk melempar-lempar tugas mengisi kultum sore hari.

“Eee, isilah. Pujangga bakwan sedang 'menabung' di kamar mandi. Cepatlah.” ia berdecak kesal di sela-sela kalimatnya tadi. Karib bangkaku yang sudah mulai tak nyaman di sisi karib medanku yang sedari tadi hanya sibuk mendesak, mulai angkat bicara.

“Aku memang bertugas setelah, pujangga bakwan. Tapi, sore ini aku gak ada bahan. Kau ajalah yang ngisi.” ucapnya sembil mengalihkan pandangan ke salah satu sudut mushola kecil 'kampung' kami ini. Kampung kami? Kalimat itu terkesan seperti kami telah resmi menjadi bagian dari kampung ini atau bahasa kerennya, sok ngaku-ngaku.

Namun apa hendak dikata? Ini kampung, memang telah menjadi tempat kami. Sudah lebih dari enam bulan kami tertidur pulas, berteriak ria, dan melakukan berbagai kegiatan yang menjadi kebiasaan masyarakat kampung ini, otomatis status “tamu” yang kami sandang saat tiba sehari-dua hari disini, telah lenyap bukan?

Suara karib medanku meyadarkan lamunanku yang telah melayang-layang kemana-mana. Sepertinya di ronde ini karib medanku kalah dalam perseteruan yang biasanya berujung panjang dan roman kusut pada wajah seterunya. Sore mendung ini, ia lebih memilih untuk mengalah dan membuka majelis rutin sore kami.

“Assalmu'alaikum warohmatullah...” Entah terbesit ide dari mana. Aku langsung mencoba berbaring telungkup menghadap ke arah karib medanku, tersenyum jail, mencoba mengajaknya bergurau.( Biasa anak muda..ada aja otak jailnya)

Namun, tak sampai beberapa detik tepukan tangan oleh karib lampungku membuatku menoleh dan melihat raut wajah kesal beserta mulutnya yang telah monyong ke depan.

“Hargai orang ngomong. Jangan kayak gitu.” ujarnya seperti seorang penasehat negara yang telah berpengalaman seribu tahun dalam mengingatkan seorang anguini yang selalu ingin besenang-senag. Aku memasng wajah jail bertanya.

“Siapa kau? Kau bukan seorang Amir(seperti ketua kelas) lagi.” aku terduduk dan melirik dengan ujung mata ke arah karib lampungku. Kurasa raut wajah menggambarkan rasa sakit hati, yang sepertinya, tak terlalu dalam. Ia hanya mendengus dan bergegas memasang telinga. Mendengarkan karib medanku.

Kalian tahu? Aku bukanlah seorang sanguinis seperti saudara sekota karib lampung yang tadi aku jaili. Aku juga bukan seorang plegmatis eperti pujangga bakwan. Aku lelaki yang selalu mengunnakan naluri melankolis yang mendarah daging di tubuhku dan mencerna sedkit apa yang telah aku lakukan terhadap karib lampungku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun